NovelToon NovelToon
Operasi Gelap

Operasi Gelap

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Mafia / Balas Dendam / Mata-mata/Agen / Gangster / Dark Romance
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: Radieen

Amara adalah seorang polisi wanita yang bergabung di Satuan Reserse Narkoba. Hidupnya seketika berubah, sejak ia melakukan operasi hitam penggrebekan sindikat Narkoba yang selama ini dianggap mustahil disentuh hukum. Dia menjadi hewan buruan oleh para sindikat Mafia yang menginginkan nyawanya.
Ditengah - tengah pelariannya dia bertemu dengan seorang pria yang menyelamatkan berulang kali seperti sebuah takdir yang sudah ditentukan. Perlahan Amara menumbuhkan kepercayaan pada pria itu.
Dan saat Amara berusaha bebas dari cengkraman para Mafia, kebenaran baru justru terungkap. Pria yang selama ini menyelamatkan nyawanya dan yang sudah ia percayai, muncul dalam berkas operasi hitam sebagai Target Prioritas. Dia adalah salah satu Kepala geng Mafia paling kejam yang selama ini tidak terdeteksi.
Amara mulai ragu pada kenyataan, apakah pria ini memang dewa penyelamatnya atau semua ini hanyalah perangkap untuknya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Radieen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hasrat dalam Jebakan

Amara terdiam. Komandan Alfian adalah orang yang ia percayai lebih dari siapa pun. Pengkhianat? Itu tidak masuk di akal.

Pria itu menyandarkan punggungnya, menatap lurus ke depan.

"Tidak, tidak mungkin," gumam Amara. Dia menggelengkan kepala, mencoba menyingkirkan nama itu dari pikirannya.

“Kenapa dia? Kenapa dia melakukan itu?” tanya Amara, suaranya bergetar.

“Dia adalah salah satu pemimpin penyelundupan senjata dan narkoba dalam skala internasional. Dia itu iblis dalam wujud manusia,” jawab pria itu dengan nada dingin. "Apa kau tidak mengenaliku?"

Amara terdiam menatap pria itu. Apa yang terlewat? Apa yang yang dia tidak tahu? Pikirannya terasa kusut, tidak mampu mengurai situasi yang di hadapinya.

“Kenapa aku harus percaya?” tanya Amara, matanya melihat tajam.

“Aku tahu kau tidak percaya padaku. Tapi jika kau ingin mengetahui kebenaran, kau harus datang bersamaku. Aku akan membawamu ke tempat kita seharusnya bertemu.”

Tanpa menunggu persetujuan lebih lanjut, pria itu menyalakan mesin mobil dan melajukannya ke tengah kota. Lampu-lampu neon berkelebat Di jendela, menciptakan bayangan yang menari di wajah mereka. Amara terdiam, pikirannya berkecamuk.

Mereka berhenti di depan sebuah klub malam yang ramai. Musik keras berdentum dari dalam, dan cahaya strobo berkilatan ke langit malam. Amara mengenali tempat itu, The Vex. Klub itu adalah sarang mafia, tempat Amara melakukan operasi hitam untuk pertama kali.

Mereka masuk melalui pintu belakang. Para penjaga tampak mengenal pria bermata hazel itu, sehingga tidak ada yang berani menghalangi. Amara berjalan di belakangnya, hatinya berdegup kencang.

"Apa yang kita lakukan di sini?" bisik Amara.

“Bukankah kau bertanya kenapa harus percaya? Aku sedang memberimu jawabannya,” jawab pria itu dingin.

Mereka bersembunyi di sebuah ruangan kecil di belakang panggung. Pria itu mengeluarkan kamera kecil dan mikrofon, lalu memasangnya di tempat tersembunyi. Amara memperhatikannya dengan waspada, mencoba memahami niatnya.

Mereka menunggu. Satu jam, dua jam. Tidak ada tanda-tanda kemunculan Komandan Alfian. Amara mulai cemas, rasa ragu kembali menguasainya.

“Kau membuang-buang waktuku,” bisiknya.

“Tidak,” pria itu menoleh dan menarik tangannya perlahan. “Dia akan datang.”

Suara langkah kaki terdengar dari luar. Pria itu memberi isyarat agar Amara diam. Mereka bersembunyi di balik tumpukan kotak.

Pintu terbuka, dan tiga orang masuk. Salah satunya adalah Raditya.

Mata Raditya langsung menangkap sosok Amara. “Apa yang kalian lakukan di sini?” tanyanya tajam.

Pria bermata hazel berbisik lirih, “Ini jawabannya. Salah satu pengkhianat sudah muncul.”

Raditya mengeluarkan pistol, mengarahkannya pada pria itu. “Tidak. Kau yang pengkhianat. Kau yang menjebak kami di gudang itu.”

“Raditya, tunggu!” seru Amara, bingung.

Namun Raditya lebih cepat. Tembakan pertama dilepaskan. Pria bermata hazel menghindar dan membalas. Adu tembak singkat pun terjadi, suara peluru memantul di dinding ruangan.

Amara menatap pria itu, wajahnya pucat. "Apa yang kau lakukan?"

"Mereka anak buah Alfian bukan? Mereka pasti datang untuk membunuh kita," jawab pria itu dingin.

Tiba-tiba, sebuah suara terdengar dari pengeras suara.

"Semua orang, keluar dari gedung ini! Ada razia!"

Pria itu langsung menarik Amara. Mereka berlari keluar melalui lorong sempit, menembus kerumunan yang panik. Di luar, mobil sudah menunggu. Tanpa ragu, pria itu mengemudi dengan kecepatan tinggi, meninggalkan klub yang mulai dikepung polisi.

