NovelToon NovelToon
Benih Yang Tak Terucap

Benih Yang Tak Terucap

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Nikah Kontrak
Popularitas:4.6k
Nilai: 5
Nama Author: S. N. Aida

Empat tahun lalu, Aira Nadiya mengalami malam paling kacau dalam hidupnya—malam yang membuatnya kehilangan arah, tapi juga memberi dirinya sesuatu yang paling berharga: seorang anak laki-laki bernama Arvan.

Ia tidak pernah memperlihatkan siapa ayah anak itu. Tidak ada foto, tidak ada nama, tidak ada cerita. Satu-satunya petunjuk hanya potongan ingatan samar tentang pria misterius dengan suara rendah dan mata gelap yang menatapnya seolah ingin menelan seluruh dunia.

Aira mengira itu hanya masa lalu yang terkubur.

Sampai suatu hari, karena utang ayahnya, ia dipaksa menikah dengan Dion Arganata, CEO muda yang terkenal dingin dan tidak punya empati. Lelaki yang seluruh hidupnya diatur oleh bisnis dan warisan. Lelaki yang membenci kebohongan lebih dari apa pun.

Dan Aira bahkan tidak tahu…

Dion adalah pria dari malam itu.
Ayah dari anaknya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 29 — Malam Pengakuan

​Hari-hari berikutnya berjalan dalam suasana tegang namun harmonis. Arvan bertindak sebagai jembatan yang rapuh di antara Dion dan Aira. Dion berusaha keras untuk menjadi ‘Papa’ yang ia janjikan, meluangkan waktu untuk bermain, membaca, dan bahkan mencoba memasak sarapan (yang berakhir dengan pancake gosong). Aira mengawasi dengan waspada, terkejut melihat transformasi Dion dari tiran bisnis menjadi Ayah yang canggung dan tulus.

​Meskipun mereka berbagi ruang, mereka belum berbagi ranjang, atau hati. Sentuhan mereka terbatas pada tugas orang tua, dan percakapan mereka hanya seputar jadwal Arvan.

​Suatu malam, setelah Arvan tertidur lelap setelah seharian bermain kapal-kapalan di kolam renang, Dion meminta Aira untuk menemuinya di balkon kamar utama.

​Aira datang dengan hati-hati. Dion duduk di kursi panjang, mengenakan jubah mandi sutra yang elegan, dengan secangkir teh di meja kecil. Tidak ada alkohol, tidak ada dokumen kontrak.

​“Duduklah, Aira,” kata Dion, suaranya lembut, tanpa nada perintah.

​Aira duduk di kursi yang berhadapan, memandangi lampu kota yang tampak seperti permadani bintang di bawah mereka. Keheningan itu berbeda dari keheningan mencekik sebelumnya; ini adalah keheningan yang mengundang kejujuran.

​“Aku sudah memikirkan apa yang kau katakan di ruang kerja,” kata Dion, memecah keheningan. “Tentang pria yang kau cintai di kafe itu. Aku telah mencari-cari dia. Mencari pria yang mabuk, yang bicara tentang bintang dan impian. Aku ingin mengerti mengapa kau menyembunyikan kebenaran dariku.”

​Aira menunduk, malu. “Anda sudah melihatnya, Dion. Anda menghukumnya. Anda menghancurkannya.”

​Dion menghela napas. “Aku tahu. Aku sudah bersalah. Aku meminta maaf lagi, Aira. Aku sungguh-sungguh menyesal atas semua yang kulakukan sejak kau kembali ke kota. Aku tidak menyadari bahwa amarahku atas kebohongan itu hanya topeng untuk ketakutanku kehilangan kendali.”

​“Saya juga minta maaf karena tidak pernah jujur,” bisik Aira. “Saya tidak pernah berniat mencuri hidup Anda. Saya hanya ingin melindungi putra Anda.”

​“Ceritakan padaku, Aira,” pinta Dion, nadanya persuasif, bukan menuntut. “Aku ingin tahu. Aku ingin tahu bagaimana rasanya mengandung benihku sendirian. Bagaimana rasanya melahirkan tanpa aku di sisimu.”

​Aira ragu. Menggali masa lalu itu menyakitkan. Tetapi, untuk pertama kalinya, ia melihat kelembutan sejati di mata Dion, bukan hasrat atau amarah. Ini adalah momen pengakuan yang ia impikan, tetapi selalu ia takutkan.

​“Saat saya tahu saya hamil…” Aira memulai, suaranya sedikit bergetar. “Saya ketakutan. Saya tidak punya siapa-siapa di kota selain Nenek. Saya tidak punya uang. Saya mencoba mencari Anda di kafe itu, tetapi Anda sudah hilang. Saya pikir, itu adalah pertemuan singkat yang Anda lupakan.”

