Najla anerka ariyani arutama
Nama dia memang bukan nama terpanjang di dunia tapi nama dia terpanjang di keluarga dia
Memiliki 4 saudara laki laki kandung dan 3 saudara sepupu dan kalian tau mereka semua laki laki dan ya mereka sangat overprotektif akhh ingin sekali menukar merek semua
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon biancacaca, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PART 9
## 🎥 **REKAMAN DIMULAI**
Layar menampilkan seorang pria dengan rambut berantakan, seragam hitam sobek di bahu. Matanya tajam, tapi senyumnya lembut—tipe orang yang dulu perang, tapi pulang buat keluarga.
Ia duduk di kursi besi, ruangan di belakangnya dingin, putih, steril.
Dia bicara tanpa intro.
> **“Arlen. Kaelan. Najla.”**
> **“Kalau kalian lihat ini, berarti kalian bukan cuma hidup…”**
> **“…kalian sudah jadi diri kalian sendiri.”**
Najla menggigit bibirnya.
Kaelan menatap tanpa kedip.
Arlen… diam, tapi rahangnya bergerak halus. Marah yang belum meledak.
“Council mau kita percaya bahwa kita senjata. Bahwa darah Arselion cuma diciptakan untuk dibakar. Tapi kalian…”
Dia senyum bangga setipis luka sembuh.
“Kalian bukti bahwa api bukan untuk menghancurkan.”
“Api bisa jadi penanda pulang.”
Lalu nadanya turun.
“Ibu kalian ada di sel berbeda. Kami hidup. Tapi kami bukan tahanan biasa.”
Dia mengetuk dinding besi.
“Kami itu kunci.”
Gambar glitch. Suara pecah sepersekian detik.
“Council sedang bangun *Gerbang Ascendant* di bawah ibu kota—alat yang bisa menghapus kehendak manusia, dan menulis ulang loyalitas mereka.”
“Dan mereka pakai darah keluarga kita sebagai katalis.”
Kaelan mengumpat halus.
Najla berdiri pelan.
Arlen menunduk… bukan lemah, tapi menahan agar tidak membakar seluruh dunia saat itu juga.
Video hampir selesai.
“Jika kalian datang untuk menyelamatkan kami…”
Dia berhenti.
“Jangan.”
Keheningan menampar lebih keras dari bom.
“Hancurkan gerbangnya dulu.”
“Kalau kalian selamatkan kami sebelum itu, dunia selesai.”
Senyum terakhir.
“Ayah sayang kalian. Sekarang… menangkan perang yang belum sempat kami selesaikan.”
Layar hitam.
---
## ⚠️ **ALARM COUNCIL AKTIF**
Di menara komando, Mayor Silas berdiri, lingkaran merah memantul di wajahnya.
**STATUS TARGET DIPERBARUI:**
**ARSELI0N TRIO**
PRIORITAS: **EXTERMINATION CLASS**
IZIN TEMBAK: **ABSOLUTE — TANPA INTEROGASI**
Operator gemetar:
“Sir, Haku minta akses.”
Silas mendengus.
“Biarkan dia melihat hantu yang dia gagal kubur.”
---
## ⚔️ **REAKSI HAKU**
Ruang elit Council, dinding hitam, satu katana tergantung.
Haku menonton feed latihan 3 bersaudara yang sempat terekam drone gudang.
*Najla memutar di udara, melempar kunci pas.*
*Arlen menyapu angin, nggak nyentuh tapi ngendaliin tempo.*
*Kaelan menghantam lantai, retak melingkar.*
Haku tersenyum kecil.
“Jadi benar… api purba itu gak pernah padam.”
Lalu senyumnya hilang, diganti kalimat dingin:
“Kaelan… waktu itu seharusnya gue pastiin lu jadi abu.”
Dia bangkit.
Sarung katana berbisik saat terseret.
“Tapi gapapa. Sekarang gue yang antar sendiri kalian bertiga ke neraka.”
---
## 🔥 KEMBALI KE GUDANG — ARSELI0N TRIO
Najla berdiri, meninju telapak tangan sendiri.
“Jadi kita mau meledakkan pintu neraka sebelum nyelametin orang tua?”
Kaelan:
“Kita mau *membakar nerakanya*.”
Arlen akhirnya bicara, suara rendah, stabil, finalized:
“Kita bukan kabur lagi.”
“Kita serang.”
Darren menelan ludah.
“Kalian bertiga vs Council… apa yakin gak butuh bala bantuan?”
Najla nyengir.
“Bang, kami ini bala bantuan.”
Kai menutup laptop.
“Baiklah. Misi pertama?”
Kaelan menoleh ke peta hologram yang perlahan terbuka:
🎯 **TARGET 1 — FABRIK AETHERLOCK**
(Fasilitas yang suplai energi ke Gerbang Ascendant)
Arlen: “Kita patahin dulu napasnya.”
Najla: “Biar gerbangnya megap-megap.”
Kaelan: “Baru kita bakar sampai lupa gimana cara berdiri.”
Tiga tangan menyatu di tengah, bukan janji, bukan simbol.
Tapi pemantik.
**BUM.**
Lampu gudang meletup sekali.
> **Council pikir mereka ngejar tiga buronan.**
> **Padahal yang bangun adalah tiga bencana alam yang saling sayang.**
---
### **Malam sebelum misi — Gudang bawah tanah**
Keheningan punya bahasa sendiri di keluarga ini.
Ia ada pada cara Arlen mengecek ulang sarung tangannya tanpa melihat,
pada cara Najla memutar baut di tangannya hanya untuk merasa “siap”,
dan pada cara Kaelan berdiri bersandar, seolah tembok pun paham dia sedang menahan masa lalu agar tidak tumpah.
