Guang Lian, jenius fraksi ortodoks, dikhianati keluarganya sendiri dan dibunuh sebelum mencapai puncaknya. Di tempat lain, Mo Long hidup sebagai “sampah klan”—dirundung, dipukul, dan diperlakukan seperti tak bernilai. Saat keduanya kehilangan hidup… nasib menyatukan mereka. Arwah Guang Lian bangkit dalam tubuh Mo Long, memadukan kecerdasan iblis dan luka batin yang tak terhitung. Dari dua tragedi, lahirlah satu sosok: Iblis Surgawi—makhluk yang tak lagi mengenal belas kasihan. Dengan tiga inti kekuatan langka dan tekad membalas semua yang telah merampas hidupnya, ia akan menulis kembali Jianghu dengan darah pengkhianat. Mereka menghancurkan dua kehidupan. Kini satu iblis akan membalas semuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zen Feng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 4: PERTEMUAN DUA JIWA
"Jadi, aku adalah Iblis itu."
Mo Long terkekeh dingin. Di tangannya, secarik kertas sobekan dari buku 'Teknik Kultivasi Ekstrem' bergetar tertiup angin hutan. Gambar lingkaran ritual di kertas itu sama persis dengan pola darah kering tempat ia terbangun.
"Teknik Pemanggil Jiwa Dendam: Mengorbankan nyawa untuk memanggil entitas penuh amarah yang sanggup menghancurkan segalanya."
Ia melipat kertas itu hingga kecil, lalu menyimpannya di kantong celana.
"Ironis sekali," gumamnya. "Bocah, kau menginginkan Iblis penuh dendam? Baiklah. Langit telah mengirimkan aku sosok yang paling sempurna."
Mo Long melompat turun dari batu besar. Ia tidak langsung kembali ke kamarnya. Ada satu hal mendesak yang harus ia pastikan sebelum menghadapi ayahnya malam nanti: Batas kemampuan wadah barunya.
Sret.
Mo Long melepaskan baju atasnya yang lusuh. Udara sore yang dingin langsung menyapa kulit, namun ia tak bergeming. Tubuh remaja itu kurus, namun di balik kulitnya yang penuh bekas luka, tersembunyi otot-otot yang padat laksana kawat baja.
"Mari kita lihat, Mo Long. Seberapa gila kau menyiksa dirimu sendiri demi kekuatan?"
Ia menjatuhkan tubuh, mengambil posisi push-up namun dengan cara yang tidak wajar. Kakinya terangkat lurus vertikal ke langit, seluruh bobot tubuhnya hanya ditumpu oleh satu jari telunjuk tangan kanan.
"Satu..."
Tubuhnya turun perlahan, hidungnya nyaris mencium tanah, lalu naik kembali dengan sentakan stabil. Urat-urat di leher dan lengannya menonjol seperti akar pohon tua.
"Dua... Tiga..."
Keringat mulai menetes deras, membasahi tanah kering di bawah wajahnya. Tidak ada Qi yang membantu menopang tubuhnya. Ini murni kekuatan fisik. Kekuatan tulang dan otot yang ditempa dalam penderitaan.
Saat hitungan mencapai sembilan puluh, tubuhnya mulai bergetar hebat. Rasa sakit menjalar dari ujung jari hingga ke bahu, panas seperti dibakar besi memerah.
"Sembilan puluh sembilan... SERATUS!"
Mo Long menghentakkan tubuhnya ke udara, berputar di langit, dan mendarat dengan mulus di kedua kakinya. Napasnya memburu, uap panas mengepul dari tubuhnya.
"Luar biasa," bisiknya kagum. "Bocah ini... dia tidak punya bakat kultivasi energi, tapi dia adalah jenius dalam kekuatan fisik."
Belum puas, matanya menyapu sekitar dan tertuju pada batang pohon tumbang sebesar paha orang dewasa. Tanpa ragu, ia menghampiri batang itu, memanggulnya di pundak, dan mulai berlari menaiki bukit terjal.
Setiap langkah terasa berat. Paru-parunya serasa mau meledak. Jantungnya memompa darah dengan gila-gilaan.
Di tengah hutan bambu yang sunyi, hanya terdengar derap langkah kaki dan napas kasar seorang pemuda yang sedang berperang melawan keterbatasannya sendiri.
Sesampainya di puncak bukit, Mo Long melempar batang kayu itu hingga menghantam tanah dengan suara BUM yang berat.
