Nindya adalah wanita empatik dan gigih yang berjuang membesarkan anaknya seorang diri. Kehidupannya yang sederhana berubah ketika ia bertemu Andrew, pria karismatik, mapan, dan penuh rahasia. Dari luar, Andrew tampak sempurna, namun di balik pesonanya tersimpan kebohongan dan janji palsu yang bertahan bertahun-tahun.
Selama lima tahun pernikahan, Nindya percaya ia adalah satu-satunya dalam hidup Andrew, hingga kenyataan pahit terungkap. Andrew tetap terhubung dengan Michelle, wanita yang telah hadir lebih dulu dalam hidupnya, serta anak mereka yang lahir sebelum Andrew bertemu Nindya.
Terjebak dalam kebohongan dan manipulasi Andrew, Nindya harus menghadapi keputusan tersulit dalam hidupnya: menerima kenyataan atau melepaskan cinta yang selama ini dianggap nyata. “Istri Bayangan” adalah kisah nyata tentang pengkhianatan, cinta, dan keberanian untuk bangkit dari kepalsuan yang terselubung.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seroja 86, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
"Tapi apa?."
Nindya tidak menyahut tapi dari sorot matanya Andrew dapat menangkap kekhawatiran.
"Kamu takut hal ini akan jadi bahan gunjingan?, " ujar Andrew
"Betul.. saya sudah lelah menjadi bahan gunjingan." timpal Nindya yang lebih menyerupai keluhan di banding sebuah jawaban.
Sejak pertemuan di ruang kerja Andrew, Nindya merasa ada sesuatu yang berubah. Andrew tidak lagi sekadar atasan yang menjaga jarak dengan stafnya.
Pagi pertama setelah pertemuan itu, ia tiba di kantor lebih awal dari biasanya. Udara masih lembap, cahaya matahari baru menembus kaca jendela gedung. Ketika Nindya menaruh tas di meja kerjanya, ia menemukan secangkir kopi hangat sudah ada di sana. Bukan kopi instan, melainkan merek yang biasa ia beli sendiri dari kedai kecil dekat rumah.
Ia berhenti sejenak, menatap cangkir itu dengan dahi berkerut. Tidak ada catatan, tidak ada nama. Ia melirik sekeliling. Beberapa staf lain baru saja datang, sibuk dengan komputer masing-masing. Resepsionis yang lewat berbisik singkat,
“Pak Andrew titip tadi.” Lalu berlalu begitu saja, seolah hal itu bukan sesuatu yang penting.
Hari-hari berikutnya, Andrew mulai sering mengajaknya berdiskusi lebih intens tentang proyek. Bukan hanya memberi instruksi, tapi juga mendengarkan masukannya. Ketika Nindya menyampaikan ide, Andrew benar-benar menimbangnya, bahkan mencatat.
“Pendapatmu masuk akal,” ujarnya suatu sore di ruang rapat.
“Kita jalankan sesuai saranmu.”
Rekan-rekan kerja menoleh, sebagian terkejut melihat Andrew memberi ruang sebesar itu pada staf baru. Nindya berusaha tetap tenang, meski dalam hati ia gelisah. Ia tidak ingin perhatian khusus ini menimbulkan gosip baru.
Sepulang kerja, Andrew menghampirinya di parkiran.
“Kamu sudah makan?” tanyanya santai.
Nindya menggeleng, menutup tas kecilnya dengan cepat.
“Belum, tapi saya sudah masak di rumah.”
Andrew hanya tersenyum, tidak memaksa. “Baiklah. Hati-hati di jalan.”
Sepintas sederhana, tapi bagi Nindya, semua itu meninggalkan jejak. Andrew tahu cara hadir tanpa berlebihan. Justru sikap tenangnya yang membuat Nindya sulit membaca apakah semua ini hanya bentuk kepedulian, atau ada sesuatu di baliknya?
Di kamarnya malam itu, Nindya termenung. Ia ingat kata-kata Andrew di ruang kerjanya: Makan malam kemarin membuat saya sadar ada rasa sederhana yang sudah lama hilang dari hidup saya. Ia mengusap wajahnya, berusaha menepis bayangan itu.
Namun semakin ia mencoba, semakin jelas perasaan itu tumbuh. Ia sadar, menjaga jarak mungkin tidak akan mudah lagi.
Nindya menghela napas, lalu menarik kursinya. Kopi itu ia seruput perlahan, mencoba menetralkan perasaan yang berputar.
Di satu sisi, ia merasa hangat—perhatian kecil semacam itu jarang ia terima. Di sisi lain, ia sadar betul kalau ini dibiarkan, bisa menimbulkan gosip baru. Ia sudah pernah jadi bahan gunjingan.
Hari-hari berikutnya, Andrew mulai melibatkan Nindya dalam diskusi lebih intens. Bukan sekadar memberi instruksi, melainkan benar-benar mendengarkan pendapatnya. Suatu siang, di ruang rapat yang dindingnya dipenuhi papan tulis penuh coretan, Andrew meminta Nindya menyampaikan analisanya soal dokumen tender.