​Aira melanjutkan, menceritakan tentang morning sickness, tentang rasa malu kembali ke desa, tentang pandangan menghakimi masyarakat.

​“Saya bilang pada Nenek bahwa Ayah Arvan adalah seorang pilot, seorang pria baik yang bertugas di tempat jauh. Saya menciptakan cerita tentang bintang, karena itu adalah satu-satunya hal yang Anda bicarakan malam itu. Anda bilang, Anda ingin menjadi bintang, menjadi cahaya yang tak pernah padam bagi seseorang.”

​Dion mendengarkan, tubuhnya kaku. Setiap detail itu adalah tusukan di hatinya. Dia sedang menjalani hidupnya dengan kemewahan, sementara Ibu dari putranya berjuang sendirian di kemiskinan.

​“Saya melahirkan Arvan di rumah desa yang sederhana,” kata Aira, air mata mulai mengalir. “Saya melahirkan sendirian. Nenek yang membantu. Saat saya melihatnya, Dion… dia mirip sekali dengan Anda. Dia adalah salinan sempurna Anda. Dan saat itu, saya sadar. Cinta itu nyata. Saya tidak bisa membiarkan anak saya tumbuh tanpa Ayah, tetapi saya juga tidak bisa membiarkan dia tumbuh dengan Ayah yang membenci Ibunya.”

​Dion bangkit. Dia tidak bisa lagi duduk. Dia berjalan mendekati Aira, berlutut di hadapannya.

​“Berhenti,” bisik Dion, suaranya penuh rasa sakit. “Berhenti. Jangan ceritakan lagi. Aku sudah mengerti. Aku sudah menyakitimu cukup dalam.”

​Dion meraih tangan Aira, mencium punggung tangannya dengan lembut. Itu adalah ciuman penghormatan, bukan ciuman hasrat.

​“Kau adalah wanita paling berani yang pernah kutemui, Aira,” kata Dion. “Kau memikul beban yang seharusnya aku pikul. Aku akan menebusnya. Aku berjanji.”

​Momen itu terasa seperti penyembuhan. Aira merasa beban di dadanya terangkat sedikit.

​Dion bangkit, menarik Aira agar berdiri. Tangannya menyentuh wajah Aira, mengusap air matanya.

​“Aku tahu, apa yang terjadi di ruang kerja itu adalah amarah,” bisik Dion. “Aku tidak akan pernah menyentuhmu lagi dengan amarah.”

​Kelembutan itu, pengakuan tulus Dion, menghancurkan sisa pertahanan Aira. Ia tidak lagi melihat Dion sebagai musuh.

​Dion mendekat. Kali ini, tidak ada paksaan, tidak ada amarah. Itu adalah permintaan.

​Dion mencium Aira. Ciuman itu dimulai dengan sangat lembut, rasa mint dari teh mereka bercampur di antara bibir. Itu adalah ciuman yang lambat, ciuman yang mencari jawaban, ciuman yang memohon untuk dimaafkan.

​Aira membalas ciuman itu, tangannya melingkari leher Dion. Dia merasakan kehangatan yang telah lama hilang. Ini adalah Dion, pria yang ia cintai empat tahun lalu, yang telah kembali.

​Dion mengangkat Aira, membawanya ke tempat tidur kamar utama.

​Adegan itu adalah pelepasan emosi yang jauh lebih dalam daripada amarah yang brutal di Bab 25. Malam itu, mereka tidak lagi terikat oleh kontrak atau DNA, melainkan oleh penerimaan.

​Itu adalah malam pengakuan, di mana setiap sentuhan, setiap bisikan, adalah ucapan maaf yang tak terucapkan, penebusan atas empat tahun yang hilang, dan janji untuk masa depan. Kelembutan yang Dion berikan adalah obat yang dibutuhkan Aira.

​Aira menggenggam tangan Dion yang terluka, merasakannya sebagai pengingat akan badai yang telah mereka lewati. Kali ini, sentuhan mereka adalah tentang membangun, bukan menghancurkan.

​Pagi menjelang, dan mereka berdua terbangun dalam pelukan. Hubungan mereka, meskipun masih memiliki luka yang dalam, telah membaik. Kepercayaan yang hilang telah mulai tumbuh lagi. Dion kembali menjadi pria yang tulus yang Aira cintai, dan Aira mulai menerima Ayah dari putranya.

​Namun, di balik kehangatan pagi, Aira tidak tahu bahwa di luar penthouse itu, Tantri dan Nayra telah mengatur jebakan yang siap menghancurkan momen damai yang baru saja mereka temukan.

1
Elkss
bagus kak ceritanya
semoga cepet up lagi
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!