Ia jatuh terduduk, bersandar pada batu besar. Matanya terpejam. Keheningan hutan perlahan merasuk ke dalam jiwanya. Suara angin, gesekan daun bambu, dan kicau burung perlahan memudar, digantikan oleh kegelapan yang tenang.
Di dalam kehampaan pikirannya, sebuah visualisasi muncul.
Mo Long melihat dirinya kembali mengenakan jubah putih kebesaran Guang Lian. Bersih, agung, namun berlumuran darah di bagian dada. Di hadapannya, berdiri sosok bocah kurus penuh memar dengan tatapan mata yang redup.
Mo Long yang asli.
"Kau..." Suara bocah itu terdengar jauh, seperti gema dari dasar sumur. "Kau mengambil tubuhku?"
Guang Lian tersenyum. Bukan senyum malaikat yang penuh welas asih, melainkan senyum seorang pejuang yang mengerti arti rasa sakit.
"Kau yang memanggilku, Nak. Kau membenci dunia ini, bukan? Kau membenci ketidakberdayaanmu."
Bocah itu menunduk, air mata darah menetes dari pelupuk matanya. "Aku hanya ingin mereka berhenti menghinaku... Aku ingin membuktikan pada Ayah... bahwa aku ada."
Guang Lian melangkah maju, berlutut di hadapan bocah itu, lalu menepuk pelan kepalanya.
"Istirahatlah. Kau sudah berjuang sangat keras dengan tubuh lemah ini. Rasa sakitmu, amarahmu, kepedihanmu... serahkan semuanya padaku."
Mata bocah itu perlahan berubah, dari redup menjadi penuh harap.
"Mulai sekarang," bisik Guang Lian tegas, matanya berkilat merah. "Tidak ada lagi Mo Long yang diinjak-injak. Tubuh ini akan menjadi pedang yang akan meratakan siapa saja yang menghalangi jalan kita."
Sosok bocah itu mengangguk pelan, lalu perlahan memudar menjadi butiran cahaya, menyatu sepenuhnya ke dalam jiwa Guang Lian.
WUSH!
Mo Long membuka matanya. Realitas kembali menghantam.
Namun, kedamaian itu tak berlangsung lama. Telinganya yang tajam menangkap suara ranting patah. Bukan satu, tapi banyak.
"Keluar," ucap Mo Long datar tanpa menoleh. "Bau busuk kalian mengganggu udara segar di sini."
Dari balik semak-semak, enam sosok remaja muncul. Mereka menyeringai, memegang berbagai senjata latihan.
Pimpinannya adalah seorang bocah gemuk dengan wajah penuh lemak yang menyipitkan mata, menatap Mo Long dengan jijik.
"Lihat siapa ini," seru bocah gemuk itu, suaranya cempreng memuakkan. "Si Bisu yang katanya menghajar Tuan Muda Mo Fei. Cih! Aku yakin kau menggunakan trik licik atau racun!"
Kelima temannya tertawa. Salah satu dari mereka, seorang remaja kurus dengan dua belati di pinggang, meludah ke tanah. "Hei Sampah, apa kau menjual pantatmu pada Tetua Hu Dong agar dia melindungimu di persidangan tadi?"
"Hahaha! Pasti begitu! Tidak mungkin sampah tanpa Qi bisa selamat!" timpal remaja jangkung yang membawa tongkat toya.
Mo Long perlahan bangkit berdiri. Ia menepuk debu di celananya dengan santai, seolah di depannya hanyalah sekumpulan lalat, bukan enam pendekar muda.
"Kalian..." Mo Long menatap mereka satu per satu. Tatapannya dingin, menusuk hingga ke tulang sumsum. "...kalian hanyalah anjing-anjing penakut yang hanya berani menggonggong saat bergerombol."
Tawa mereka berhenti seketika. Wajah si bocah gemuk memerah padam karena marah.
"Kau cari mati, Bangsat! Jangan pikir karena kau anak Patriark kami takut padamu! Di sini hutan liar, kalau kau mati 'kecelakaan', tidak ada yang peduli!"
"Serang dia! Patahkan kaki dan tangannya!" teriak si pemegang tongkat.
Keenamnya maju serentak. Aura Qi tipis berwarna hitam—ciri khas tingkat dasar Klan Naga Bayangan—menyelimuti senjata mereka.
Bagi orang biasa, serangan enam penjuru ini mematikan. Tapi bagi Mo Long, gerakan mereka penuh celah.
"Lambat."
Saat tongkat toya mengayun ke arah kepalanya, Mo Long tidak mundur. Ia justru maju selangkah, menunduk sedikit, membiarkan tongkat itu lewat satu inci di atas rambutnya.
