Pernikahan adalah mimpi setiap gadis.
Tapi tidak bagi Zia.
Bukan malam itu.
Bukan di altar itu.
Dan—terutama—bukan dengan pria itu.
Yang Zia tahu, Viren Kaeshiro adalah pengusaha muda yang jenius, berkuasa, dan sempurna.
Begitu kata semua orang. Begitu kata kakaknya, Alin.
Tapi di balik jas mahal dan perusahaan teknologi raksasa,
Viren adalah pemimpin Cinderline—organisasi bayangan yang tak tersentuh hukum dan tak dikenal dunia.
Dan malam itu…
Zia baru saja menikahi seorang iblis bersetelan jas.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 9 WAJAH BARU
Pagi kembali datang. Langit masih menggeliat dari kegelapan, sementara jalan-jalan mulai ramai oleh manusia yang mengejar waktu. Ada yang berangkat sekolah, kuliah, bekerja—semuanya memulai hari seperti biasa. Termasuk Zia.
Hari ini, ia menerima pesanan kue ulang tahun untuk sebuah acara yang akan diadakan langsung di kafe. Karena itu, sejak pagi buta, ia sudah bersiap dan berangkat bersama Manuel seperti biasanya.
Di dapur kafe yang sudah akrab dengan bau mentega dan kopi, Zia sibuk dengan adonan. Tangannya cekatan mencampur bahan, sementara matanya sesekali melirik jam dinding. Ami, seperti biasa, melayani pelanggan di bagian depan.
"Kak," panggil Ami sambil muncul dari balik rak. "Menurutku, kita sebaiknya menambah personel."
Zia menghentikan gerakan mengocok adonan, berpikir sejenak. Matanya menatap Ami dengan alis terangkat.
“Kau benar,” akhirnya ia mengangguk. “Nanti aku cari orang.”
"Aku juga ya? Boleh aku bantu cari juga?"
“Boleh,” jawab Zia sambil tersenyum tipis. “Tapi jangan asal. Kafe ini... butuh orang yang tahan banting.”
Ami tertawa kecil. “Yang tahan banting atau tahan dengan mood-mu pagi-pagi?”
Zia pura-pura tidak mendengar. Ia menuangkan adonan ke dalam loyang, lalu mendorongnya masuk ke oven. Suhu ia atur tepat, seperti yang biasa dia lakukan.
Ia menghela napas, lalu mulai menyiapkan topping—kali ini cokelat ganache dan taburan hazelnut. Rutinitas ini menenangkan. Tapi entah kenapa, pagi ini terasa seperti bayangan akan datangnya badai.
Sementara itu, di sisi lain kota, kesibukan lain tengah berlangsung.
Di lantai atas markas Kairotek—perusahaan teknologi terbesar di negeri itu—Viren dan Jake sedang meninjau pengujian sistem pengawasan terbaru. Sejumlah kamera tersebar di ruang uji coba, dan layar-layar besar menampilkan gambar-gambar dari berbagai sudut.
"Semua berjalan sesuai rencana," kata Jake sambil menyentuh panel kontrol. Matanya tak lepas dari deretan grafik dan feed langsung dari kamera SPEKTRA.
Viren hanya mengangguk, fokus pada layar utama. Sistem ini—hasil rekayasa tingkat tinggi dari tim internal mereka—adalah alat pengawasan generasi baru. Didesain untuk mengenali wajah meskipun tertutup masker, topi, atau bayangan. Sangat berguna untuk mengawasi pihak-pihak tertentu... atau menyembunyikan mereka.
Tiba-tiba ponsel Viren berdering. Ia merogoh sakunya dan melihat nama yang tertera di layar: Manuel.
“Kenapa?” tanyanya langsung, tanpa basa-basi.
“Tuan,” suara Manuel terdengar tegang, “Bos masuk rumah sakit.”
Viren diam sejenak. Ekspresinya tetap tenang, tetapi tatapannya mengeras.