“Menurut saya,” suara Nindya terdengar hati-hati, “kalau kita memilih opsi kedua, ada risiko biaya membengkak. Tapi opsi pertama memberi ruang negosiasi lebih fleksibel.”
Andrew menatapnya dalam-dalam, lalu tersenyum tipis. “Pendapatmu masuk akal. Kita jalankan sesuai saranmu.”
Beberapa rekan kerja menoleh, sebagian terkejut. Andrew bukan tipe atasan yang mudah memberi kepercayaan pada staf baru. Tapi kali ini, ia bukan hanya mengiyakan—ia bahkan mencatat setiap detail usulan Nindya.
Setelah rapat bubar, beberapa kolega berbisik di lorong. Ada yang memandang Nindya dengan heran, ada pula yang menahan senyum sinis. Ia bisa merasakannya dari sudut mata mereka. Rasanya seperti kembali ke masa lalu: tatapan penuh penilaian yang pernah ia alami di bebebrapa waktu yang lalu.
Nindya mencoba menepis semua itu. Ia kembali ke mejanya, menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Tapi yang membuatnya gelisah bukan sekadar gosip, melainkan sikap Andrew yang konsisten memberi perhatian kecil.
Suatu sore, saat Nindya merapikan berkas di mejanya, Andrew mendekat.
“Kamu sudah makan?” tanyanya singkat, suaranya lebih lembut dari biasanya.
Nindya menggeleng.
“Belum, tapi saya akan makan di rumah. Terima kasih, Pak.”
Andrew tidak memaksa. Ia hanya tersenyum,
Percakapan sederhana, tapi cukup untuk membuat Nindya termenung sepanjang perjalanan pulang. Ada cara Andrew memperhatikan yang tidak ia temui di pria lain.
Bukan perhatian agresif, tapi juga bukan sekadar basa-basi. Seolah Andrew tahu batas yang harus ia jaga, namun tetap menyelipkan tanda bahwa ia peduli.
Di rumah, setelah anaknya tertidur, Nindya duduk di tepi ranjang. Pikirannya melayang pada malam makan bersama Andrew, lalu pada kopi di mejanya, lalu pada tatapan serius Andrew ketika mendengarkan masukannya di rapat. Semua itu berputar bagai potongan puzzle yang saling melengkapi.
Ia menghela napas panjang.
“Jangan bodoh, Nindya,” gumamnya pada diri sendiri.
Tapi hati manusia tidak selalu tunduk pada logika. Ia tahu dirinya sedang berdiri di batas yang rapuh—antara kewaspadaan dan perasaan yang tumbuh perlahan.
Hari Jumat sore, saat kantor mulai lengang, Nindya masih duduk di meja kerjanya, merapikan laporan mingguan.
Andrew keluar dari ruangannya dengan jaket di tangan. Ia berhenti sejenak di dekat Nindya.
“Besok saya ada urusan di Singapura. Senin mungkin terlambat masuk,” katanya datar.
Nindya menoleh singkat.
“Baik, Pak saya siapkan dokumen pendukungnya.”
Andrew menatapnya lebih lama daripada perlu.
“Kamu tidak usah terlalu kaku, Nindya santai saja.”
Ia tersenyum samar, lalu berjalan pergi. Langkahnya tenang, tapi meninggalkan bayangan yang sulit dihapus dari benak Nindya.
Malam itu, Nindya kembali termenung. Ia sadar satu hal Andrew bukan lagi sekadar atasan di matanya. Ada sesuatu yang lebih dalam, meski ia berusaha keras menyangkal.
Langit Batam siang itu berawan tipis, menyaring cahaya matahari menjadi lembut. Dari balik kaca jendela ruang kerjanya, Nindya menatap pelabuhan yang sibuk.
Kapal-kapal kargo keluar masuk, sementara crane raksasa bergerak seolah tak pernah lelah. Namun pikirannya sama sekali tidak tertuju pada pemandangan itu.
Ia masih teringat percakapan di ruang meeting kemarin, ketika Andrew memanggilnya dengan alasan ada hal penting untuk ditinjau, lalu justru menyinggung soal makan malam mereka.
Sejak itu, Nindya dilanda perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia merasa Andrew terlalu jauh mencampuradukkan urusan pribadi dengan pekerjaan.
Di sisi lain, ada sesuatu dalam tatapan dan intonasi suaranya yang membuat Nindya tidak bisa menepis rasa hangat di dadanya.
Ia benci mengakui bahwa pria itu berhasil membuatnya memikirkan ulang batasan yang selama ini ia pegang.
Ketukan pelan di pintu membuyarkan lamunannya. Seorang staf dari bagian administrasi masuk membawa berkas.
“Bu Nindya, ini dokumen untuk rapat sore nanti.”
“Terima kasih, tolong letakkan di meja saya,” jawab Nindya dengan senyum tipis. Setelah staf itu keluar, ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri.