Istri Bayangan
“Jelaskan sama aku Mas! ,Kamu masih mau mengelak? aku lihat sendiri kamu duduk dengan perempuan itu di kafe!.”
Suara Nindya pecah, seperti kaca dilempar ke lantai.Ia berdiri di ruang tamu sempit, kedua tangannya mengepal.
Arman mendesah berat, lalu meletakkan ponsel ke meja dengan gerakan kasar. Wajahnya tenang, nyaris dingin.
“Aku muak Nindya !semua orang kamu curigai itu cuma rekan kerja.” Sangkal Armand.
“Rekan kerja jam sebelas malam?.Tangannya melingkar di pinggangmu?.” Nindya menahan napas, suaranya bergetar.
“Kamu pikir aku bodoh?!.”
Sekilas tatapan Armand berubah. Ada kilatan kesal, bercampur rasa terpojok.Tapi ia cepat menutupinya dengan senyum tipis.
“Kamu memata matai aku Nind?.”Tanya Armand dengan tatapan menyelidik.
Keheningan mendadak jatuh di antara mereka. Dari kamar kecil di samping, terdengar napas teratur putri mereka yang tertidur. Nindya menoleh ke arah pintu kamar, lalu kembali menatap suaminya. Air matanya nyaris jatuh, tapi ia tahan mati-matian.
Bukan pertama kali ini. Bukan pula yang terakhir.
Pagi harinya, dapur penuh aroma roti bakar dan kopi hitam. Nindya menyiapkan bekal anaknya ke sekolah.
Tangan sibuk,pikiran masih berkecamuk. Kata-kata Armand semalam terngiang, menusuk seperti jarum.
Armand muncul dengan kemeja rapi, dasi sudah terpasang.Ia menyalakan televisi, duduk,lalu menyuap roti bakar tanpa menoleh pada istrinya.
“Kamu pulang jam berapa malam ini?”,tanya Nindya, lirih.
“Entahlah ..ada rapat jangan tunggu,” jawabnya singkat.
Ia bahkan tak menoleh ketika berkata begitu. Hanya meneguk kopi,lalu berdiri,mengambil kunci mobil.
“Aku pergi dulu.”
Pintu menutup dengan suara keras.Dapur kembali hening, hanya suara sendok yang dijatuhkan Nindya ke meja. Rasanya ia bukan lagi seorang istri, melainkan asisten rumah tangga yang mengurus segalanya tanpa dihargai.
Hari-hari berikutnya berjalan dengan pola serupa. Armand pulang larut, sering beralasan ada lembur atau rapat. Nindya tahu sebagian besar alasan itu bohong, tapi ia terlalu lelah untuk terus bertengkar.
Suatu malam, ponsel Armand tertinggal di meja makan. Layarnya menyala, pesan singkat masuk.
“I miss you much.”
Dada Nindya berdegup keras jari-jarinya bergetar ketika membaca nama pengirim seorang perempuan yang sama sekali tak ia kenal.
"Tidak mungkin ini rekan kerja."Ucap Nindya dalam hatinya
Armand keluar dari kamar mandi,handuk masih melilit leher. Begitu melihat ponselnya di tangan istrinya, wajahnya menegang.
“Apa yang kamu lakukan?, kamu tidak ada hak memeriksa ponsel ku itu privasi!.”Dengus Armand dengan mata berkilat karena marah.
“Tidak berhak katamu Mas?,status ku masih istrimu, privasi?sejak kapan ada privasi diantara pasangan?!"suara Nindya serak, tapi matanya tajam.
“I miss you? ini jelas bukan rekan kerja Mas”
Armand meraih ponselnya dengan kasar
"Lancang kamu! kembalikan kamu tidak ada hak."Bentak Armand.
.
"Tidak ada hak?” Nindya hampir tertawa, tapi pahit.
“Look at this!” pekik Nindya sambil menunjukan cincin pernikahan bermata berlian yang melingkar di jari manisnya
Armand terdiam sejenak, Lalu,bukannya menjawab, ia malah berjalan ke kamar, menutup pintu dengan dentuman.
Nindya berdiri sendirian di ruang makan. Perasaan kosong menelannya. Ia ingin menjerit, tapi anak mereka sudah terlelap di kamar.
Beberapa minggu berikutnya, hubungan mereka kian membeku. Hampir tak ada percakapan selain soal kebutuhan rumah. Armand memilih keluar rumah setiap malam. Nindya mengurus anak seorang diri, memadamkan pertanyaan polos si kecil tentang mengapa ayahnya jarang di rumah.
Suatu sore, Nindya mencoba bicara lagi. “Armand, kita tidak bisa terus begini, kita harus tentukan mau di bawa kemana arah rumah tangga ini—”
“Cukup!. ..jangan teruskan apalagi bicara soal cerai, itu tidak akan pernah terjadi ingat itu Nindya!."Arman memotong tajam.
Kata itu menggantung di udara.
“Cerai.” Baru disebut, tapi rasanya sudah lama menghantui mereka.
Nindya menarik napas panjang.
