Sri dan Karmin, sepasang suami istri yang memiliki hutang banyak sekali. Mereka menggantungkan seluruh pemasukannya dari dagangan bakso yang selalu menjadi kawan mereka dalam mengais rezeki.
Karmin yang sudah gelap mata, dia akhirnya mengajak istrinya untuk mendatangi seorang dukun. Lalu, dukun itu menyarankan supaya mereka meletakkan celana dalam di dalam dandang yang berisikan kaldu bakso.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Rey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SRI MULAI BERTANYA-TANYA
"Belakangan ini, dia selalu menolak kalau aku ajak bercyinnnta di rumah, tapi dia selalu bersemangat jika aku ajak bercyinnta di tempat lain." Lagi, Sri mendesyaah lelah. Dia menatap Tumi dengan tatapan kuyu.
"Di tempat lain itu di mana, Sri?" Tumi memicing.
"Anu, Tum ... di—anu." Sri terbata. Entah kenapa mulutnya bisa hampir keceplosan?
"Ya, di rumah Emak lah, hehehe," tandasnya. Dia segera menutupi ekspresi oon-nya dengan tawa receh.
"Owalah, Sri. Kamu itu memang harus mencari sensasi baru, biar Karmin tidak bosan."
"Benar, Tum."
"Sesekali minum jamu, biar anumu tetap keset dan rapet. Kamu sering-seringlah minum jamu majakan, di warung jamu banyak yang jual." Tumi nampak memberi masukan.
"Gak suka majakan, Tum. Pahit, hehehe."
"Yeeeaaah, minum jamu macan kerah, itu bagus itu. Kamu harus bisa memberikan servis yang jos lah kepada Karmin, Sri."
"Kalau beli jamu macan kerah sih pernah, di Yu Khusnul. Tapi jarang-jarang."
"Wah, ya jangan jarang-jarang, Sri. Harus rutin. Masa kamu kalah dengan Sulis itu, meskipun dia janda, dia seminggu sampai 3x membeli kembang macan kerah lho." Tumi berbisik.
"Haah? Serius? Lha buat apa? Wong dia gak punya suami." Sri mencebik.
"Ya buat merawat anu-nya thoo, Sri. Kamu itu kalah sama Sulis, deh. Makanya, jangan terlalu klimbrak-klimbruk, nanti Karmin selingkuh baru tahu rasa lhoh." Tetangga Sri itu terkekeh.
"Amit-amit jabang tai ... jangan sampai selingkuh. Jangan bikin takut lah, Tum!" Sri mendengkus.
"Lha, kamu ini dikasih tahu kok malah amit-amit? Kamu ini harusnya ekstra berjaga-jaga. Kamu jangan sampai kalah penampilan dengan janda gatal itu, apalagi dia mulai mengincar Karmin karena melihat warung baksomu yang laris. Sulis pasti sudah membayangkan penghasilan Karmin banyak, jadi dia mulai mendekat." Tumi menjelaskan dengan begitu antusias hingga bibirnya meliuk-liuk.
"Jangan ngadon pentol terus! Sesekali urus tuh wajah dan bodi, biar Karmin tetap cinta mati. Paham?"
"Syiap, Tum!"
"Masak harus dikasih wejangan dulu baru paham? Aku yang gak punya laki aja juga ekstra banget dalam menjaga aset kew@nitaan, hehehe."
"Iya iya, Tum."
"Assalamualaikum." Tiba-tiba ada seseorang yang berucap salam di teras.
"Wa alaikum salam."
"Eh, Halima ..., masuk, Ma!"
Tamu Tumi itu pun bergegas masuk dan duduk berjajar dengan Sri.
"Wah, ada juragan bakso nih."
"Heheheh, apa kabar, Ma? Sehat?"
"Sehat, Sri. Kamu tambah sukses aja ya. Dagangannya laris."
"Iya, Ma. Alhamdulillah. Mampir ayo ke warung."
"Oke siap, nanti dah aku mampir, mau bungkusin anak-anak di rumah, hehehe."
"Jarang banget ketemu sampean, Ma. Pasti sibuk banget ya?" Sri mengulum senyum.
"Lha? Kamu yang super sibuk, Sri. Aku sering beli bakso, tapi kamu kadang lagi ke pasar, kadang lagi ngadon pentol di dalam." Halima tertawa kuda.
"Tumben nih ke sini, ada perlu apa, Ma?"
"Ada urusan sedikit penting, Tum. Tapi ini privasi, tentang Juned, mantan pacarmu."
