Di Shannonbridge, satu-satunya hal yang tidak bisa direncanakan adalah jatuh cinta.
Elara O'Connell membangun hidupnya dengan ketelitian seorang perencana kota. Baginya, perasaan hanyalah sebuah variabel yang harus selalu berada di bawah kendali. Namun, Shannonbridge bukan sekadar desa yang indah; desa ini adalah ujian bagi tembok pertahanan yang ia bangun.
Di balik uap kopi dan aroma kayu bakar, ada Fionn Gallagher. Pria itu adalah lawan dari semua logika Elara. Fionn menawarkan kehangatan yang tidak bisa dibeli dengan kesuksesan di London. Kini, di tengah putihnya salju Irlandia, Elara terperangkap di antara dua pilihan.
Apakah ia akan mengejar masa depan gemilang yang sudah direncanakan, atau berani berhenti berlari demi pria yang mengajarkannya bahwa kekacauan terkadang adalah tempat ia menemukan rumah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon chrisytells, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 9 : Sweter dan Cokelat Panas
Pagi itu, Elara bangun dengan perasaan cemas yang asing. Bukan cemas karena pekerjaan, melainkan cemas karena ekspektasi yang tidak terencana. Hari ini, ia dan Fionn akan memulai sesi Gantt Chart untuk The Crooked Spoon.
Untuk pertama kalinya sejak ia tiba di Shannonbridge, Elara memutuskan untuk melakukan sesuatu yang tidak praktis.
Dia pergi ke toko kelontong desa dan membeli sweter. Bukan sweter termal hitam. Tapi sweter rajutan cream yang lembut, dengan motif kepingan salju yang elegan. Itu adalah upaya pertamanya untuk memenuhi tantangan Fionn: mengenakan kehangatan yang tidak hanya fungsional, tetapi juga indah.
Saat ia memasuki The Crooked Spoon, ia menemukan Fionn sudah menunggu di salah satu meja kayu yang sudah ia rapikan sedikit. Fionn sedang mengenakan sweter andalannya—hari ini motif holly yang berkedip-kedip lampu kecil.
“Selamat pagi, Nona O’Connell!” sapa Fionn, matanya melebar saat melihat pakaian Elara. “Aku harus mencatat ini di Gantt Chart kita! Milestone Emosional: Elara memakai sweter indah yang tidak berfungsi sebagai kamuflase!”
Elara tersenyum kecil, merasa malu namun bangga. “Ini adalah sweter yang kupilih karena bahannya efisien dalam menahan panas. Tapi ya, Fionn. Aku mencoba menerapkan prinsip ‘keindahan organik’ yang kau bicarakan.”
Fionn berdiri dan menarik kursi untuk Elara, tatapannya lembut. “Kau terlihat… sangat hangat, Elara. Dan sangat nyata. Duduklah.”
Mereka membuka tablet Elara—yang kini menjadi Gantt Chart untuk kedai—tetapi suasana kerja segera terganggu.
Seorang pemuda tampan, tinggi, dengan rambut cokelat bergelombang dan jaket kulit yang tampak terlalu mahal untuk Shannonbridge, masuk ke kedai. Pemuda itu langsung menarik perhatian.
“Ah, Cillian! Masuklah, kawan! Mau kopi?” sapa Fionn, ramah.
Pemuda itu, Cillian, mengangguk pada Fionn, tetapi matanya terpaku pada Elara. Cillian berjalan mendekat, menyandarkan diri di meja mereka dengan cara yang terlalu akrab.
“Fionn, kau tidak pernah memberitahuku bahwa ada malaikat dari kota besar di kedaimu,” kata Cillian, suaranya halus dan menarik. Dia mengabaikan Fionn sepenuhnya, fokus pada Elara.
Elara, yang sudah lama tidak berurusan dengan godaan terbuka, merasa sedikit kaget. Dia tersenyum sopan. “Selamat pagi. Saya Elara. Saya sedang mengerjakan proyek planning dengan Fionn.”
“Planning? Betapa membosankannya, nona. Aku Cillian. Aku tidak pernah merencanakan apa pun. Itu membuat hidup lebih menyenangkan. Elara… nama yang indah. Apa yang membuatmu meninggalkan hiruk pikuk Dublin untuk salju dan domba di sini?” Cillian bertanya, mengedipkan mata padanya.
Elara merasa risih. Cillian terlalu dekat, dan pandangannya terlalu intens.
“Aku di sini untuk… tugas pekerjaan,” jawab Elara, berusaha mempertahankan nada profesionalnya.
