Seorang pria tampan yang tidak sengaja bertemu dengan wanita cantik namun jutek , pertemuan pertama mereka membuat si pria sangat penasaran ,sampai pada akhirnya mereka jadi sering bertemu karna sesuatu,kira kira apa yah alasan mereka sering bertemu,dan apa yang terjadi diantara mereka?
yuk ikuti ceritanya ❤️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iqueena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9 Ternyata aku mencintainya
Kelvin menatap Wilona, tersenyum pelan. Ada sesuatu dalam tatapan perempuan itu, sebuah ruang kosong yang seolah meminta untuk diisi. Dan Kelvin, untuk pertama kalinya, merasa ia ingin menjadi bagian dari ruang itu.
Namun, di balik rasa itu, muncul satu pertanyaan yang cukup mengusik pikirannya.
"Oh iya, ibu kamu tinggal di rumah itu juga?" tanya Kelvin, pelan dan hati-hati.
Langkah Wilona langsung terhenti. Tubuhnya diam di tempat. Kelvin ikut berhenti, memandangi wajah Wilona yang tiba-tiba berubah sendu.
"Ibu aku meninggal sepuluh tahun yang lalu," ucap Wilona pelan, tanpa menoleh.
"Sejak ibu tiada, aku dan ayah yang menjalankan kedai roti itu. Tapi empat tahun setelahnya, ayah juga pergi menyusul ibu."
Ia menarik napas sejenak, pandangannya kosong menatap laut.
"Sudah lima tahun aku tinggal sendiri di rumah itu… cuma ditemani kucing peliharaanku."
Kalimat itu menghantam pelan ke hati Kelvin. Ia menyesal telah bertanya, tanpa tahu luka yang bisa terbuka.
Kelvin melangkah lebih dekat, lalu dengan lembut memegang kedua tangan Wilona dan berdiri di hadapannya.
"Aku minta maaf, Wil... Aku nggak bermaksud menyinggung atau bikin kamu sedih." ucapnya tulus, penuh penyesalan.
Wilona akhirnya menatapnya dan tersenyum kecil.
"Nggak apa-apa, Vin... Aku udah berdamai dengan keadaan kok."
Kelvin melepaskan genggaman tangannya, lalu kembali berjalan perlahan di sepanjang tepian pantai. Wilona mengikutinya, dan mereka berbagi diam yang nyaman.
Sampai akhirnya, mereka memutuskan untuk berhenti dan duduk kembali.
Matahari mulai turun ke ufuk, langit berubah jingga, dan cahaya senja menyinari wajah Wilona dengan begitu cantik. Kelvin menatapnya tanpa berkata apa-apa—senyum di wajahnya adalah bahasa yang tak butuh terjemahan.
Setelah beberapa saat, Kelvin akhirnya bersuara,
"Wil, udah mulai gelap... Yuk, kita ke hotelnya, istirahat dulu."
Wilona menoleh dengan dahi mengernyit.
"Hotel? Gak salah, Vin?"
Kelvin terkekeh pelan.
"Iya, hotel. Masa kamu mau tidur di atas pasir pantai? Gak mungkin dong..."
Wilona terdiam sejenak, menatapnya curiga. Tapi sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, Kelvin menambahkan cepat,
"Tenang aja... Kita nggak sekamar kok."
Wilona pun akhirnya tersenyum lega.
"Oh, kirain mau tidur satu kamar, hahaha."
Kelvin ikut tertawa kecil, lalu mengambil tas mereka dan mengajaknya pergi dari pantai itu.
Langkah kaki mereka menyusuri pasir yang mulai dingin, menuju hotel di dekat pantai tempat di mana hari itu akan diakhiri dengan tenang, dan mungkin… menjadi awal dari sesuatu yang baru.
Setibanya di lobi hotel, Kelvin langsung memesan dua kamar, satu untuknya, satu lagi untuk Wilona.
Setelah proses check-in selesai, resepsionis menyerahkan dua kunci kamar kepadanya. Kelvin berbalik dan menghampiri Wilona, lalu menyodorkan salah satu kunci.
