Kakak dan adik yang sudah yatim piatu, terpaksa harus menjual dirinya demi bertahan hidup di kota besar. Mereka rela menjadi wanita simpanan dari pria kaya demi tuntutan gaya hidup di kota besar. Ikuti cerita lengkapnya dalam novel berjudul
Demi Apapun Aku Lakukan, Om
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naim Nurbanah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Salwa duduk di pinggir tempat tidur ayahnya, matanya kosong menatap lantai kayu yang dingin. Kemeja ayah Salsa yang kebesaran membalut tubuhnya, lengan bajunya tergerai longgar, tanpa bra atau pakaian lain di bawahnya. Hujan semalam masih membekas di rambutnya yang sedikit kusut, seolah menambah kelam suasana di kamar itu.
Salsa melangkah pelan, dadanya berdebar saat melihat sahabatnya seperti itu. Tangannya mengulum bibir, ragu ingin bertanya tapi takut menyakiti. Akhirnya, dia berbisik pelan,
“Salwa, maaf ya, semalam aku sudah tidur. Aku nggak dengar ayah mengetuk pintu. Kata ayah kamu jalan sendiri dan kehujanan... Apa sebenarnya yang terjadi? Kamu benar-benar ada masalah?”
Salwa tak menjawab, hanya menggenggam lengan bajunya erat-erat. Tatapannya tetap kosong, seolah terkunci dalam kesedihan yang dalam. Salsa menelan ludah, hatinya nyeri membayangkan kehilangan sosok ayah itu, dan kenapa Salwa sampai memilih memakai kemeja besar itu sebagai pelindung dirinya. Dalam hati, Salsa bertanya-tanya, apakah Salwa sedang berusaha mencari kehangatan yang hilang?
Salwa duduk terpaku di sudut ruangan, matanya menatap kosong ke ujung langit-langit seolah menahan beban yang tak terlihat di dadanya. Bibirnya bergetar pelan, berusaha menahan tangis yang sudah lama mengganjal di hati. Salsa menghela napas berat, langkahnya mendekat pelan, merangkul bahu Salwa dengan tangan yang hangat dan lembut.
“Kau nggak sendirian, Sal,” bisik Salsa, berusaha menjadi tempat berlindung di tengah badai perasaan sahabatnya. Tangan Salsa menepuk-nepuk punggung Salwa perlahan, memberi ruang untuk menangis. Salwa akhirnya melepaskan semua yang ia tahan, memeluk Salsa dengan erat, air matanya tumpah dalam pelukan yang tulus itu.
“Salwa, kak Wanda...” suaranya pecah, gemetar oleh duka yang dalam. Salsa mengusap punggung Salwa dengan sabar, menyembunyikan kebingungannya dibalik perhatian yang mengalir tulus.
“Ceritakan ke aku, sekarang. Apa yang terjadi sama kak Wanda?” pinta Salsa, siap menyambut cerita yang akan membuat hatinya lebih berat sekaligus kuat.
"Aku melihat kak Wanda bersama dengan om-om masuk ke hotel berbintang lima," Salwa terlihat sedih.
Dia takut jika kakaknya benar-benar menjadi wanita nakal. Salsa tersenyum lebar. Dalam pikiran Salsa sendiri, tidak semua orang dewasa yang berlainan jenis melakukan kegiatan mesum saat masuk hotel. Mungkin saja mereka sedang menghadiri acara atau pesta.
Salsa melotot sedikit, menunggu jawaban Salwa yang masih manyun di sudut bibirnya.
"Lalu?" sahutnya, nada suara terasa mengusik. Salwa menatap tajam, wajahnya terlihat sinis.
"Aku yakin, kak Wanda selama ini cari uang dengan cara wanita nakal. Atau jadi simpanan laki-laki hidung belang," katanya pelan tapi menusuk. Salsa menghela napas panjang, menekan dadanya agar tenang. Ia tahu, ini bukan saatnya berdebat, tapi ia harus meluruskan pikiran sahabatnya.
"Salwa, sayang… jangan langsung berpikir buruk begitu, ya. Bisa jadi kak Wanda sama pria dewasa itu cuma mau ke acara di hotel itu. Meeting, seminar, atau apapun yang penting buat dia. Bukankah dia anak kuliahan? Pasti sering ikut seminar buat tambah ilmu dan pengalaman dari pembicara yang sudah ahli," jelas Salsa lembut, berharap kata-katanya menembus tembok prasangka Salwa.
Wajah Salwa mulai melunak, ia mengangguk pelan, meski bibirnya masih tersirat keraguan. Tapi setidaknya, benih harapan kecil itu sudah tumbuh.
"Tapi, Sa! Kak Wanda dengan om-om itu jalan bergandengan mesra banget, nggak salah aku ya bilang kakak kita itu nakal?" Salwa menatap Salsa dengan mata melebar, seolah mencari kepastian dari sahabatnya. Salsa menghela napas panjang, bibirnya mengeras.
"Ya sudah, aku bakal ngomong ke ayah, suruh selidikin semua tentang kerjaan kak Wanda. Aku juga bakal cari foto-fotonya biar bisa aku tunjukin ke ayah. Gimana?"
Salwa segera mengangguk, wajahnya dipenuhi kecemasan. Dia menatap langit-langit sejenak, seolah takut kakaknya benar-benar terjerumus ke dunia gelap yang selama ini dia benci dan anggap haram.
"Tapi, Sa... kalau kak Wanda emang beneran jual diri demi uang? Aku jadi bingung harus gimana," suara Salwa melemah, bibirnya bergetar menahan takut. Salsa menggigit bibir, matanya menatap kosong, berusaha merangkai jawaban yang tepat dalam hati.
Entah kenapa dada ini terasa sesak setiap kali membayangkan masalah yang kamu bawa. Aku mengerjap pelan, mencoba menahan agar suara serak tak keluar.
"Aku nggak pengin lihat kamu sama kakakmu bertengkar hanya gara-gara hal ini," kataku lirih, sambil mengusap-usap pelipis sendiri. Masalah ini memang rumit dan gampang nyulut amarah. Aku menarik napas panjang, lalu berkata,
"Aku mau coba omongin ini ke ayah. Mungkin beliau bisa kasih jalan keluar yang lebih bijak." Mataku menatapmu serius,
"Tapi untuk sekarang, kamu harus berusaha pura-pura nggak tahu kalau benar kak Wanda terlibat hal yang nggak baik itu. Aku takut, kalau sampai kalian sampai ribut, malah nggak ada yang menang. Hubungan kalian bisa retak." Aku menggenggam tanganmu pelan, berusaha memberi semangat.
"Kita cari jalan terbaik bareng-bareng, biar nggak ada yang terluka lebih jauh."
Tuan Marcos menatap pintu kamar yang setengah terbuka saat hendak berangkat kerja. Di dalam, Salsa dan Salwa tampak duduk berdampingan, wajah mereka agak pucat dan mata sayu, seolah sedang mempersiapkan alasan untuk tidak masuk sekolah.
“Ijin sakit,” pikir Marcos, mengiyakan tanpa bertanya lebih jauh. Setelah melambaikan tangan, pria itu melangkah ke ruang kerja ber-AC, melepaskan sejenak beban pikiran di pundaknya.
Namun, baru duduk beberapa menit, ponselnya bergetar. Marcos menoleh, melihat notifikasi pesan dari Salsa. Rasa penasaran mencuat, disertai kegelisahan yang sulit ia redam. Saat membuka pesan, foto kakak Salwa, Winda, muncul di layar, wajah wanita itu dicap sebagai ‘wanita penghibur’ oleh sang adik.
Jantung Marcos berdegup lebih cepat, pikirannya membelah antara keinginan melindungi putrinya dan ketakutan menghadapi kenyataan yang mungkin menganga. Ia menatap layar ponsel seolah mencari jawaban yang tak kunjung datang, sementara pekerjaan di mejanya mulai tersisih oleh kegamangan hati.
Di tengah lamunannya yang mulai kusut, asisten pribadinya masuk membawa secangkir kopi susu hangat. Dengan tangan gemetar, ia menerima cangkir itu, namun matanya tak lepas dari tumpukan pekerjaan yang masih tercecer di meja.
"Diam saja, tenang... masih ada waktu buat cek itu nanti," bisiknya lirih, mencoba menahan kegelisahan yang merayapi pikirannya.
Tapi rasa penasaran malah membakar hatinya lebih dalam. Winda, wanita penghibur? Tuduhan Salwa terasa seperti duri yang menusuk, sulit dipercaya. Ia teringat wajah Winda yang selalu sopan dan penuh tata krama, gadis dari keluarga terpandang bukankah itu lebih dari cukup jadi bukti? Namun bayangan buruk itu terus menghantui. Jika benar, bagaimana mungkin Salsa dan Salwa yang masih kecil bisa terjerumus dalam lingkungan seperti itu? Ketidakpastian itu membuat dadanya sesak, antara ingin percaya dan takut tersakiti oleh kenyataan yang mungkin terburuk.
Sambil menyeduh kopi susu, aku menyunggingkan senyum tipis kepada asisten di sampingku. Namun, di balik itu, jantung Tuan Marcos berdebar tak menentu, seperti gelombang yang bergelora dalam batinnya. Ada pertempuran sengit antara keinginan melindungi keluarga dan dorongan mencari kebenaran, yang kini mengancam merobek hubungan hangatnya dengan anak dan sahabat-sahabat putrinya.
“Jangan goyah, harus kuat. Kebenaran akan muncul, tepat pada waktunya,” gumamnya dalam hati, matanya menatap gelas yang mulai dingin. Kino, asisten pribadi yang setia, memecah kesunyian.
“Tuan Marcos, ini daftar nama pelamar sekretaris pribadi. Semua sudah diinterview kemarin lusa.” Tuan Marcos mengerutkan kening, matanya tertuju pada satu nama yang sudah lama dikenalnya.
“Lina Krismaya Jatmiko,” ujarnya pelan, suaranya hampir tersendat. Kino menyunggingkan senyum lebar, menyadari betapa kejutan kecil itu mengguncang Tuan Marcos. Dalam hati, ia tahu mantan kekasih sang bos itu kini ada di daftar calon sekretaris pribadi.
