Lucia Davidson hidup dalam ilusi pernikahan yang indah hingga enam bulan kemudian semua kebenaran runtuh. Samuel, pria yang ia percaya sebagai suami sekaligus cintanya, ternyata hanya menikahinya demi balas dendam pada ayah Lucia. Dalam sekejap, ayah Lucia dipenjara hingga mengakhiri hidupnya, ibunya hancur lalu pergi meninggalkan Lucia, dan seluruh harta keluarganya direbut.
Ketika hidupnya sudah luluh lantak, Samuel bahkan tega menggugat cerai. Lucia jatuh ke titik terendah, sendirian, tanpa keluarga dan tanpa harta. Namun di tengah kehancuran itu, takdir memertemukan Lucia dengan Evan Williams, mantan pacar Lucia saat kuliah dulu.
Saat Lucia mulai menata hidupnya, bayangan masa lalu kembali menghantuinya. Samuel, sang mantan suami yang pernah menghancurkan segalanya, justru ingin kembali dengan mengatakan kalau Samuel tidak bisa hidup tanpa Lucia.
Apakah Lucia akan kembali pada Samuel atau dia memilih cinta lama yang terkubur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22. CEMBURU
Pagi yang cerah menembus tirai kaca besar yang melapisi hampir seluruh sisi penthouse Evan. Cahaya keemasan jatuh di lantai marmer putih, berkilau bagai permukaan danau yang memantulkan matahari. Suasana itu memberi kesan hangat, sekalipun udara di luar masih menyisakan dingin musim yang belum sepenuhnya berganti.
Lucia berdiri di balkon, menyandarkan kedua tangannya pada pagar kaca bening. Rambutnya yang tergerai tertiup angin, dan senyuman tipis menghias wajahnya. Ada sesuatu yang berbeda darinya sejak beberapa minggu terakhir. Luka-luka masa lalu memang belum sepenuhnya hilang, tetapi sorot matanya tak lagi sesuram dulu. Ada harapan yang perlahan tumbuh, seperti tunas kecil di tanah yang gersang.
Semua itu tak lepas dari peran Clara.
Clara, dengan caranya yang riang dan penuh kepedulian, menjadi cahaya baru bagi Lucia. Hampir setiap hari ia datang, menemaninya berbicara, memasak bersama, atau sekadar duduk sambil menonton langit malam dari jendela besar penthouse itu. Kehadiran Clara membuat Lucia merasa dunia luar tak lagi semenakutkan dulu, bahkan mulai tampak ramah.
Evan-lah yang meminta Lucia pindah ke penthousenya, terutama setelah insiden penguntit yang hampir merenggut rasa aman Lucia. Baginya, satu-satunya cara untuk memastikan keselamatan wanita itu adalah dengan menempatkannya di sisi terdekat, di tempat yang hanya bisa ia lindungi dengan sepenuh tenaga.
Lucia sempat ragu pada awalnya. Hidup di ruang mewah dengan dinding kaca menjulang, dikelilingi pemandangan kota dari ketinggian, terasa terlalu asing baginya. Namun Clara dan Deren berhasil meyakinkannya, bahkan membantu membawa sebagian barang pribadi Lucia ke sana. Kini, perlahan tapi pasti, Lucia mulai terbiasa.
Hari itu Clara datang lebih pagi dari biasanya. Dengan langkah riang ia memasuki ruang tamu luas, sambil menyeret koper kecil berisi berbagai bahan makanan dan perlengkapan.
"Lucia?! Aku bawa sesuatu yang baru," serunya penuh semangat, suaranya menggema di antara ruang-ruang kosong penthouse yang besar.
Lucia menoleh dari balkon, lalu tersenyum lebar. "Kau selalu datang seperti badai, Clara. Apa lagi yang kau bawa kali ini?"
Clara mengangkat alis, lalu membuka koper mungil itu dengan penuh gaya. Di dalamnya ada toples-toples kecil berisi bumbu, beras, juga beberapa helai kain.
"Ini untuk proyek kecil kita. Aku akan mengajarimu memasak masakan rumahan sederhana. Kau tidak bisa terus bergantung pada koki Evan atau makanan pesan antar. Kau harus bisa membuat sesuatu dengan tanganmu sendiri, untuk dirimu ... atau siapa tahu, untuk seseorang yang spesial," kata Clara dengan cengiran lebar.
Lucia tertawa pelan, matanya berkilat geli. "Kau benar-benar tidak pernah berubah. Selalu menggoda dengan cara yang aneh."
Clara mendekat, meraih tangan Lucia dan menariknya menuju dapur. "Ayo. Aku sudah berjanji pada Deren kalau aku akan membuat sup ayam terenak sedunia untuknya malam ini. Tapi kita latihan dulu. Kau jadi asistennya."
Lucia mengangguk, membiarkan dirinya dituntun. Hatinya hangat setiap kali bersama Clara. Ada kebebasan kecil yang ia rasakan, sesuatu yang lama hilang dalam dirinya.
Sejak kepindahannya ke penthouse Evan, kebersamaan mereka semakin intens. Deren pun sering ikut datang, membawa candaan hangat yang menyeimbangkan kehebohan Clara. Bagi Lucia, waktu-waktu itu seperti terapi tak tertulis. Mereka tak pernah menyinggung trauma masa lalunya secara langsung, tetapi lewat tawa dan kebersamaan, luka-luka itu perlahan tertutup.
Malam-malam tertentu, mereka bertiga duduk di ruang tamu sambil menonton film. Clara kerap menggoda Lucia dengan pertanyaan-pertanyaan ringan:
"Apa yang kau inginkan, Lucia? Apa kau pernah membayangkan bepergian ke luar negeri? Atau bersenang-senang ke suatu tempat selain ingin membuka toko roti?" tanya Clara yang mulut tak diam mengunyah makanan.