"Ehhmmm, aku balik ke warung ya. Biar kalian nyaman mengobrol." Sri menggeser bokongnya dan bermaksud pulang.
"Gak usah, Sri. Kita ngobrol santai saja. Toh cuma membahas Juned, gak ada rahasia-rahasiaan di antara kita kalau cuma soal Juned, hehehe." Tumi terkekeh.
Sri pun membenahi posisi duduknya kembali.
"Kenapa Juned? Kenapa?" Tumi nampak antusias.
"Juned mau cerai sama Lela." Halima memulai cerita.
"Lah? Kenapa? Bukankah mereka saling mencintai? Sampai Juned meninggalkan aku, hehehe." Tumi kembali terkekeh.
"Katanya, Lela itu memelet Juned, dan sekarang peletnya luntur, Tum."
"Wagelaasssshhh!!! Serius?" Mata Tumi membola.
"Kata siapa, Ma?" tandasnya.
"Ya kata orang-orang kampung, Tum."
"Masa sih si Lela main dukun?"
"Ya, dukunnya asli dari Gunung Kawi sana lho." Halima mengarahkan telunjuknya ke arah selatan.
"Gunung Kawi iku tempate pesugihan, Cuk!" Tumi mendecih.
"Lha? Dasar kamu itu katrok! Gunung Kawi itu ya markasnya segala macam dukun. Kamu mau pesugihan, mau memelet, menyantet, mau memajukan usaha atau kerjaan, mau pasang susuk atau pasang pengasihan, yaaa ... monggo kerso!" Bibir Halima sampai meleot-leot saat menjelaskan.
DEGH.
Jantung Sri tiba-tiba berdetak lebih keras. Dia menelan saliva berulang kali, tapi sebisa mungkin Sri masih mencoba memasang wajah santai. Dia tidak boleh menunjukkan kerisauan di depan kedua kawannya itu. Jadi, Sri harus nampak baik-baik saja meskipun di dalam hatinya sedang bergelut dan tidak tenang. Bermain dukun benar-benar membuat hidupnya sering terasa gamang.
"Terus? Kok peletnya bisa luntur? Pasti peletnya yang ekonomis tuh? Dua rebuan yeee? Atau pelet abal-abal, wakakak." Tumi nampak senang sekali mendengar kabar pernikahan mantan pacarnya yang kandas.
"Gak paham, Tum. Mungkin si Lela gak mampu membayar maharnya, wekekeke." Halima menimpali.
"Lela kan kaya, soal mahar mah soal upil!" Sri menimpali obrolan kedua kawannya agar dia tidak nampak canggung.
"Tapi, Rek ... denger denger ... mahar di sana itu aneh-aneh. Kadang si dukun gak minta uang, dukun di sana kadang malah minta lainnya." Halima memelankan suara.
"Lha minta opo, Ma?" Tumi memicing.
"Ngajak kenthu, Cuk! Piye, jal? Kamu mau kenthu sama dukun?" Halima nampak begitu bersemangat berkisah hingga bibirnya monyong-monyong. Dia nampak ingin sekali menyemburkan seluruh berita yang ia simpan di dalam dadanya.
"Cuk, ojo ngawur!" Tumi mendelik lebar. "Itu info dari mana?"
"Ini info sliweran sih. Hahaha, aku hanya mendengar selentingan saja, Rek. Karena konon ... ada dukun yang memang meminta imbalan di atas r*njang." Halima melanjutkan.
"Edan!" Sri menimpali.
"Edan banget, Sri. Tuh Juned akhirnya sekarang menduda. Katanya sih, Juned mau ngajak kamu balikan, Tum. Mau gak kamu?" Halima tertawa kuda.
"Ogah! Aku sudah kepalang benci!" Tumi mecucu.
"Keluarga Juned bahkan mengata-ngatai aku ini perawan tua, gigi tongos, bibir merongos, kulit hangus, dan sekarang mau ngajak aku balikan? Cih, wani piro? Jelek-jelek begini, aku juga punya harga diri, Cuk!" Dia menyunggingkan selarik senyuman sinis.
"Jangan begitu, Tum. Ingat, dulu kamu sangat mencintai Juned, setiap sore kalian pacaran di warungku, hehehe." Sri terkekeh.
"Itu dulu, Sri. Sekarang, nehi, nehi, acha, acha! Hahaha." Tetangga Sri itu tergelak.
"Jadi, kamu ke sini mau membawa kabar soal Juned menjadi duda, Ma?" tandasnya.
"Woiya, tidak, dong! Aku mau menyampaikan pesan dari suamiku juga, hehehe."
"Pesan opo iku?"