“Apa yang terjadi?”
“Dia terkapar penuh darah di pelabuhan. Baru ditemukan tadi pagi.”
“Pelabuhan mana?”
“Pelabuhan tua di distrik barat. Dia datang bersama klien baru.”
“Kirimkan lokasinya.”
Telepon terputus. Jake menatapnya. “Ada masalah?”
“Samuel,” jawab Viren singkat. “Masuk rumah sakit.”
Jake tidak bertanya lebih jauh. Ia sudah cukup lama bersama Viren untuk tahu: jika Viren mengatakan sedikit, artinya masalahnya besar. Mereka berdua keluar dari ruang pengawasan, melewati lorong, dan langsung menuju mobil.
Dalam perjalanan, Viren membuka panel kecil di mobil dan mengakses koneksi internal Cinderline. Ia meminta rekaman dari pelabuhan barat untuk jam yang disebutkan Manuel.
Beberapa detik kemudian, layar mobil menampilkan cuplikan video.Viren menatap video itu dalam diam. Jarinya mengepalkan setir mobil hingga buku-bukunya memutih.
Jake mengerutkan dahi. “Siapa mereka?”
Viren memperbesar gambar. Salah satu wajah orang yang berdiri di antara kerumunan terekam jelas—seorang pria berdiri diam di bawah pencahayaan redup lorong itu.
Tubuhnya tinggi dan kokoh, dibalut mantel hitam panjang yang membuatnya tampak seperti bayangan yang mewujud. Rambutnya hitam, sedikit berantakan seolah tak peduli pada penampilan. Wajahnya pucat, dihiasi luka kecil yang mengering di dekat pelipis—jejak kekerasan yang belum lama terjadi.
Namun bukan lukanya yang mencuri perhatian—melainkan sorot matanya. Dingin, kosong, dan tak terganggu oleh kekacauan yang terjadi di hadapannya. Ia tidak tampak marah, tidak pula cemas. Hanya berdiri di sana, menatap dalam diam, seolah menikmati kekerasan itu sebagai sebuah pertunjukan diam-diam yang tak ingin ia ganggu.
Tidak ada gerakan untuk menghentikan, tidak juga niat untuk membantu. Hanya kehadiran sunyi yang membuat udara terasa lebih berat dari sebelumnya.
“Dia salah satu klien kita,” ujar Viren. “Tapi rupanya kini ia juga musuh kita.”
Jake mengangguk. “Jadi ini pesan...”
“Dan balasannya akan datang,” potong Viren.
Mereka tiba di rumah sakit Lavender satu jam kemudian. Mobil berhenti di depan unit gawat darurat. Viren segera turun, sementara Jake memarkirkan mobil.
Di depan ruang IGD, Manuel duduk menunduk. Wajahnya tegang, tangan dikepal di pangkuan. Ia berdiri begitu melihat Viren mendekat.
“Bagaimana dia?” tanya Jake yang baru datang menyusul.
“Sudan ditangani,” jawab Manuel. “Ia kehabisan banyak darah, jika saja telat ditemukan mungkin nyawanya tidak tertolong.”
Viren menatap pintu ruang IGD yang tertutup. Tak ada ekspresi di wajahnya, tapi matanya dingin.
“Kita selesaikan ini nanti,” katanya. “Aku tak bisa lama di sini.”
“Perintah?” tanya Jake pelan.
“Awasi semua klien. Pasang mata dan telinga. Klien itu... aku ingin tahu siapa saja yang berhubungan dengannya.”
Jake mengangguk.
Manuel menatap Viren. “Aku akan siapkan tim.”
“Tidak. Biarkan aku yang urus.” Ucapnya tegas. "Kau urus Zia dan Samuel."
"Baik, tuan."
Mereka bertiga terdiam sejenak di koridor putih yang sepi.
Viren berpaling. "Hapus semua jejak."