“Kenapa? kamu takut reputasi mu hancur karena cerai ?,tapi kamu tidak malu dengan perselingkuhan?!.” cecar Nindya dengan berapi api
Arman menggeleng, wajahnya penuh kejengkelan.
“Kamu selalu menyalahkan aku ,tanpa kamu pernah introspeksi mengapa semua itu bisa terjadi Nindya.”
“Memangnya aku kenapa? aku lakukan tugasku sebagi istri ,aku bekerja ,aku juga jadi ibu buat anak kita, apa itu tidak cukup!”
Kali ini, Armand tidak menjawab ia mengambil jaket, lalu keluar rumah tanpa pamit.
Malam itu, Nindya duduk di kamar sendirian. Lampu kamar padam, hanya cahaya dari jalan menembus jendela. Ia memandangi putrinya yang tertidur pulas.
Air mata jatuh tanpa bisa dibendung. Semua pengorbanan, semua kesabaran… rasanya sia-sia.
Untuk pertama kali, ia mulai serius mempertimbangkan kata yang tadi hampir ia ucapkan cerai.
Namun di hatinya, ada suara kecil yang berbisik sanggupkah ia menghadapi dunia sendirian bersama anaknya?
Pertanyaan itu menggantung, seperti pintu yang terbuka sedikit, menunggu keberanian untuk benar-benar dilangkahi.
Hari-hari berjalan seperti siksaan yang berulang. Pagi datang, Nindya menyiapkan sarapan sambil menahan hati yang retak. Malam tiba, rumah hanya berisi keheningan dan suara televisi yang ia nyalakan sekadar untuk menipu sepi.
Armand semakin jarang pulang bahkan saat pulang, tubuhnya ada di rumah, tapi pikirannya melayang entah ke mana. Nindya berhenti berharap ada percakapan hangat atau sekadar senyum. Ia sudah terlalu sering kecewa.
Suatu malam, suara notifikasi ponsel Armand kembali memecah sunyi. Ia tertidur di sofa ruang tamu, dasi longgar, kemeja kusut. Nindya yang sedang membereskan mainan anak mereka, tanpa sengaja melihat layar ponsel itu menyala.
Pesan singkat muncul.
“Miss you, besok kamu jadi ke Bandung kan sayang?.”
Nindya menutup mulut dengan tangannya. Bandung?.Ia sendiri lahir dan besar di kota itu, tapi selama ini jarang pulang.Kini nama kota itu seperti duri.
“Jadi tugas keluar kota itu, hanya kamuflase?” bisiknya pelan.
Armand terbangun, mengucek mata.Begitu sadar ponselnya di tangan Nindya, wajahnya berubah tegang.
“Kamu lagi-lagi mengacak-acak privasiku!.”
“Privasi?” suara Nindya meninggi.
“Bagus! jadi yang kamu bilang rapat di Bandung itu bohong?,kamu sebenarnya menemui perempuan itu kan Mas?!”
Arman bangkit,matanya merah karena marah
.“Aku muak dengan tuduhanmu!.”
“Ini bukan tuduhan ini bukti.” Nindya melempar ponsel ke sofa.
“Kamu ingin ke Bandung menemui perempuan itu, apa aku salah lihat?.”
Armand menatapnya lama, lalu berjalan ke arah pintu.
“Aku butuh napas .”
“Jangan mengelak!” teriak Nindya.
“Kalau kamu lelaki, hadapi aku masihkah kamu anggap aku istrimu? Jawab aku!."pekik Nindya
Armand berhenti di ambang pintu, lalu menoleh dengan senyum tipis yang menusuk.
“Kamu pikir saja sendiri, apakah kamu layak di sebut istri.”
Kalimat itu menghantam lebih keras daripada tamparan. Nindya berdiri terpaku, kakinya gemetar.
Esoknya, Nindya berusaha bersikap biasa demi putrinya. Ia mengantar anaknya ke sekolah, lalu duduk di kantin Ia butuh udara, butuh ruang untuk menangis tanpa ada yang melihat.
Di sana, ia mendengar obrolan dua Ibu Ibu sesama wali murid ,tengah bergunjing tentang seorang pria yang juga salah satu wali murid di sekolah itu, yang tertangkap basah sedang jalan di mall demgan wanita lain.
" Eeh Mama Fio ada gosip panas nih.., Satu diantara ibu ibu itu membuka Percakapan diantara mereka.
"Gosip apa?, "Ujar Rekannya penasaran
"Kemarin aku lihat papa Yudith bersama.." si ibu tidak melanjutkan ucapannya setelah salah seorang diantara mereka menyikut lengannya saat melihat kehadiran Nindya di kantin itu.
Keduanya mengangguk canggung kearah Nindya
Hatinya hancur sekali lagi. Bahkan tanpa ia cari, kabar buruk itu datang sendiri. Dunia seakan ingin menelanjangi semua luka di depan wajahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
Uthie
Seruuuu sekali ceritanya Thor 👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻
2025-09-23
0
partini
ini kisah nyata thor
2025-09-23
0
sukensri hardiati
mampir
2025-09-23
0