Fionn, yang tadinya diam, kini menyela. Ia berdiri dan menempatkan dirinya sedikit ke depan, tepat di antara Cillian dan Elara—sebuah gerakan halus namun tegas.
“Cillian, Nona O’Connell adalah wanita yang sangat sibuk, dan kami sedang merencanakan efisiensi waktu untuk meningkatkan laba. Setiap menit yang kau buang dengan obrolan tidak terukur adalah kerugian,” Fionn berucap, nadanya ramah, tetapi matanya berkilat peringatan.
Cillian tertawa sinis. “Oh, Fionn Gallagher. Selalu membicarakan planning dan laba. Kau adalah alasan kenapa desa ini tidak pernah bisa maju. Nona Elara, jika kau butuh seseorang yang bisa menunjukkan kehidupan yang benar-benar menyenangkan di luar spreadsheet, kau bisa menghubungiku. Aku akan memberimu nomor kontakku.”
Cillian mengeluarkan pena mahal, tetapi sebelum ia bisa menuliskan nomornya, Fionn dengan sangat cepat meletakkan tablet Elara di atas meja, menutupi area yang akan ditulis Cillian.
“Cillian, Nona O’Connell hanya menggunakan tablet ini untuk planning. Aku yakin dia tidak punya aplikasi untuk mencatat ‘hal-hal yang tidak terencana’,” Fionn berkata, tersenyum lebar.
Cillian akhirnya menghela napas, menyadari dia tidak akan menang. Dia menatap Fionn dengan tatapan kesal, lalu kembali menatap Elara.
“Sayang sekali. Planning yang buruk,” Cillian bergumam sinis, sebelum akhirnya pergi, meninggalkan udara ketegangan di belakangnya.
Elara merasa jantungnya berdebar. Bukan karena Cillian, tetapi karena Fionn. Pria itu baru saja melindunginya—secara fisik dan verbal—dari variabel yang tidak diinginkan.
“Terima kasih,” Elara berbisik, menatap Fionn.
Fionn membalikkan badannya, kembali duduk, wajahnya tegang. “Dia adalah variabel yang harus kita hilangkan dari Gantt Chart kehidupanmu, Elara. Dia adalah faktor risiko yang tidak perlu.”
“Kau… kau tidak perlu melakukannya,” kata Elara.
“Tentu saja aku perlu. Kau adalah partner planning-ku. Aku bertanggung jawab atas kesehatan emosional dan efisiensi waktu kerjamu. Dia membuang waktu dan membuatmu risih. Itu melanggar semua kinerja,” Fionn membela diri, nadanya terlalu cepat.
Mereka kembali mencoba bekerja, tetapi suasana sudah rusak. Fionn terlihat gelisah, dan Elara terus memikirkan bagaimana Fionn berdiri di depannya, menantang Cillian.
“Baiklah. Lupakan planning sejenak,” kata Fionn, berdiri. “Aku akan mengambil hot chocolate terbaik. Itu akan memperbaiki mood dan fokus kita. Mood yang baik adalah pra-syarat efisiensi.”
Fionn kembali dengan dua mug besar berisi cokelat panas Moira yang kental, dengan krim kocok dan serutan cokelat.
“Ini dia. Hot chocolate terbaik untuk menanggulangi faktor risiko,” Fionn meletakkan mugnya di meja.
Saat Elara mengulurkan tangan untuk mengambil mugnya, dia masih sedikit gemetar karena ketegangan Cillian dan perasaan aneh yang ditimbulkan oleh sikap protektif Fionn.
Tiba-tiba, lengan Elara secara tidak sengaja menyenggol mug cokelat panas Fionn. Mug itu oleng, dan cokelat panas yang kental dan pekat itu tumpah dengan kecepatan lambat yang mengerikan.
SPLASH!
Cokelat panas itu mendarat tepat di tengah dada Elara, membasahi sweter cream barunya. Noda besar, cokelat gelap, dan kental menyebar di atas rajutan kepingan salju yang lembut itu.
Elara merasakan panas yang membakar kulitnya, tetapi rasa sakit fisiknya segera digantikan oleh kepedihan emosional.
Dia menatap noda itu. Sweter barunya, simbol kecil dari usahanya untuk tidak sempurna dan hangat, kini rusak.
“Oh, tidak... tidak,” bisik Elara. Air mata mulai menggenang di matanya.
Fionn segera melompat. “Ya Tuhan, Elara! Aku minta maaf! Ini panas sekali? Kulitmu terbakar? Ibu, tolong... kami butuh es batu!”
Fionn mencoba menyentuh sweter itu, tetapi Elara menarik diri. Dia tidak peduli dengan luka bakar; dia peduli dengan kehancuran.
“Jangan... jangan sentuh! Jangan disentuh!” Elara tergagap, suaranya pecah. “Ini… ini sweter baruku. Aku baru membelinya! Aku mencoba untuk… untuk menjadi sedikit santai dan hangat, dan sekarang… sekarang ini sudah hancur!”
Dia tidak menangisi sweter itu. Dia menangisi fakta bahwa setiap kali dia mencoba melepaskan kendali, ada konsekuensi yang tidak terencana.
“Aku tahu, Elara. Tapi ini hanya noda cokelat. Kita bisa mencuci dan membuatnya bersih kembali,” Fionn mencoba menenangkan.
“Tidak, Fionn! Kau tidak akan mengerti! Sweter ini adalah rencana B-ku untuk menjadi normal! Dan sekarang, lihat! Ini rusak! Sama seperti… sama seperti proyekku dulu! Aku mencoba melakukan hal yang benar, dan karena kecerobohan—lagi-lagi kecerobohan—semuanya menjadi hancur!”
Elara meletakkan tangannya di atas noda itu, air mata mengalir deras. Dia bukan menangis karena cokelat panas, tetapi karena trauma kegagalan yang melekat pada setiap ketidaksempurnaan.
Fionn mengerti. Matanya melembut. Ia tidak lagi panik tentang noda.
“Dengar, Elara. Ini bukan proyek. Ini bukan kegagalan. Ini adalah tumpahan cokelat panas. Dan itu terjadi karena kau sedang membela planning-mu dengan semangat. Itu hanya noda, dan noda itu adalah bukti bahwa kau mencoba.”
Fionn meletakkan kedua tangannya di bahu Elara dengan lembut. “Kau ingin menjadi hangat? Kau sudah hangat. Kau hanya perlu sweter lain.”
Fionn membimbing Elara kembali ke pondoknya, meninggalkan Gantt Chart dan tablet di kedai. Di pondok, Fionn mencari-cari di tumpukan sweter absurdnya.
“Baiklah, Nona. Sweter creammu sudah rusak. Tapi aku punya solusi. Kau butuh sweter yang bukan hanya hangat, tapi juga perisai emosional,” kata Fionn, menarik keluar sweter rajutan tebal berwarna merah menyala, dengan motif rusa kutub besar di tengahnya, lengkap dengan tanduk yang terbuat dari benang dan hidung yang berkedip-kedip lampu LED.
“Fionn, tidak mungkin. Itu… itu sangat tidak efisien dan terlalu mencolok,” kata Elara, mundur.
“Tentu saja tidak mungkin. Itu sebabnya kau harus memakainya. Sweter ini adalah kaos kaki anti-kontrol,” Fionn menyodorkan sweter itu. “Aku memakainya saat aku merasa terlalu serius. Sweter ini adalah chaos yang terkendali. Dia berteriak, ‘Aku tidak peduli dengan rencanamu!’ Cepat, ganti. Aku akan menunggu di luar. Kita harus menyelamatkan sweter creammu.”
Elara, dalam kondisi emosional yang rapuh, akhirnya mengangguk. Dia melepas sweter basahnya, merasakan dinginnya udara, dan kemudian mengenakan sweter rusa kutub Fionn yang sangat besar itu.
Sweter itu menenggelamkan Elara. Lengan bajunya terlalu panjang, bahunya merosot, dan hidungnya yang berkedip-kedip lampu LED terasa absurd. Namun, sweter itu sangat hangat. Dan yang paling mengejutkan, sweter itu beraroma seperti Fionn: kopi, pinus, dan udara dingin yang menyegarkan.
Saat Elara keluar, Fionn menatapnya, matanya dipenuhi senyum dan kelembutan.
“Kau terlihat… sempurna,” bisik Fionn. “Biscotti pasti akan menyukainya.”
“Aku terlihat seperti badut yang tersesat di sirkus Natal. Dan lampu ini berkedip terlalu cepat. Melanggar semua aturan efisiensi visual,” Elara mengeluh, tetapi ia tidak bisa menahan senyum.
“Itu adalah tujuan sweter ini, Elara. Agar kau tidak perlu peduli pada aturan. Ketika kau memakai sweter ini, kau bisa menjadi Elara yang suka menggambar garis-garis yang rumit, Elara yang tertawa keras, dan Elara yang membiarkan orang lain melihatnya rusak,” Fionn maju dan memeluk sweter itu, membiarkan tangannya menyentuh Elara melalui wol tebal itu.