"Wil, ini kunci kamarmu. Kamarnya tepat di depan kamarku, jadi kamu tetap aman ya," ucap Kelvin sambil tersenyum.
"Terima kasih, Vin. Aku ke kamar duluan ya, udah gerah banget, pengen mandi..." balas Wilona sambil menyeka keringat tipis di pelipisnya.
Kelvin hanya mengangguk sambil tersenyum kecil, memperhatikannya hingga Wilona masuk ke dalam kamar.
Setelah itu, Kelvin pun masuk ke kamarnya sendiri yang berada tepat di seberang kamar Wilona. Sekitar tiga puluh menit berlalu. Kelvin keluar dari kamarnya dengan penampilan yang rapi.
Kaus turtleneck berwarna netral dipadukan dengan celana panjang hitam dan coat mocca yang membuat penampilannya tampak elegan namun tetap santai. Di tangannya, ia membawa sebuah kotak berisi dress hitam.
Sesampainya di depan kamar Wilona, ia mengetuk pintu.
Tok tok...
Tidak ada respons.
Kelvin mengernyit, "Masa belum selesai juga mandinya? Udah hampir setengah jam..."
Ia mengetuk lagi, lebih pelan.
Tok tok...
Masih tidak ada jawaban. Akhirnya Kelvin memutuskan untuk menelepon Wilona. Tak lama, sambungan tersambung.
Sambil berdiri di depan pintu, ia berkata.
📞Kelvin
"Wil, kamu ngapain sih? Aku di depan pintu, bukain dong."
Tidak ada jawaban, hanya suara langkah mendekat dari dalam kamar. Sesaat kemudian, pintu terbuka perlahan.
Wilona berdiri di ambang pintu dengan handuk melingkar di rambutnya, wajah tanpa makeup, dan hanya mengenakan bathrobe hotel. Kelvin mendadak terpaku. Ada keheningan yang aneh dalam detik itu.
Wajah polos Wilona, tanpa riasan sedikit pun, justru tampak begitu segar. Rambutnya yang basah setengah tertutup handuk, dan rona pipinya yang merona karena habis mandi, membuat Kelvin seakan lupa tujuannya datang.
Wilona menatapnya heran.
"Ada apa, Vin?"
Kelvin tersadar dari lamunannya. Ia langsung menunduk, menatap kotak yang ia bawa.
"Ah, iya... Ini..." katanya gugup.
"Waktu itu aku beli dua dress. Satu aku kasih ke Mamah, yang satu lagi awalnya aku gak tahu mau dikasih ke siapa. Tapi tadi pagi aku mutusin buat kasih yang satu lagi ke kamu. Aku rasa kamu bakal cocok pakai dress ini."
Wilona menerima kotak itu dengan tatapan bingung. Ia membuka perlahan, dan matanya langsung membulat melihat dress hitam elegan di dalamnya.
"Vin? Kamu suruh aku pakai ini? Buat apa?"
Kelvin tersenyum gugup, lalu menatap mata Wilona.
"Sekarang, Wil. Aku udah reservasi makan malam buat kita di restoran hotel ini. Jam tujuh ya... nanti ketuk kamar aku. Kita dinner bareng."
Wilona tampak terkejut, tapi senyum kecil mulai muncul di wajahnya.
"Dinner? Hmm, Ya udah, aku siap-siap dulu. Kalau udah, aku kabarin kamu."
"Oke. Aku tunggu." jawab Kelvin sambil menatapnya sebentar sebelum akhirnya kembali ke kamarnya.
Begitu masuk ke dalam, Kelvin menutup pintu pelan. Ia berdiri beberapa detik, memegangi dadanya yang berdebar kencang. Setelah menarik napas panjang, ia berjalan ke sofa, duduk perlahan, lalu menyandar sambil tersenyum lebar.
"Pertama kalinya... aku lihat perempuan tanpa makeup, polos banget... tapi tetap secantik itu. Kayak... nggak nyata." bisiknya sambil tertawa pelan, menatap langit-langit kamar.