"Akhir bulan nanti, akan diadakan makan-makan bersama di RT kita ini. Jadi, nanti kita voting, mau makan opo? Masak-masak di rumah siapa? Iurannya sih nol rupiah. Aku cuma mau mendata kesanggupan kalian itu lhoh, Rek. Terus kalian kasih masukan tempatnya di mana? Di mushola, di gang kampung dengan acara makan lesehan pakai alas daun pisang, atau di rumahku?"
"Dalam rangka opo thoo, Ma?"
"Dalam rangka kumpul-kumpul saja, mumpung ada rejeki, hehehe."
"Manut lah, Ma," kata Sri.
"Aku Yo manut." Tumi menimpali.
"Lho, yo kudu manut. Kalau gak manut, nanti kalian aku pecat menjadi warga RT 13, weekekek."
"Ini gratisan beneran, Ma?"
"Oyi, Tum."
"Apakah uang hasil korupsi, Ma?"
"Huss! Lambemu? Ini uang hasil panen sawahku di Bantur sana lho. Jadi kami mau tasyakuran, begituh."
"Wakakak, kirain."
"Nanti kamu pasti ketemu Juned, Tum. Pasti kalian salting gitu, deh." Halima terkekeh.
"Ih, apaan? Setiap hari juga udah ketemu!" Tumi mendengkus.
"Ngomong-ngomong, aku kok jadi kepikiran ceritamu soal dukun itu yo, Ma?" kata Tumi lagi.
"Dukun apa? Kamu mau memelet pria tah?"
"Bukan memelet, tapi mau melihat gitu, melihat siapakah jodohku ini? Apakah ada jodoh atau tidak?" Tetangga Sri itu mencebik.
"Wes ojo aneh-aneh! Jangan pergi-pergi ke dukun segala! Nanti kamu diperkosa, dicabuli, dikeloni, baru tahu rasa!" sahut Halima.
"Yo gak semua dukun begitu, Ma!" Tumi mendengkus.
"Yo tapi kan lihat dulu jurusanmu ke mana? Kalau kamu ke dukun untuk urusan jodoh, urusan sel*ngk*ngan, urusan ekstrim-ekstrim, nanti kamu dikelonin, lho." Halima melebarkan kedua netranya.
DEGH.
CLEGUK.
Sri tiba-tiba mati kutu. Dia mematung dan merasa merinding. Otaknya tiba-tiba memutar ulang kejadian semalam di rumah Mbah Samijan. Entah kenapa, wanita itu tiba-tiba tremor tipis-tipis.
"Hey, Rek! Jangan bikin merinding, ah. Mosok dikelonin?" Istri Karmin itu memijat lehernya yang tiba-tiba terasa meremang.
"Iyo, Sri. Ini kan desas-desus dari yang aku dengar-dengar." Halima mengerucutkan bibirnya.
"Wes, pokonya jangan aneh-aneh! Berurusan sama dukun itu tak akan ada untungnya. Pasti merugi!" Halima mewanti-wanti.
Sri pun terdiam sesaat. Dia mulai mengingat-ingat bagaimana kejadian ritual kolor dengan dua kali permainan r*nang Karmin di rumah Mbah Samijan yang begitu berbeda.
"Sepertinya ada yang tidak beres nih?" Hati Sri mendesah lelah.
"Lapo kok bengong, Sri?" Halima memicing.
"Ah, gak. Hanya membayangkan saja, aku sudah geli." Sri terkekeh.
"Membayangkan opo?"
"Membayangkan dicabhuuuli dukun, Rek."
"Lah kamu itu ngapain membayangkan kenthu sama dukun? Kenthu sama Karmin saja lah. Lha wong Karmin selalu siap sedia melayanimu sampai kamu puas dan lelah. Hahaha." Bu RT itu malah tergelak lepas.
Sri hanya manggut-manggut pelan. Tapi di dalam hatinya mulai muncul banyak pertanyaan berdesakan.
"Mas Karmin tidak sedang mengerjaiku, kan?" gumamnya di dalam hati.
"Bagaimana kalau? Aaahhh gak gak gak. Mas Karmin tidak seperti itu!" dengusnya.
Sri mulai berfikir kemana-mana. Dia mulai memiliki ketakutan dan kekhawatiran tersendiri.
"Bagaimana kalau selama ini ternyata ... Ah, aku ini mikir apa sih?" Lagi, Sri mencoba menenangkan hatinya dari pemikiran buruk tentang sang suami.
"Ah, Mas Karmin tidak akan berbuat curang kepadaku, kan?" Berulang kali ia masih nampak bimbang.