Dua abad lalu, Seraphyne membuat satu permintaan pada Batu Api yaitu menyelamatkan orang yang ia cintai. Permintaan itu dikabulkan dengan bayaran tak terduga—keabadian yang terikat pada kutukan dan darah.
Kini, Seraphyne hidup di balik kabut pegunungan, tersembunyi dari dunia yang terus berubah. Ia menyaksikan kerajaan runtuh, kekasih yang tak lagi mengenalnya, dan sejarah yang melupakannya. Batu itu masih bersinar merah dalam genggamannya, membisikkan harapan kepada siapa pun yang cukup putus asa untuk mencarinya.
Kerajaan-kerajaan jatuh demi kekuatan Batu Api. Para bangsawan memohon, mencuri, membunuh demi satu keinginan.
Namun tak satu pun dari mereka siap membayar harga sebenarnya. Seraphyne tak ingin menjadi dewi. Tapi dunia telah menjadikannya iblis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Iasna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8: Jawaban Batu Purba
Langkah kaki Seraphyne menggema pelan di lorong-lorong berbatu yang menurun ke bawah tanah. Tempat itu tersembunyi jauh di luar Narathor, di kaki bukit terlarang yang tak bisa diakses sembarang orang. Hanya pemilik sah Batu Api yang dapat mendengar panggilan dari tempat ini—Batu Api Purba, sumber dari segala kehendak dan kutukan.
Lelah dan masih belum pulih sepenuhnya, Seraphyne tetap berjalan, jubahnya menyapu tanah kering dan bercahaya samar karena bara-bara kecil di dinding gua. Getaran di dadanya semakin kuat, seolah batu dalam tubuhnya menggeliat gelisah, menuntunnya lebih dalam.
Sesampainya di ruang utama, ia terhenti.
Di sana, di hadapan pilar-pilar batu menyala merah tua, seekor burung gagak hitam besar berdiri membelakanginya. Namun, suara isakan lirih terdengar—bukan suara burung, tapi manusia.
“Ramord?” panggil Seraphyne lirih.
Burung gagak itu perlahan berubah. Bulu-bulunya meluruh, tubuhnya memanjang, dan berdirilah seorang pria muda berambut hitam pekat, kulit pucat seperti bayangan malam, dan mata gelap yang kini dipenuhi air mata.
“Kenapa kau menangis?” tanya Seraphyne, langkahnya mendekat.
Ramord menunduk, tangannya mengepal. “Karena aku akhirnya tahu... mengapa tubuhmu terus melemah. Mengapa napasmu kini pendek. Mengapa api dalam dirimu tak lagi menghangatkanmu...”
Seraphyne menegang. “Kau bicara soal... Batu Api?”
Ramord mengangguk perlahan. “Batu ini bukan hanya pemberi keinginan. Ia adalah pengikat takdir. Setiap nyawa yang kau ambil, setiap api yang kau sulut untuk permintaan manusia... itu semua bukan tanpa harga. Batu itu tumbuh... dan memakan pemiliknya dari dalam.”
Diam. Hening menggantung lama di antara mereka.
Seraphyne menyentuh dadanya, merasakan denyut panas yang sudah lama ia abaikan. “Jadi... aku akan mati?”
Ramord menggeleng, air matanya mengalir lagi. “Tidak hanya mati. Kau akan hancur. Menjadi bara terakhir yang tak bisa padam atau kembali. Batu itu akan menjadi tuanmu, bukan lagi alatmu. Dan... itu berkaitan dengan takdirmu.”
Tatapan Seraphyne tajam. “Takdirku?”
Ramord menatapnya lurus, dengan duka yang mendalam. “Batu mengatakan... jika cinta yang dulu tak terselamatkan, cinta antara kau dan Rajamu tidak hanya menyisakan luka. Tapi mengikat dua jiwa dalam lingkaran kehancuran.”
Seraphyne terpaku. “Alvaren...”
Ramord mengangguk. “Batu ini mengatakan kau akan bertemu dengannya lagi. Tapi pertemuan itu akan jadi kunci... antara akhir dunia, atau harapan terakhirnya.”
Suara api mendesis di sekitar mereka, seolah menyetujui.
Seraphyne menutup matanya, tubuhnya bergetar hebat. Dalam hatinya, bukan hanya cinta dan kehilangan yang menyala... tapi juga ketakutan. Ketakutan bahwa perjuangannya selama ini, keabadian yang ia jalani... tak lebih dari permainan batu-batu kuno yang memanipulasi takdir manusia.
Seraphyne menghadap batu api, bersimpuh di sana sama seperti yang ia lakukan 200 tahun lalu.
"Kau benar-benar mempermainkanku! Kau tahu niatku ingin mengambil batu kehendak 200 tahun lalu, tapi kenapa kau memberikan batu kehendak ke orang yang telah membunuh suamiku!" napas Seraphyne naik turun. "Tidak hanya itu! Kau bahkan mempermainkan takdirku dengan batu api ini!" Seraphyne mengeluarkan batu api dari dalam tubuhnya.
"Ya, katakanlah aku akan mati karena batu api ini. Tapi.. bukankah kau terlalu kejam mempermainkan aku? Kau membiarkanku menggunakan batu api untuk mengabulkan permohonan orang-orang serakah yang diganti dengan nyawa mereka sendiri! Lalu sekarang apa? Batu api ini akan menjadi tuanku?!"
Ramord semakin terisak di belakang Seraphyne. Dia tidak tega dengan takdir tuannya.
"Apa hubungannya dengan Alvaren?! Akhir dunia dan harapan terakhir? Maksudmu tidak akan ada awal bagi kisah kami? Kenapa..." Seraphyne menahan napas saat dadanya bergemuruh. "Kenapa kau sangat kejam?" lanjutnya sambil bertumpu di tanah.
Batu api purba tak memberikan jawaban untuk Seraphyne. Selalu seperti itu, dia hanya diam.
...****************...
Senja telah lama jatuh ketika Seraphyne akhirnya kembali ke rumahnya di tengah desa. Bayangan panjang pepohonan melintang di jalan kecil yang sepi, seolah menyambut kepulangannya dengan sunyi yang mencurigakan.
Ia berjalan perlahan, langkahnya nyaris tak terdengar. Tak ada sapaan ramah dari para tetangga seperti biasanya, karena Seraphyne memilih jalan samping yang jarang dilalui. Ia tidak ingin ada yang melihat betapa pucat wajahnya.
Saat Seraphyne membuka pintu rumah, aroma jamu dan bunga kering menyambutnya. Rae dan Mareen tidak terlihat, mungkin sedang mengambil ramuan di ladang kecil belakang rumah. Tapi seseorang berdiri membelakanginya di dapur, tengah membantu menata botol-botol obat.
Seraphyne tertegun. Suara napas itu tidak asing.
Alvaren berbalik. Tubuh tingginya dipenuhi luka-luka kecil akibat pelatihan sore, tapi ia tetap memancarkan kehangatan yang begitu mengusik jiwa Seraphyne.
“Kau pulang,” katanya singkat, tersenyum kecil.
Seraphyne menelan ludah, menyembunyikan guncangan batinnya. “Apa yang kau lakukan di sini?”
“Rae memintaku membantu menata ramuan. Dan katanya, kau pergi sendirian ke luar desa sejak pagi tanpa kabar.” Ia menatap leher Seraphyne yang tampak basah karena keringat dan bekas debu di bajunya. “Kau... baik-baik saja?”
Seraphyne memalingkan wajah, tak sanggup menatap mata itu lebih lama.
“Aku hanya ke tempat lama,” jawabnya lirih. “Membutuhkan... waktu sendiri.”
Alvaren tidak memaksa. Tapi saat ia mendekat dan menyentuh bahu Seraphyne, sesuatu bergetar dalam dada keduanya. Sekilas, ingatan samar melintas di kepala Alvaren—bayangan seorang wanita berselendang api, menangis di tengah kobaran neraka.
"Ephyra.." Alvaren menatap mata Seraphyne yang tidak tertutup kain. "Aku yakin sesuatu pernah terjadi di antara kita." lanjutnya yang membuat Seraphyne menghela napas.
"Itu hanya perasaanmu saja, Alvaren. Aku akan meminta Mareen membuatkanmu obat agar tidurmu nyenyak tanpa bermimpi."
"Anehnya hanya kau yang ada dalam mimpiku. Kau menangisiku yang berlumuran darah di medan perang. Aku juga bersumpah untuk melindungimu. Seraphyne, nama itu.."
"Seraphyne adalah pemilik batu api, Alvaren."
"Dan itu kau,"
Seraphyne tertegun, ia langsung menjauhkan tubuhnya dari Alvaren dan berpegangan ke kursi yang tidak jauh dari tempat ia berdiri.
"Karena orang yang aku panggil Seraphyne dalam mimpiku adalah kau, Ephyra." lanjut Alvaren sambil menatap Seraphyne.
"Fokus saja pada penjagaan di wilayah ini. Mimpi hanya bunga tidur, kau tahu itu. Tidak ada yang benar-benar nyata dalam mimpi." ucap Seraphyne yang juga menatap Alvaren.
"Kau tahu semuanya, tapi kau memilih untuk tidak mengatakannya. Jika begitu, aku akan mencari jawaban sendiri. Aku yakin semuanya bukan hanya sekedar mimpi dan pertemuan ini bukan karena kesengajaan." ucap Alvaren yang membuat Seraphyne semakin takut.
"Besok aku akan ke istana. Bagaimanapun penyerangan di Desa Narathor terjadi tiba-tiba saat aku pergi. Aku tahu ini ulah siapa dan aku harus meluruskan masalah ini."
Seraphyne teringat dengan Thalean yang berkata bahwa dirinya adalah penasihat raja. "Menurutmu siapa yang menyebabkan kekacauan di desa ini dan apa tujuannya?"
Alvaren menghela napasnya. "Orang yang paling dekat dengan raja adalah orang yang paling berbahaya, Ephyra. Dia memperalat raja untuk memperbesar kekuasaannya, orang seperti itu tidak akan pernah puas dengan apa yang dia miliki."
Seraphyne memejamkan matanya sebentar. Ternyata memang benar. Takdir mereka terhubung kembali dan semuanya akan di mulai.