Kemudian berbalik dan berjalan pergi, langkahnya tetap tenang, tapi tiap pijakan seperti membawa api yang siap membakar siapa pun yang menyentuh orang-orangnya.
Manuel mengangguk dan segera pergi menuju ruang monitor rumah sakit.
Di kafe kecil yang sibuk dengan aroma roti dan suara gelak tawa anak-anak sekolah, Zia mengangkat loyang kue dari oven. Topping sudah selesai, hiasan sudah disiapkan. Kue ulang tahun itu terlihat sempurna.
Ia tersenyum puas. Tak tahu apa yang sedang terjadi di tempat lain.
Tak tahu, bahwa dunia yang kini ia huni... penuh dengan retakan yang setiap saat bisa meledak.
Zia duduk di kursi belakang, kepala disandarkan ke jendela mobil. Di depan, Manuel fokus mengemudi, tapi tak seperti biasanya, suasana tak sepenuhnya beku. Pria itu sesekali melontarkan kalimat singkat, cukup untuk memberi tanda bahwa ia mulai membuka diri.
Lampu-lampu jalan menari di kaca mobil, memantulkan cahaya pada wajah Zia yang terlihat letih.
Kafe belakangan ini semakin ramai. Bahkan hari ini, ia hampir kewalahan saat pesanan datang bertubi-tubi. Senang? Tentu. Tapi juga melelahkan.
"Nona," suara Manuel memecah keheningan. "Perlu seseorang untuk menemani?"
Zia menoleh sedikit. “Menemani? Maksudmu?”
"...Bodyguard,” jawabnya singkat.
Zia terkekeh kecil. “Aku tidak sepenting itu sampai harus punya bodyguard, Man.” Ia menggeleng pelan. “Tapi... mungkin aku memang perlu seseorang untuk bantu di kafe.”
Manuel mengangguk. “Seperti apa orang yang nona butuhkan?”
“Seseorang yang cekatan. Ramah. Bisa kerja cepat, tapi tidak membuat pelanggan merasa ditekan.”
“Baiklah,” sahut Manuel. Tak ada janji, tapi suaranya cukup tegas untuk jadi pegangan.
Zia menatap ke luar lagi. Malam terus berjalan. Tapi ia tidak tahu bahwa di tempat lain, malam itu telah berubah menjadi medan balas dendam.
...----------------...
Jauh dari kota yang terang, di sebuah kawasan industri tua yang sudah lama ditinggalkan, angin malam berdesir seperti bisikan. Lampu-lampu jalan tidak sampai ke sini. Yang menyinari hanyalah cahaya remang dari bulan dan lampu mobil hitam yang terparkir tanpa suara.
Viren turun lebih dulu. Tubuhnya dibalut jaket gelap, wajah tertutup masker dan topi. Di belakangnya, dua anggota Cinderline Cobalt dan Carly — bukan nama asli— mengikuti tanpa suara.
Mereka menyusuri lorong menuju gedung tua yang sudah tak terurus. Menurut pemantauan sejak siang tadi, pria itu berada di tempat ini.
Dari balik dinding, seorang pria bertubuh besar muncul. Rambutnya mulai memutih, sebagian botak. Langkahnya gontai, matanya waspada. Ia memasuki mobil dan pergi menjauh dari tempat itu.
“Dia salah satu kelompok yang ada hubungannya dengan penyerangan Bos,” bisik Cobalt di telinga Viren.
Viren hanya mengangguk. “Dimana pria itu sekarang?”
“Masih di dalam, Tuan.”
Beberapa detik kemudian, seorang pria lain keluar. Rambut tersisir rapi, pakaian formal, dan kacamata hitam yang tampak berlebihan di malam hari.
Viren membuka maskernya perlahan. Matanya menatap lurus ke arah pria itu.
Carly memberi isyarat halus. “Itu dia.”
Viren melangkah. Langkahnya tenang, tapi berat. Seperti irama detak jam sebelum ledakan.