“Aku rasa dia tahu rencana kita,” katanya lirih.

Amara meronta, melepaskan tangannya. “Lepaskan aku! Aku mengikuti hal yang sia-sia!”

Ia melangkah turun dari mobil saat pria itu berhenti mendadak di sebuah jalan sepi. Namun tiba-tiba, kepalanya pusing. Pandangannya berkunang-kunang, kakinya lemas. Ia ingat, di klub tadi, seorang pelayan sempat memberinya segelas minuman.

“Apa yang… kau berikan padaku?” suara Amara serak, nyaris tidak terdengar.

Pria itu menatapnya kaget. “Tidak… bukan aku. Mereka menjebakmu.”

Namun ekspresinya berubah aneh. Ia pun mengusap wajahnya dengan telapak tangan, napasnya berat. “Sial… aku juga, minuman itu… aku juga meminumnya…”

Mata Amara membesar. Tubuhnya mulai terasa panas, setiap serat ototnya menegang. Ia merasakan gejolak yang asing, tubuhnya seperti mengkhianati pikirannya. Saat ia hampir jatuh, pria itu meraih pinggangnya, menahannya.

“Lepas…” bisik Amara, tapi suaranya lemah, bertentangan dengan tubuhnya yang justru condong ke arah pria itu.

Pria bermata hazel menatapnya, rahangnya mengeras. Tubuhnya sendiri bergetar, napasnya tersengal. “Obat itu… meracuni kita berdua…”

Mereka berdua dalam keadaan tak terkendali. Getaran di antara tubuh mereka tak bisa lagi diabaikan. Dalam kepanikan, pria itu menyalakan mobil kembali, melesat ke sebuah hotel kecil yang tak jauh dari sana.

Amara hanya bisa setengah sadar ketika mereka masuk ke kamar. Begitu pintu tertutup, tubuhnya seperti terbakar. Nafasnya berat, pandangannya kabur. Ia mendengar dentuman jantung pria itu, sama cepatnya dengan detak jantungnya sendiri.

“Aku… tidak bisa…” suaranya terputus.

Pria itu menempelkan keningnya pada dinding, berusaha menahan diri. “Aku juga tidak bisa… lebih baik sekarang kita mandi, berendam air dingin bisa mengurangi efek obat ini. ”

Pria itu segera menampung air dalam bathup, Amara yang memanas menarik kerah bajunya. Menciumi bibirnya dengan lembut. "Aku tidak bisa menahannya lagi."

Namun, sebelum batas itu terlewati, pria bermata hazel memalingkan wajahnya. Ia menekan kening Amara dengan telapak tangannya, menahannya agar tetap tenang.

“Aku tidak akan mengambil keuntungan darimu,” katanya pelan.

Dia menggendong Amara, memasukkannya ke dalam bathup yang sudah terisi penuh dengan air dingin. Meski dia sama bergairah nya, dia masih mampu menahan efek obat itu.

Amara tidak terpengaruh dengan dinginnya air, tubuhnya malah semakin memanas. Bajunya yang basah mulai menampakkan lekukan setiap tubuhnya. Dia menarik wajah pria itu, mendekati bibirnya. Kali ini lebih kasar, lebih memaksa.

Mata Amara terpejam. Semua penolakannya runtuh di hadapan sensasi yang membakar tubuhnya. Ia mencengkeram erat kemeja pria itu, menariknya lebih dekat hingga tak ada lagi jarak di antara mereka. Pria itu menahan diri sejenak, tapi nafas Amara yang tersengal dan desakan tubuhnya akhirnya mematahkan pertahanannya.

Ia menyerah, membalas ciuman Amara dengan ciuman yang sama memabukkan. Tangannya menyelinap ke bawah punggung Amara, mengangkatnya pelan hingga Amara duduk di pangkuannya. Air dingin di bak mandi tumpah, seolah tak berdaya melawan panas yang terpancar dari kedua tubuh mereka. Pria itu menyusuri lekuk leher Amara dengan bibirnya, sementara Amara mendongak, merasakan sentuhan itu.

Napas mereka beradu cepat, disela-sela desahan yang lolos dari bibir Amara. Pria itu mengangkat wajahnya, menatap Amara dalam-dalam. Sorot matanya dipenuhi gairah dan kelembutan. Jemarinya merayap ke wajah Amara, mengusap pipinya lembut, seolah tak percaya pada apa yang terjadi. Ia kemudian mengangkat tubuh Amara, memindahkannya dari bak mandi ke ranjang yang tak jauh dari sana.

Mereka berbaring bersama, saling menatap, diiringi irama detak jantung yang berdentum di telinga. Mereka berciuman lagi, kali ini lebih perlahan, lebih sensual. Setiap sentuhan terasa seperti sengatan listrik. Pria itu menyusuri tubuh Amara, mengeksplorasi setiap lekuknya, membakar kulitnya.

Sensasi yang membakar dan keintiman yang terjalin terasa begitu nyata, membanjiri mereka berdua hingga ke akal sehat mereka. Mereka sepenuhnya dikuasai oleh hasrat yang dilepaskan oleh obat itu.

1
Piet Mayong
so sweet deh fai dan Amara...
Piet Mayong
semanggad Thor...
Piet Mayong
musuh yg sesungguhnya adalah komandannya sendiri, Alfian.
sungguh polisi masa gthu sih....
Piet Mayong
seru ceritanya..
semangat.....
Radieen: 🙏🙏 Makasih dukungan, sering sering komen ya.. biar aku semangat 🩷
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!