Mereka tidak saling bertanya “sudah siap?”
Karena di keluarga Arselion, **siap bukan jawaban. Hanya keadaan.**
---
### **Target: Aetherlock**
Benteng itu melayang di atas laut seperti penghakiman yang menolak menyentuh bumi.
Orang menyebutnya fasilitas produksi energi.
Council menyebutnya “jantung.”
Arselion menyebutnya: **hal pertama yang harus berhenti berdetak.**
Mereka masuk bukan dengan senyap, tapi **dengan niat.**
---
### **Jalan panas yang mereka pilih**
Terowongan limbahnya menyala seperti neraka industri—uap mendesis, besi meleleh di sela lantai, sensor hidup seperti mata yang tidak pernah tidur.
Mereka berjalan masuk, bukan karena itu aman,
melainkan karena **itu tidak diduga.**
Najla mengangkat wajah ke suhu yang meretakkan udara.
“Kalau kita mati di sini, malu banget,” gumamnya pelan.
Kaelan tersenyum miring tanpa menoleh.
“Kalau kita mati, mereka yang malu. Kita bukannya gak mampu. Kita cuma kebanyakan gaya.”
Arlen tidak menanggapi.
Ia hanya berjalan, dan mereka otomatis mengikuti ritmenya.
---
### **Lalu senyap pecah**
Bukan karena ledakan.
Karena Najla—tanpa sengaja—bersin.
Fasilitas itu menjerit dalam alarm baja.
“Hostile detected.”
Lampu merah menulis vonis di setiap dinding.
Kaelan menahan tawa, Arlen menutup mata sedetik, Najla nyengir tanpa rasa bersalah sedikit pun.
Maka misi berubah bentuk:
**bukan lagi menyusup, tapi menyatakan keberadaan.**
---
### **Tarian tiga arah**
Orang yang melihat mereka bertarung harusnya tidak menyebutnya *kerja sama*.
Kerja sama punya aturan.
Mereka… punya ikatan.
Arlen adalah pusatnya—sunyi, berat, tak tergoyahkan.
Kaelan adalah retakan—tak terduga, tajam, dan manis dalam kehancuran.
Najla adalah pertanyaannya—tak bisa diprediksi, hanya bisa dirasakan dampaknya.
Saat puluhan drone menembak serentak, Najla bergerak kecil—bukan menghindar, tapi *memilih hasil yang lain.*
Peluru itu tak berhenti.
Mereka hanya… **tidak pernah memilih Najla sebagai tujuan.**
Kaelan menatap fenomena itu, tertegun.
“Dia bukan mengelak…”
Arlen menyelesaikan:
“Dia mengubah jawaban.”
---
### **Seseorang telah menunggu**
Di jantung reaktor, ada pria berambut perak duduk di generator, memakan mi cup seperti semua ini cuma gangguan makan malam.
Ia berbicara tanpa menoleh:
“Kalian mau meledakkan tempat ini? Kabel merah.”
Kaelan menyipit.
“Lo siapa?”
“Aset yang dipekerjakan Council.” Suaranya datar. “Buat bunuh kalian.”
Lalu dia menyeruput mi lagi.
“Tapi mereka lupa bayar.”
Namanya **Draven.**
Ia tidak minta dipercaya. Tapi ia tidak berdiri di sisi Council malam itu.
Kadang, sekutu terbaik bukan yang sepaham,
tapi yang **punya musuh yang sama.**
---
### **Denting yang dikenali neraka**
Sebelum reaktor hancur, pintu besi itu mencair—bukan terbuka.
Di baliknya berdiri satu nama yang tidak perlu diperkenalkan.
Haku.
Bukan marah.
Bukan puas.
Hanya *pasti.*
“Gue udah pernah siapin kuburan buat lo, Kaelan.”
Kaelan memutar bahu lambat.
“Lo gali lubangnya, gue yang milih penghuninya.”
Dan besi pun bernyanyi.
---
### **Hitung mundur**
Najla membuka jalur yang *tidak seharusnya ada,*
Arlen menahan inti reaktor agar ledakan tidak memakan mereka,
Kaelan menahan pedang yang tidak lagi butuh perkenalan.
Tiga arah.
Satu waktu.
“Najla,” kata Arlen di sela gemuruh, “jalan pulang.”
Najla menutup mata.
Tidak ada cahaya, tidak ada portal dramatis.
Hanya keputusan realitas yang bergeser.
“Ada,” katanya pelan.
Mereka melangkah.
Fasilitas itu mekar jadi matahari baja di belakang mereka.
---
### **Di tepi laut**
Reruntuhan jatuh seperti hujan yang berat.
Mereka tidak merayakan.
Keluarga ini tidak merayakan ledakan.
Mereka merayakan **yang tetap berdiri setelahnya.**
“Jadi kita ini apa sekarang?” tanya Najla, angin menarik rambutnya.
Draven mengangkat bahu, masih memegang cup mi kosong.
“Penjahat versi mereka.”
Kaelan tersenyum kecil.
“Pahlawan versi kita.”
Arlen menatap laut, lalu pada mereka—dua saudara yang sama-sama tidak ia pilih, tapi tidak akan ia tukarkan.
“Kita keluarga,” katanya.
“Itu saja sudah cukup untuk memulai perang.”
Jauh di balik asap, Haku berdiri di serpihan besi.
“Naik lebih tinggi,” ujarnya.
“Biar jatuhnya nanti indah.”
---