“Selamat malam,” ucapnya.
Pria itu menoleh, mengerutkan alis. “Siapa kau?”
Viren tersenyum samar. “Rekan yang baru kau ingkari....”
Ekspresi pria itu berubah. Sedikit ketakutan menyelinap di wajahnya.
“Cin—Cinderline...” gumamnya.
“Kau cukup pintar,” ucap Viren datar. “Sayangnya tidak cukup bijak.”
Carly dan Cobalt masih menunggu di kejauhan. Mereka tahu batas mereka. Viren sudah memperingatkan: jangan ikut campur kecuali aku minta.
“Apa Bos yang mengirim mu ke sini?” tanya pria itu—Noah—dengan suara lebih rendah.
“Ya,” jawab Viren. “Bos sudah sadar dan ingin memastikan pesannya tersampaikan.”
“Kau cukup berani datang sendiri,” ucap Noah, senyumnya getir. “Atau bodoh.”
“Aku hanya ingin bicara,” jawab Viren tenang.
“Bicara tidak menyelesaikan masalah,” balas Noah tajam.
“Begitu ya...”
Sementara itu, Cobalt memberi isyarat pada Carly. Dalam hitungan detik, mereka memutus semua akses di area itu. Tidak ada sinyal. Tidak ada kamera pengawas. Tidak ada suara. Hanya mereka—dan hukum mereka sendiri.
Viren terus mendekat. Noah mulai gelisah. Ia mundur selangkah. Tangannya meraba pinggang—mengeluarkan pistol.
Terlambat.
Dalam satu gerakan cepat, Viren menangkap pergelangan tangan itu, memelintirnya ke arah yang salah hingga terdengar bunyi krek kasar. Noah menjerit pendek. Senjatanya terjatuh ke lantai, memantul dua kali sebelum berhenti.
Viren tak berhenti. Ia menarik tubuh Noah maju, lalu menghantamkan siku ke rahangnya. Dentuman keras terdengar saat rahang Noah bergeser, lalu siku lainnya menghantam dada, membuat tubuh itu terangkat sebentar dari tanah sebelum terbanting ke dinding terdekat. Tangan Viren mencengkeram lehernya, menekan keras, wajahnya nyaris menempel.
“Mata dibalas mata,” ucap Viren datar.
Noah megap-megap, tubuhnya mencakar udara, mencari napas. “Ampun... aku... aku bisa jelaskan...”
Viren mendekat, suara napasnya tenang. “Aku mengampuni untuk kejadian di pelabuhan. Tapi... bukan setelah kau melihat wajahku.”
Tangan Viren menekan lebih keras. Leher Noah bergetar. Ototnya menegang, lalu melemas. Tak ada jeritan—hanya suara napas yang putus perlahan, dan bunyi gesekan debu di antara sepatu dan lantai.
Beberapa detik kemudian, Viren melepas cengkeramannya. Noah jatuh ke lantai seperti karung kosong.
Masih hidup. Tapi Viren belum selesai.
Dengan satu tendangan keras, rusuk Noah kembali dihantam. Tubuhnya berguling. Saat Noah mencoba bangkit, Viren menyambutnya dengan tinju ke pelipis—cukup kuat untuk membuat darah muncrat dari alisnya. Lalu satu pukulan ke rahang. Dua ke hidung. Noah sudah tak bisa menahan, tubuhnya terseret mundur, wajahnya berubah menjadi adukan darah dan daging memar.
Viren membalik tubuh pria itu, mendudukinya, dan menghajar wajahnya tanpa jeda. Tinju demi tinju mendarat brutal, menghantam pipi, mulut, mata. Tangan kanan Noah sudah tak bergerak. Tangan kirinya sekadar refleks lemah yang tak bisa menghentikan apa pun.
Darah muncrat, mengotori tangan dan mantel Viren. Beberapa gigi Noah terlempar ke lantai.
