NovelToon NovelToon
Luka Yang Mengajarkan Pulang

Luka Yang Mengajarkan Pulang

Status: sedang berlangsung
Genre:Cerai / Penyesalan Suami
Popularitas:910
Nilai: 5
Nama Author: RARESKA

Novel ini menceritakan tentang perjalanan seorang anak perempuan sulung yang baru menikah karena perjodohan. Ketika ia baru saja merasakan masa awal pernikahan tiba-tiba ia dihantam badai besar. Perceraian kedua orang tuanya setelah 30 tahun bersama, kematian keponakan yang baru 8 bulan dalam kandungan, serta pernikahan kembali Ibunya hanya 7 bulan setelah perceraian. Di tengah luka, ia berusaha membangun rumah tangganya sendiri yang masih rapuh. Hingga akhirnya, di usia 2 tahun pernikahannya, ia diberi rezeki yaitu kehamilan yang mengubah seluruh cara pandangnya tentang keluarga,takdir dan kesembuhan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RARESKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Suami Yang Mulai Belajar Mencintai

Akhir-akhir ini, ada sesuatu yang berubah pada suamiku. Perubahan kecil, nyaris tidak terlihat, tapi cukup membuat dadaku terasa hangat sekaligus bingung. Setelah bertahun-tahun kami hidup seperti dua orang asing yang dipaksa menikah, tiba-tiba ia mulai menunjukkan tanda-tanda… entah apa namanya. Perhatian? Rasa nyaman? Atau cinta yang ia sendiri baru belajar rasakan?

Aku tidak berani menamai apa pun. Aku hanya memperhatikan.

Suatu malam, setelah kami makan malam sederhana telur dadar, sambal bawang, dan nasi hangat aku melihat suamiku menatapku dengan pandangan yang berbeda. Biasanya ia hanya makan cepat, lalu sibuk dengan ponsel atau pekerjaannya. Tapi malam itu, ia memandangku seolah benar-benar hadir.

“Aku bantu cuci piring,” katanya tiba-tiba.

Aku sempat mengira aku salah dengar. “Hah?”

Ia mengambil piring dari tanganku, lalu menggulung lengan bajunya. Gerakan yang sederhana, tapi bagiku sensasinya seperti dunia berhenti sebentar. Selama ini, akulah yang mengurus semuanya—dari bangun pagi, memasak, membersihkan rumah, hingga membuatkan kopi yang ia suka. Ia bukan tipe suami yang kasar, tidak juga buruk. Ia hanya… datar. Hambar. Diam. Seperti dinding.

Namun malam itu ia mencuci piring sambil menyuruhku duduk.

“Kamu capek kan? Istirahat saja.”

Aku duduk perlahan, memperhatikan gerakannya. Tangan yang dulu terasa jauh tiba-tiba tampak dekat, nyata, bertanggung jawab. Ada aura berbeda pada caranya berdiri di dapur kecil itu rumah kontrakan kami yang sempit terasa lebih hangat dari biasanya.

“Ada apa?” tanyaku hati-hati. “Kamu tiba-tiba baik banget.”

Ia menoleh sekilas sambil tersenyum kecil. Senyum yang tidak pernah ia berikan saat awal pernikahan kami.

“Nggak ada apa-apa,” jawabnya. “Aku cuma… lagi pengen aja.”

Pengen aja?

Kalimat yang sederhana itu menggema dalam dadaku. Ada sesuatu yang mengalir lembut dalam kata-kata itu, sesuatu yang tidak pernah ada sebelumnya.

Setelah selesai cuci piring, ia mendekat dan memberi isyarat agar aku mengikutinya ke ruang tamu. Ia mengeluarkan kotak kecil dari lemari kotak yang tidak pernah aku lihat sebelumnya.

“Aku nemu ini waktu beresin tas lama,” katanya.

Aku membuka kotaknya. Di dalamnya ada sebuah gantungan kunci kecil berbentuk hati… dan sebuah secarik kertas kusut. Aku membaca tulisan tangan itu. Tulisan suamiku sendiri, yang kutahu dari bentuk hurufnya yang berantakan dan miring.

“Terima kasih sudah mau menikah denganku, meski aku belum belajar jadi suami yang baik.”

Aku menahan napas.

“Kamu bikin ini kapan?” tanyaku nyaris berbisik.

“Waktu sebelum kita menikah,” jawabnya tanpa menatapku. “Aku sebenarnya takut waktu itu. Takut nggak bisa jadi suami yang kamu butuhin. Takut kamu kecewa… atau pergi.”

Perkataan itu menghancurkan dinding yang selama ini berdiri di antara kami.

Aku mendekat sedikit. “Kenapa baru bilang sekarang?”

Ia mengusap tengkuknya, kebiasaan yang selalu ia lakukan saat gugup. “Karena baru sekarang aku merasa… aku mulai ngerti caranya.”

“Ngerti cara apa?”

Ia menatapku tatapan yang begitu jujur sampai membuat dadaku bergetar.

“Cara mencintai kamu.”