Sret!
Tangan Mo Long bergerak cepat menyambar pergelangan tangan si jangkung, memutarnya dengan sentakan keras.
KRAK!
"AAARGH!"
Si jangkung menjerit saat lengannya dipelintir hingga berbunyi mengerikan. Tanpa ampun, Mo Long menggunakan tubuh si jangkung sebagai tameng hidup.
BUK! BUK!
Dua pukulan nyasar dari teman-temannya mendarat telak di punggung si jangkung, membuatnya muntah darah.
Mo Long menendang si jangkung hingga menabrak dua orang di belakangnya, lalu ia melesat ke arah si pemegang belati.
"Mati kau!" Si kurus menghunuskan belatinya ke dada Mo Long.
Mo Long memiringkan tubuhnya, menangkap pergelangan tangan lawan, dan dengan satu gerakan chop tangan kosong yang presisi, ia menghantam tenggorokan pemuda itu.
UKH!
Mata si kurus melotot, napasnya tercekat. Ia jatuh berlutut memegangi lehernya, terbatuk-batuk hebat mencari oksigen.
Tinggal tiga orang.
Si bocah gemuk mulai gemetar. "Ba-bagaimana bisa? Kau tidak menggunakan Qi sama sekali!"
Mo Long menyeringai. Senyum iblis itu kembali terukir. "Untuk menginjak kecoa sepertimu, aku tidak butuh Qi."
Ia memungut sebatang ranting pohon yang cukup tebal dari tanah.
"Maju," tantang Mo Long.
Dua anak buah tersisa nekat menyerang bersamaan dengan pedang. Mo Long bergerak laksana penari di antara badai pedang. Kakinya lincah berpindah posisi, tubuhnya meliuk menghindari tebasan maut.
TAK! TAK!
Ranting di tangannya bergerak mematuk titik-titik vital lawannya—persendian siku, lutut, dan ulu hati.
Dalam tiga jurus, dua penyerang itu sudah terkapar di tanah, mengerang kesakitan karena sendi mereka dihantam benda tumpul dengan akurasi mengerikan.
Kini, hanya tersisa si bocah gemuk.
Wajahnya pucat pasi, keringat dingin membanjiri lehernya. Senjatanya sudah jatuh karena tangannya terlalu gemetar.
"Ja-jangan mendekat!" pekiknya histeris, mundur hingga punggungnya menabrak pohon.
Mo Long berjalan santai mendekatinya, menyeret ranting kayu di tanah, menciptakan suara srek... srek... yang meneror mental.
"Tadi kau bilang ingin mematahkan kaki dan tanganku?"
Mo Long berhenti tepat di depan wajah si gemuk. Aura membunuhnya begitu pekat hingga membuat lawan terkencing di celana.
"A-ampun... Tuan Muda Mo Long... saya... saya hanya disuruh..."
"Disuruh siapa?" potong Mo Long tajam.
"M-Mo Fei... Dia mengirim pesan dari ruang pengobatan... katanya siapa yang bisa membawakan kepalamu akan diberi hadiah pil kultivasi..."
"Hoo..." Mo Long tertawa kecil. Tawa yang membuat bulu kuduk si gemuk meremang. "Bocah itu masih belum kapok rupanya."
Mo Long mengangkat ranting kayunya, menempelkannya ke pipi tembam bocah itu.
"Dengar baik-baik, Babi. Kembali ke tuanmu. Katakan padanya..."
Mo Long mendekatkan wajahnya, berbisik tepat di telinga si gemuk.
"...Iblis yang dia panggil telah datang. Dan kali ini, aku tidak akan berbaik hati hanya mematahkan tulang."
"P-paham! Saya paham!"
"PERGI!" bentak Mo Long.
Bocah gemuk itu lari tunggang langgang, tersandung-sandung, meninggalkan teman-temannya yang masih merintih kesakitan di tanah.
Mo Long membuang ranting kayu itu. Ia mendongak menatap langit sore yang mulai memerah. Matahari terbenam, seakan menjadi pertanda berakhirnya masa damai di klan ini.
Ia merasakan darah di dalam tubuhnya mendidih penuh semangat. Tubuh ini kuat. Sangat kuat. Dengan teknik bela diri kehidupan lampaunya dan fisik monster Mo Long, ia siap menghadapi apa pun.
"Sekarang..." Mo Long menatap ke arah kompleks bangunan utama klan di kaki gunung. "...waktunya menemui Ayah."
Jangan lupa like dan subscribe apabila kalian menikmati novelku 😁😁