Viren baru berhenti setelah napas Noah berbunyi seperti peluit pecah—parau, pendek, dan penuh darah.
Ia berdiri, diam menatapnya. Lalu berkata dingin, nyaris tanpa emosi:
"Kau hidup. Tapi akan berharap tidak."
Carly mendekat. “Kita bawa dia?”
“Tidak,” jawab Viren. “Biarkan dia pulang sendiri... dengan rasa takut yang baru.”
Ia menarik kembali maskernya, memasangnya pelan. “Luka yang terlihat bisa sembuh. Tapi rasa takut... abadi.”
Malam tetap gelap. Tapi kini, keheningannya seperti diselipkan satu bunyi: bunyi dendam yang lunas—untuk sementara.
Cobalt dan Carly saling pandang, lalu mengikuti Viren kembali ke mobil. Mereka tidak bertanya, tidak memuji, tidak berspekulasi. Dalam Cinderline, hasil adalah satu-satunya bahasa yang diakui.
Viren masuk ke kursi belakang tanpa suara. Pintu tertutup perlahan, memisahkannya dari dunia luar.
Ia bersandar sejenak, lalu membuka sarung tangan kulit hitamnya satu per satu. Gerakannya tenang, metodis. Dari balik lapisan itu, kulit tangannya masih bersih, tak ada luka atau darah.
Kemudian, ia mengangkat tangan ke wajahnya. Di bawah sorotan lampu kabin mobil, ia mulai melepas sesuatu dari pipi kirinya—lapisan tipis silikon bertekstur luka sobek, palsu namun tampak nyata. Ditempel dengan lem prostetik agar menempel seperti daging robek bekas peluru.
Ia menaruh sarung tangan dan potongan luka itu ke dalam wadah khusus kecil. Lalu merogoh saku jasnya dan mengambil lap alkohol, menyeka sisa lem dari wajahnya.
Carly menoleh dari kursi depan. “Tidak akan ada yang mengenalimu.”
Viren tidak menjawab. Ia hanya menatap keluar jendela, dingin seperti semula.
“Bos akan segera pulih,” ujar Cobalt, mencoba mengangkat semangat.
“Tapi luka yang tertinggal... akan mengingatkan siapa kita,” ucap Viren pelan. “Dan itu lebih penting dari apapun.”
Mobil pun melaju menjauh dari tempat itu, menelan mereka kembali dalam bayangan.
Sementara di tempat sebelumnya, udara malam masih pengap ketika tubuh Noah tergeletak di lantai beton dingin, napasnya terengah. Sakit di sekeujur tubuhnya masih berdenyut, seolah bayangan tangan Viren masih mencengkeram tenggorokannya.
Ia tak tahu sudah berapa menit waktu berlalu sejak pria itu pergi. Sepi menyelimuti gedung tua itu—tak ada suara langkah, tak ada percikan lampu mobil, hanya detak jantungnya sendiri yang masih berlomba dengan rasa panik yang belum surut.
Noah perlahan duduk. Tangannya gemetar saat mencoba menopang tubuhnya. Kacamatanya terlempar entah ke mana. Penglihatannya buram, tapi bukan itu yang membuat tubuhnya menggigil.
Bukan luka fisik.
Tapi rasa tahu, bahwa ia telah melihat wajah pria itu. Wajah yang seharusnya tidak pernah dilihat siapapun dan tetap hidup.
"Apa... yang dia maksud?" gumamnya pelan, masih terbatuk.
Tapi ia tahu jawabannya.
Dia—Viren—tidak datang untuk membunuh. Tidak malam ini. Ia datang untuk menghapus harga diri yang selama ini Noah bangun di dunia gelap. Untuk membuktikan bahwa tidak peduli berapa banyak anak buah yang dimiliki, atau seberapa kuat backingan yang berada di pihaknya—Cinderline masih jauh di atasnya.
Dan sekarang, Noah hidup... dengan wajah yang telah melihat kengerian itu.