Jantungku serasa berhenti. Tidak ada bunga. Tidak ada adegan dramatis seperti di drama korea. Hanya kalimat yang pelan, jujur, dan lahir setelah perjalanan panjang penuh ketakutan, pertengkaran, dan jarak.

“Aku tahu aku banyak kurang,” lanjutnya. “Dan aku tahu pernikahan kita… bukan yang kamu bayangkan. Tapi aku nggak mau lagi kita jalan masing-masing. Aku mau belajar. Pelan-pelan. Kalau kamu mau menunggu.”

Aku menunduk. Rasanya ada air hangat menggenang di mata.

“Aku selama ini cuma pengen kamu hadir,” kataku lirih. “Bukan sempurna. Cuma hadir.”

Ia duduk di sampingku. Tidak menyentuhku, tapi jaraknya lebih dekat dari sebelumnya. Kedekatan yang tidak memaksa. Yang terasa aman.

“Aku akan coba,” katanya pelan. “Bukan cuma hari ini. Tapi seterusnya.”

Dan malam itu, di ruang tamu kontrakan kecil kami, aku merasakan sesuatu yang dulu hampir kupikir mustahil:

Suamiku mulai berubah. Atau mungkin…

Suamiku akhirnya membuka pintu yang selama ini ia tutupi dengan ketakutan. Pintu yang mengarah padaku. Pintu kecil yang bernama cinta.

Malam itu, rumah kontrakan kecil kami terasa lebih hangat dari biasanya. Bukan karena cuacanya, bukan juga karena makanan yang tersaji di meja, tapi karena ada sesuatu yang berubah di antara kami sesuatu yang sebelumnya terasa mustahil.

Suamiku duduk di kursi kayu yang sudah mulai retak di salah satu sisinya. Lampu ruang tengah yang redup membuat bayangannya jatuh ke dinding, tampak lebih lembut daripada biasanya. Ia menatap mangkuk kosong di hadapannya, seolah sedang mengumpulkan keberanian untuk mengatakan sesuatu.

“Aku masih belum terbiasa ngomong hal-hal kayak gini,” katanya akhirnya, dengan suara yang pelan namun serius. “Tapi… aku pengen kamu tau kalau aku beneran mau berubah.”

Aku menelan ludah. Kata-kata itu sederhana, tapi efeknya seperti mengguncang ruang kecil ini. Selama berbulan-bulan sejak kami menikah, tidak pernah sekalipun ia bicara sedalam itu. Aku menunggu, takut salah merespon.

“Berubah apa?” tanyaku, meski aku sebenarnya sudah tahu arah pembicaraannya.

Ia mengusap rambutnya, kebiasaan yang sering ia lakukan saat gugup.

“Berubah buat jadi suami yang lebih baik. Yang nggak bikin kamu ngerasa sendirian.”

Sendirian. Kata itu menusuk, karena memang itulah yang paling sering kurasakan selama ini. Kami menikah karena dijodohkan, dua orang asing yang dipaksa untuk hidup bersama di bawah satu atap, mencoba membangun kebiasaan baru tanpa fondasi perasaan yang kuat.

Selama ini, aku lebih sering mengira bahwa kalau aku jatuh sakit atau menangis di kamar mandi, ia tidak akan mengetahuinya. Bahkan mungkin tidak menyadarinya.

Tapi malam ini… lain.

“Aku tau aku banyak kurangnya.” Ia menatapku langsung. “Aku sering cuek. Aku sering sibuk sama pikiranku sendiri. Kadang aku juga keras kepala. Tapi, aku mulai nyadar kalau kamu… kamu itu bener-bener berusaha buat kita.”

Suasana sepi sesaat. Hanya ada suara kipas angin tua, dan napas kami yang saling bersahutan.

“Aku bukan istri yang sempurna,” jawabku lirih.

“Dan aku bukan suami yang baik.”

Ia tersenyum kecil, tapi senyuman itu pahit—lebih seperti pengakuan.

“Tapi aku mau belajar.”

