Istri penurut diabaikan, berubah badas bikin cemburu.
Rayno, pria yang terkenal dingin menikahi gadis yang tak pernah ia cintai. Vexia.
Di balik sikap dinginnya, tersembunyi sumpah lama yang tak pernah ia langgar. Ia hanya akan mencintai gadis yang pernah menyelamatkan hidupnya.
Namun ketika seorang wanita bernama Bilqis mengaku sebagai gadis itu, hati Rayno justru menolak mencintainya.
Sementara Vexia perlahan sadar, cinta yang ia pertahankan mungkin hanyalah luka yang tertunda.
Ia, istri yang dulu lembut dan penurut, kini berubah menjadi wanita Badas. Berani, tajam, dan tak lagi menunduk pada siapa pun.
Entah mengapa, perubahan itu justru membuat Rayno tak bisa berpaling darinya.
Dan saat kebenaran yang mengguncang terungkap, akankah pernikahan mereka tetap bertahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9. Dingin
Setelah akad, Gumilang menyerahkan dokumen perjanjian bersama pena di atasnya.
“Ini surat hitam di atas putih yang kalian sepakati. Tanda tangani di depan kami.”
Rayno mengambil pena emas itu lebih dulu. Jemarinya tegas namun terlihat ragu sepersekian detik. Ia menandatangani perjanjian itu tanpa banyak bicara.
Lalu Vexia mengambil pena yang sama. Matanya sempat menatap Rayno sebelum akhirnya menulis namanya perlahan. Vexia Aurelia Gumilang.
Setelah tanda tangan selesai, Gumilang dan Mandala menorehkan paraf saksi. Penghulu menutup dokumen itu dan menaruhnya dalam map bersegel.
“Dengan ini, kalian telah sah sebagai suami istri secara agama,” ucap penghulu.
Vexia menunduk dalam. “Terima kasih, Pak.”
Gumilang mendekat, menepuk bahu cucunya.
“Kau resmi jadi istri orang, Xia. Jaga nama baikmu. Dan kau, Rayno. Jaga cucuku seperti nyawamu sendiri.”
Rayno menatap Gumilang, lalu menunduk sopan.
“Iya.”
Suasana di ruangan itu terasa sendu tapi hangat.
Acara pernikahan sederhana itu akhirnya usai.
Tanpa pesta mewah, tanpa musik yang meriah. Hanya doa, janji, dan dua hati yang kini terikat.
Tapi di dalam kesederhanaan itu, ada hati yang diam-diam mulai bergetar tanpa izin.
Vexia menatap cincin di jarinya lalu menoleh pada Rayno.
“Aku kira aku cuma mau iseng, tapi… rasanya aku beneran deg-degan.”
Malam itu juga, Rayno dan Vexia langsung terbang ke Bromo untuk bulan madu. Namun suasana di mobil maupun pesawat sama sekali tidak sehangat kata bulan madu.
Rayno duduk tegak di kursinya, mata terpejam, kedua tangan terlipat di dada. Seolah memagari diri dari siapa pun. Termasuk istrinya sendiri.
Vexia melirik kesal.
"Aku nikah sama manusia atau sama patung es, sih?
Apa tenggorokannya tersangkut kail ikan sampai gak bisa ngomong? Atau wajahnya udah dia formalin biar gak bisa senyum?"
Ia mengembuskan napas panjang, mencoba menahan diri.
"Ah, sudahlah. Mungkin dia capek. Kata Mama, dia lembur setelah menyepakati pernikahan kami supaya bisa cuti untuk bulan madu. Ya, mungkin dia cuma butuh istirahat…"
Tapi begitu tiba di depan kamar hotel, semua pikiran positifnya runtuh.
Rayno berhenti di depan pintu, menatap sebentar, lalu berkata datar tanpa emosi,
“Silakan istirahat. Kalau butuh sesuatu, hubungi aku. Aku di kamar sebelah.” katanya, lalu berbalik pergi.
Sejenak Vexia tertegun. “Eh…” ia sempat ingin bicara, tapi kalimatnya terhenti.
Rayno sudah menghilang di balik pintu sebelah. Tanpa menoleh.
Vexia terpaku.