“Aku panik tadi,” Fionn mengakui. “Bukan karena cokelat panasnya. Tapi karena aku melihatmu kembali terperangkap dalam ketakutanmu. Aku tidak mau melihatmu hancur lagi. Kau harus tahu, satu-satunya hal yang bisa menghancurkanmu adalah dirimu sendiri, bukan noda, bukan Cillian, dan bukan aku.”
Elara bersandar di dada Fionn, tenggelam dalam sweter yang besar itu. “Aku takut, Fionn. Aku takut untuk mencoba.”
“Aku tahu. Tapi aku akan ada di sini untuk memegang handukmu—dan swetermu—setiap kali kau ceroboh. Aku akan menjadi faktor stabilitas yang tidak terukur dalam hidupmu. Bagaimana?”
Elara mendongak, matanya yang basah menatap wajah Fionn yang penuh ketulusan. “Kedengarannya… sangat tidak efisien.”
“Tapi sangat menggemaskan, kan?” Fionn tersenyum.
Mereka kembali ke kedai. Elara, dalam sweter raksasa yang berkedip-kedip, menarik banyak perhatian. Cillian, yang masih berada di sudut, hanya bisa menatap Fionn dengan kekalahan.
Mereka duduk lagi di depan tablet. Namun, Gantt Chart sama sekali tidak disentuh.
“Elara,” kata Fionn, suaranya sangat rendah. “Aku harus berterima kasih.”
“Untuk apa? Aku menumpahkan cokelat panasmu dan kini... aku mencuri swetermu,” balas Elara.
“Terima kasih karena membiarkan aku melihat ketakutanmu. Dan terima kasih karena membiarkan aku menjadi tempat berlindung bagimu. Kau tahu, Elara, kau adalah wanita paling teratur yang pernah kutemui. Tapi kau juga wanita paling berani yang pernah kukenal. Kau berani mencoba berjalan di atas es, kau berani memakai sweter konyol ini. Itu bukan keberanian logika. Itu keberanian hati.”
Elara merasa kehangatan sweter itu merambat ke hatinya. Dia mencondongkan tubuh sedikit.
“Dan kau,” kata Elara, menunjuk sweter rusa kutub yang berkedip-kedip. “Kau adalah pria paling tidak teratur yang pernah kutemui. Tapi kau juga yang paling bisa kupercaya untuk tidak menghakimiku. Kau membuatku merasa aman, Fionn.”
Elara mengulurkan tangannya dan menyentuh pipi Fionn. Itu adalah gerakan spontan, tidak ada di jadwalnya. Sentuhan itu lembut, dan Fionn memejamkan mata sejenak, menikmati kehangatan itu.
“Aku tidak bisa membuat Gantt Chart untuk apa yang kurasakan padamu, Elara. Itu terlalu rumit, terlalu organik,” bisik Fionn, membuka mata.
“Aku juga tidak bisa,” balas Elara. “Tapi aku tahu, aku ingin melihat apa yang terjadi di Fase Improvisasi Wajib kita.”
Fionn mendekat. Perlahan. Elara merasakan napas Fionn di bibirnya. Semua suara di kedai—obrolan, mesin kopi—semuanya lenyap. Hanya ada detak jantung Elara yang keras.
Saat Fionn hanya tinggal satu inci lagi, Elara menutup matanya, siap menyerah pada kekacauan yang paling indah.
Namun, Fionn berhenti. Dia tidak menciumnya.
Sebaliknya, Fionn hanya menyentuhkan dahinya ke dahi Elara. Keintiman yang tercipta lebih dalam dari ciuman.
“Kita tidak akan merusak ini dengan tergesa-gesa, Elara. Aku akan menunggumu. Sampai kau sendiri yang menambahkan ciuman ini ke Gantt Chart kita,” bisik Fionn, suaranya dipenuhi janji.
Elara membuka matanya. “Itu adalah janji yang kaku, Fionn Gallagher. Itu tidak sesuai dengan branding-mu.”
“Aku akan membuat pengecualian untukmu, Nona O’Connell. Sekarang, ayo. Aku perlu melihatmu membuat aturan kinerja untuk scone Bibi O’Malley.”
Mereka kembali duduk. Elara, meskipun tenggelam dalam sweter Fionn yang berkedip-kedip, merasa bahwa hatinya kini telah memiliki fondasi baru—fondasi yang hangat, kacau, dan sangat aman.