Kali ini, aku tidak menahan senyumku. Kecil, tipis, tapi nyata.

 ~~~

Beberapa hari setelah percakapan itu, aku melihat perubahan kecil darinya. Awalnya aku mengira itu hanya fase sesaat, seperti angin lewat yang akhirnya menghilang tanpa jejak. Namun seiring waktu, perubahan itu justru bertambah.

Suatu pagi, ketika aku bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan, aku terkejut melihatnya sudah ada di dapur. Ia sedang menuang air ke dalam gelas, wajahnya masih kusut karena baru bangun tidur.

“Kamu ngapain bangun sepagi ini?” tanyaku.

“Bantu kamu,” jawabnya datar, seolah itu bukan hal besar.

Padahal… itu sangat besar bagiku.

Ia berdiri di sampingku saat aku memotong bawang. Wajahnya mendekat sedikit. “Mau aku yang goreng telurnya?”

Aku menoleh dengan mata melebar. “Serius?”

“Kenapa?” Ia tertawa. “Aku kelihatan kayak nggak bisa masak telur?”

“Bukan…” Aku tersenyum. “Cuma… kaget aja.”

Ia mengangkat bahu. “Ya aku pengen bantu. Masa kamu terus yang ngerjain semua.”

Kata-kata itu membuat jantungku hangat. Aku tidak butuh suami yang sempurna. Aku hanya butuh seseorang yang mau berusaha bersamaku.

Perubahan berikutnya lebih mengejutkan. Ia mulai pulang lebih cepat dari biasanya. Tidak ada lagi alasan “kerjaan mendadak” atau “ketemu teman sebentar”. Ia bahkan mengirim pesan sebelum pulang:

“Mau aku beliin apa?”

Pesan sederhana yang dulu tak pernah muncul.

Saat ia pulang, aku mendengar langkahnya memasuki rumah lebih tenang, lebih ringan. Ia meletakkan tasnya, lalu mendekat ke arahku yang sedang melipat baju di ruang tengah.

“Kamu capek?” tanyanya sambil duduk di sampingku.

Aku menggeleng. “Biasa aja. Kamu kenapa?”

“Pengin ngobrol.”

Ia duduk lebih dekat. Dekat sekali sampai aku bisa merasakan hangat tubuhnya.

Aku menatapnya ragu. “Tentang apa?”

“Banyak hal.” Ia tersenyum setengah. “Tentang kamu. Tentang kita.”

Lagi-lagi, aku terdiam.

Suamiku adalah tipe pria yang cenderung diam. Tapi sekarang, ia justru mengajak bicara.

“Aku mikir banyak akhir-akhir ini,” katanya sambil menatap lantai. “Kita hidup bareng, tapi rasanya kayak masih jauh.”

Aku menelan ludah. “Iya… aku juga ngerasa gitu.”

“Kamu takut sama masa depan?” tanyanya lagi.

Aku menunduk. “Takut… kalau kita berakhir kayak orang tuaku dulu.”

Ia menatapku lama. “Aku nggak mau itu terjadi. Makanya aku mau belajar.”

Saat itu, ada sesuatu yang berubah di dalam diriku. Aku tidak melihatnya sebagai sosok asing yang dipasangkan padaku.

Aku melihatnya sebagai seseorang yang berusaha mencintaiku pelan, tapi pasti.

 ~~~

Malam itu, setelah kami menyelesaikan semua pekerjaan rumah, ia mematikan lampu ruang tengah dan hanya membiarkan lampu kamar yang redup menyala. Atmosfernya lembut.

“Aku ada pertanyaan,” katanya tiba-tiba, membuatku mengangkat wajah.

“Kamu bahagia sama aku?”

Pertanyaan itu membuatku bingung. Bukan karena aku tidak tahu jawabannya, tapi karena pertanyaan itu terasa terlalu dalam.

“Aku… sedang belajar bahagia,” jawabku jujur.

Ia tidak terlihat kecewa. Justru ia mengangguk, seolah mengerti.

“Kalau gitu… aku bakal belajar lebih keras,” katanya.

Ia mendekat perlahan. Tidak menyentuh, hanya memastikan jarak kami tinggal sejengkal.

Kedekatan itu membuatku gugup tapi juga hangat.

“Kamu boleh marah sama aku kalau aku salah,” lanjutnya. “Kamu boleh ngomong kalau kamu sedih. Jangan ditahan.”

Aku tertawa kecil. “Kamu yakin? Aku bisa cerewet loh.” Ia ikut tertawa. “Aku suka kok.”

Keheningan setelah itu terasa nyaman. Tidak ada tekanan, tidak ada kecanggungan. Hanya ada rasa tenang.

Sebelum tidur, ia bergumam pelan, hampir seperti bisikan: “Terima kasih udah nggak nyerah sama aku.”

Aku menutup mata. Untuk pertama kalinya sejak awal pernikahan kami, aku merasa tidak sendirian.

 ~~~

Hari-hari berikutnya kami tidak selalu mulus. Ada hari di mana ia kembali diam. Ada hari aku merasa sensitif dan mudah tersinggung. Ada hari kami berdua terlalu lelah untuk bicara. Tapi perbedaannya adalah: kali ini, ia tidak menjauh. Ia tetap ada, tetap mencoba, tetap mendekat.

Ketika aku marah tanpa alasan jelas karena trauma masa kecilku kembali muncul ia tidak memarahiku. Ia hanya berkata:

“Aku di sini. Kamu boleh cerita kalau udah siap.”

Dan aku… perlahan-lahan mulai percaya padanya.

Bukan percaya karena harus, tapi karena ia menunjukkan apa itu cinta dari hal-hal yang paling sederhana.

Aku mulai melihatnya bukan sebagai suami yang dijodohkan, tapi sebagai seseorang yang sedang tumbuh bersamaku.

Ia belajar mencintaiku. Dan aku belajar membuka hati. Walau pelan, walau penuh luka, walau tidak sempurna kami mulai menemukan cara mencintai yang baru. Dan itu… cukup untuk hari ini. Cukup untuk membuatku bertahan. Cukup untuk membuat kami kembali percaya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!