"Ini… maksudnya kami pisah ranjang? Pisah kamar juga?"
Ia mendengus kesal, membuka pintu kamarnya sendiri dengan kasar.
"Luar biasa. Bulan madu paling absurd dalam sejarah pernikahan," gumamnya getir.
***
Pagi itu, cahaya mentari menembus tirai kamar hotel, memantul di lantai marmer yang mengilap. Uap lembut dari kamar mandi masih menari di udara ketika ketukan terdengar di pintu.
Tok… tok… tok…
Vexia yang masih mengeringkan rambut dengan handuk berhenti. Ia melirik ke arah pintu, mendengus pelan.
“Siapa juga yang pagi-pagi sudah ganggu orang?” gumamnya.
Ia mendekat dan mengintip lewat lubang pintu.
Rayno.
Pria itu berdiri tegap, mengenakan kemeja putih dan celana panjang abu-abu. Terlalu rapi untuk ukuran orang yang baru menikah semalam.
“Ya Tuhan… dia beneran manusia, atau robot hotel?” desis Vexia pelan sebelum akhirnya membuka pintu.
Rayno menatap singkat. Tanpa senyum, tanpa sapaan hangat. Tapi matanya sempat berhenti sesaat.
Rambut lembap Vexia yang acak, kulitnya yang tampak segar, bathrobe putih yang membingkai bahunya… semuanya memunculkan desir halus di dadanya.
“Sudah sarapan?” tanyanya datar, berusaha menutupi getaran kecil dalam suaranya.
Vexia menelan ludah, mencoba tetap manis. Ia tersenyum tipis, menahan keinginan untuk menyiram pria itu dengan air sisa mandinya.
“Belum. Aku pikir, suamiku bakal ngajak sarapan bareng, bukan cuma ngetuk pintu kayak housekeeping.”
Rayno menatapnya beberapa detik. Lama, seolah menimbang-nimbang sesuatu, lalu berkata pelan,
“Baik. Turun lima menit lagi.”
Begitu saja. Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik pergi.
Vexia menatap punggungnya menjauh, menghembuskan napas kasar.
“Ya ampun… lima menit? Aku baru nikah sama pria yang mikir bulan madu itu rapat pagi jam tujuh,” gumamnya kesal sambil menepuk pipinya sendiri.
Lalu ia tersenyum tipis.
“Tapi oke, Xia. Kamu janji. Keras kepala nggak boleh dilawan pakai keras kepala. Nanti malah dua batu saling hancur.”
Ia menatap bayangannya di cermin.
“Aku bisa kok bersikap manis. Tapi awas aja kalau dia pikir aku boneka plastik yang cuma bisa senyum tanpa suara.”
Vexia segera mengganti pakaian, sedikit memoles wajah, lalu mengambil parfum dan menyemprotkannya pelan di leher.
Senyumnya terbit, manis tapi menyimpan bara kecil.
“Baiklah, Tuan Rayno Amartya Mandala. Kita lihat… seberapa lama dinding es itu bisa bertahan di hadapan sinar matahari bernama Vexia.”
Udara pagi di Bromo terasa sejuk menusuk tulang. Sinar matahari menembus kaca besar restoran hotel, memantul di meja tempat Rayno duduk menatap ke luar jendela. Cangkir kopinya sudah setengah dingin. Pandangannya kosong, seolah pikirannya tersesat jauh entah di mana.
Beberapa menit kemudian, langkah ringan Vexia terdengar mendekat. Gaun kasual berwarna krem membingkai tubuhnya dengan lembut. Polesan tipis di wajahnya. Sedikit bedak dan lip tint lembut, justru membuat kecantikannya tampak alami. Tidak berlebihan, tapi cukup untuk membuat jantung siapa pun berdetak lebih cepat. Termasuk Rayno, yang sempat menoleh sekilas, lalu buru-buru menunduk, meraih buku menu untuk menutupi debarannya.
“Kak,” ucap Vexia lirih sambil duduk di hadapannya.
“Semua orang yang datang ke Bromo pasti ingin melihat sunshine, 'kan? Tapi kita… pengantin baru… boro-boro lihat sunshine, malah tidur terpisah seperti orang asing.”