Lucia biasanya hanya tertawa kecil, lalu menjawab dengan sederhana, "Aku hanya ingin bisa hidup tanpa rasa takut dan bebas."
Mendengar itu, Clara akan menggenggam tangannya erat. "Dan kau akan mendapatkannya. Aku pastikan itu."
Deren, dari balik sofa, akan menambahkan dengan nada bercanda, "Selama aku tidak disuruh ikut belanja, aku rela membantu apa saja."
Kebersamaan itu begitu tulus, membuat Lucia merasa dirinya tak lagi sendiri.
Namun, ada satu orang yang tampak tidak sepenuhnya senang dengan semua itu: Evan.
Meskipun dialah yang meminta Lucia tinggal di penthouse, Evan mulai merasa waktunya dengan Lucia terlalu banyak terbagi. Terutama karena Clara selalu muncul dengan segudang rencana.
Pada suatu sore, ketika Evan pulang lebih cepat dari kantor, ia mendapati pemandangan yang membuat alisnya terangkat tinggi.
Lucia duduk di sofa, tertawa lepas, sebuah tawa yang jarang sekali Evan dengar, sementara Clara melingkarkan tangan di pundaknya. Mereka berdua tampak sangat akrab, berbicara tentang sesuatu yang bahkan membuat Lucia sampai menepuk lututnya karena terlalu geli.
Evan berdiri di ambang pintu, menatap keduanya dengan sorot mata dingin. Ia tidak mengatakan apa-apa, tetapi pandangannya tajam, seolah berusaha memberi peringatan halus pada Clara: menjauh dari Lucia.
Sayangnya, Clara sama sekali tidak terintimidasi. Ia malah melirik Evan, lalu dengan sengaja memeluk Lucia lebih erat.
"Lucia, kau harusnya pindah saja ke rumahku. Kita bisa tidur bersama sambil bergosip tiap malam," katanya, jelas-jelas untuk memancing reaksi Evan.
Lucia tertawa kecil, tapi sebelum sempat menjawab, Evan sudah melangkah mendekat. Rahangnya mengeras.
"Clara," geram Evan, suaranya berat, datar, tapi sarat makna.
"Ya?" Clara membalas dengan senyum polos, padahal matanya berkilat penuh tantangan.
"Sudah saatnya kau pulang. Deren pasti menunggumu," kata Evan.
Seolah sesuai skenario, Deren muncul dari dapur sambil membawa gelas air. "Aku di sini, Evan. Tidak usah repot mengusir istriku."
Clara langsung tertawa keras, sementara Lucia menutup mulutnya, berusaha menahan geli.
"Evan, kau benar-benar terdengar seperti anak kecil yang takut mainannya direbut," goda Clara sambil menepuk bahu Lucia dengan manja.
Evan mengerutkan kening. "Lucia bukan mainan."
"Justru itu! Maka biarkan dia punya lebih banyak teman, bukan hanya kau yang menjaganya seperti singa lapar. Kau terlalu posesif," balas Clara cepat, membuat Deren dan Lucia hampir tertawa bersamaan.
Suasana pun pecah oleh canda. Evan hanya bisa berdiri dengan ekspresi setengah kesal, setengah tak berdaya. Ia tahu Clara melakukannya hanya untuk menggoda, tetapi hatinya benar-benar terusik.
Ketika malam semakin larut, Clara dan Deren akhirnya memutuskan pulang. Namun sebelum benar-benar pergi, Clara masih sempat melingkarkan lengannya pada Lucia, mencium pipinya, lalu berbisik keras-keras agar Evan mendengar:
"Besok aku datang lagi, jangan rindu, ya."
"Jangan datang, urus kerjaan di kantor," celetuk Evan.
Lucia terkekeh, sementara Evan hanya menghela napas panjang, menatap Deren seolah meminta tolong.
"Bawa pulang istrimu, atau aku yang melemparkannya sendiri," kata Evan datar.
Deren tertawa sampai membungkuk. "Tenang, Evan. Aku akan mengikatnya di rumah besok. Tapi jangan terlalu cemberut begitu, kau terlihat lebih tua sepuluh tahun saat marah."
Tawa mereka menggema hingga pintu tertutup.
Kesunyian kembali menyelimuti penthouse. Lucia berjalan ke dapur, mengambil segelas air dingin untuk menenangkan tenggorokannya yang kering setelah banyak tertawa. Ia masih bisa merasakan hangatnya pelukan Clara, suara candaan Deren, dan wajah Evan yang sebal campur lucu ketika merasa diusik.
Namun saat ia sedang meneguk air, tiba-tiba sepasang lengan melingkar dari belakang, menarik tubuhnya ke dalam dekapan hangat.
Lucia terkejut, hampir menjatuhkan gelasnya. "E-Evan?"
Pria itu tidak menjawab langsung. Ia menundukkan wajahnya, menyandarkannya pada bahu Lucia, lalu menghela napas panjang. Aroma sabun pria yang segar bercampur dengan kehangatan tubuhnya membuat Lucia membeku sesaat.
"Kau selalu menghabiskan waktu dengan Clara setiap hari, aku cemburu," bisiknya akhirnya, suaranya serak, penuh rasa yang sulit dijelaskan.
Lucia terdiam. Hatinya berdebar, bukan karena takut, tetapi karena ada kejujuran polos yang mengalir dari kalimat itu. Seketika ia wajahnya memerah. Rasanya Lucia seperti kembali ke masa kuliah, dimana ia dan Evan masih menjalin hubungan sebagai kekasih.
Alhamdulillah operasi berhasil, semoga Lucia cepat pulih