Nada suaranya tenang, tapi ada retakan di sana. Sebuah perasaan getir yang menyusup lembut namun menohok.
Rayno terdiam. Jemarinya yang memegang menu tiba-tiba kaku. Ia tak punya kata. Pandangannya kembali menatap keluar jendela, menolak bertemu dengan tatapan istrinya yang jujur.
“Kamu mau pesan apa?” tanyanya akhirnya, pelan, seolah mencoba menepis semua perasaan yang menggantung di udara.
Vexia tersenyum miris.
“Apa pun yang bisa bikin suasana gak sesepi ini,” gumamnya setengah bercanda.
Pelayan datang dan pergi setelah mencatat pesanan. Hening kembali turun di antara mereka. Hanya suara sendok yang sesekali bersentuhan dengan piring.
Vexia menatap wajah pria di depannya. Pria yang kini sah menjadi suaminya, tapi terasa begitu jauh.
“Kita berjanji untuk saling mengenal dulu,” katanya pelan, “tapi sikap Kakak… sama sekali gak menunjukkan kalau Kakak ingin mengenalku.”
Rayno masih bergeming tanpa kata. Vexia menghela napas pelan.
“Meski kita asing, kita sudah menikah. Sah, di depan Tuhan dan orang tua. Tapi aku merasa… Kakak cuma menikahiku karena formalitas. Entah karena janji keluarga, atau cuma ingin menghormati orang tua. Kalau aku tahu begini, aku gak akan setuju untuk menikah.”
Deg.
Kalimat itu seperti hantaman yang telak ke dada Rayno.
Ia menutup matanya sesaat, berusaha menenangkan degup yang tiba-tiba tak beraturan.
“Maaf,” ucapnya lirih, “aku… sulit membuka hati.”
Vexia menatapnya lama, mencari arti di balik kalimat sederhana itu.
“Jadi maksudmu, aku harus bersabar menghadapi sikap dinginmu ini?”
Rayno mengangguk pelan.
“Ya.”
Hanya satu kata, tapi dingin seperti kabut yang membekukan pagi Bromo.
Vexia menunduk. Senyum pahitnya nyaris tak terlihat. Ia tak ingin menangis, tapi hatinya retak pelan-pelan.
Mereka sarapan dalam diam. Suara garpu dan pisau terdengar seperti jarak yang memisahkan dua hati yang baru saja diikat dalam satu ikrar.
Setelah meneguk air mineralnya, Rayno berdehem pelan.
“Kau ingin pergi ke mana nanti? Aku akan menemanimu,” ucapnya, mencoba terdengar wajar.
Vexia mengangkat wajahnya, menatap pria itu dengan mata yang berkilat samar.
“Aku gak butuh pemandu, Kak,” katanya pelan. “Aku butuh pasangan.”
Seketika, waktu seolah berhenti.
Rayno menatapnya lama.
Dan untuk pertama kalinya, ia melihat betapa rapuhnya wanita yang kini duduk di hadapannya. Rapuh, tapi berani menuntut tempat di hatinya yang beku.
...🌸❤️🌸...
Next chapter...
“Jadi… ini kamar kita?” tanya Vexia pelan, suaranya seperti berusaha memecah kebekuan.
Rayno hanya mengangguk. “Kau tidur di ranjang. Aku di sofa.”
Vexia mengerjap. “Hah? Di sofa? Tapi itu—”
To be continued
Untung ada Dani jg disana, jadi kalo ada apa2 sama Vexia, ada yg bantuin.
Kasian deh Rayno, baru terasa kan kehilangan segala sifat dan sikap baiknya Vexia. Gimana coba caranya kamu bisa luluhin lagi hati nya Vexia? Mantapkan dulu hatimu Ray
itu pasti anak buah Yoga, mungkin yoga merlhiantat dari Kevia 😁😁😁 hahaha. Yogakan suka, mengutus anak buahnya, untuk menyelamatkan Kevia. Bisa aja dia datang, dan menyelamatkan Vexia, dan Kevia, menunggu suaminya tak kunjung pulang. Hahaha 😁😁😁
Rayno, Xia nya pergi ke club. saking kedap suara ruangannya ya, org buka pintu ga kedengeran.