"Benar, tuan Marcos! Nona Lina sudah lolos interview. Seharusnya nona Lina lah yang layak bekerja mendampingi tuan besar menjadi sekretaris pribadi tuan Marcos," kata Kino dengan nada penuh keyakinan. Namun, raut wajah Marcos mengerut, matanya menatap tajam seolah menimbang-nimbang sesuatu yang tak nyaman.
"Aku khawatir kalau Lina nanti bekerja di perusahaan ini, justru akan mengganggu kenyamanan dan ruang lingkup kerjaku," ucapnya pelan, bibirnya mengecil menahan kegelisahan.
"Selain Lina, apakah ada nama lain yang layak menjadi sekretaris pribadiku?" tanyanya, suaranya sedikit dingin. Kino mengeluarkan tumpukan biodata dan menyodorkan satu berkas.
"Wanda Sukma Indah?" Marcos membaca nama itu dengan lirikan yang sulit ditebak. Wajah dan penampilan wanita dalam foto cukup menarik, membuat alisnya terangkat pelan.
Dia menghela napas panjang, lalu menatap Kino dengan serius, "Bahkan dia belum lulus kuliah jurusan sekretaris. Kamu menyodorkan padaku, atas dasar apa? Apakah hanya karena wajah dan penampilan menarik saja seorang bisa bekerja di perusahaan ini? Kamu salah, Kino."
Kata-katanya tegas, mengandung teguran yang tak bisa diabaikan. Kino menunduk, tahu bahwa Marcos tidak main-main soal ini.
"Tapi tuan besar. Saat interview kerja kemarin, dia terlihat begitu pengalaman. Kemampuan nya dalam menjawab pertanyaan secara tertulis dan wawancara begitu sempurna. Nama ini memiliki nilai IPK dalam setiap semester nya selalu tinggi. Sekarang dia sedang menyusun skripsi. Sebentar lagi tentunya lulus, tuan. Saya yakin kemampuannya diatas rata-rata. Apalagi kalau nanti lulus menjadi sarjana, saya rasa kepercayaan nya lebih tinggi untuk menjadi sekretaris pribadi anda, tuan besar," Kino menjelaskan. Tuan Marcos mulai terpengaruh oleh ucapan asisten pribadinya.
Tuan Marcos menatap Kino tajam, matanya menyipit penuh curiga.
"Apakah kamu sudah mendapatkan uang suap dari gadis ini?" ucapnya dingin, suaranya menggema di ruangan yang sunyi. Kino terkejut, mendelik, dadanya seolah ditekan beban tak terlihat.
"Saya tidak berani, tuan besar!" jawabnya cepat, dengan nada penuh kepastian. "Saya jamin, nama Wanda ini bisa diandalkan untuk bekerja di perusahaan kita." Tuan Marcos mengangguk perlahan, mengusap dagunya sambil memikirkan jawabannya.
"Baiklah. Terima dua nama ini. Besok mereka sudah boleh masuk kerja. Tapi sebelum itu, pastikan Lina dan Wanda menghadapku dulu sebelum tahu tugas-tugasnya," perintahnya tegas.
"Siap, tuan besar!" sahut Kino tanpa ragu, berusaha menyembunyikan ketegangan di wajahnya. Kino menunduk sejenak, lalu bertanya pelan,
"Jadi siapa yang dapat posisi sekretaris utama dan sekretaris kedua, tuan?" Tuan Marcos melemparkan senyum sinis.
"Kamu yang paling paham soal ini. Kenapa harus tanya aku lagi? Pendidikan nomor satu, karena menyangkut kredibilitas perusahaan. Lina sekretaris utama. Tapi aku lebih mengandalkan yang bisa berkomunikasi baik dengan klien-klien." Suaranya mengandung arti tersirat, menyisakan pertanyaan di benak Kino.
"Baik, tuan! Saya mengerti!" Kino membungkuk cepat, nadanya penuh semangat.
"Setelah ini, saya akan kirimkan email pemberitahuan kepada nona Lina dan Wanda. Keduanya sudah diterima sebagai sekretaris di perusahaan ini. Lusa, mereka harus sudah mulai masuk kerja dengan penampilan rapi, sesuai standar sekretaris di sini."
Tuan Marcos kembali menatap layar laptop, tapi pandangannya tak lagi fokus pada angka dan dokumen. Matanya tertuju pada foto di biodata pelamar bernama Wanda Sukma Indah. Senyum tipis mengembang di sudut bibirnya, wajahnya berubah seolah menyimpan rencana sendiri.
"Gadis ini..." gumamnya pelan, suaranya nyaris tak terdengar. Dia merogoh saku, mengambil handphone, dan dengan cepat menekan nomor. Layar menampilkan nama 'Wanda Sukma Indah.'
"Malammu sudah ada rencana, Wanda," katanya dingin namun mengandung janji yang sulit diartikan.
"Aku tunggu kamu malam ini di hotel XXNX, jam tujuh." Suara tuan Marcos menahan getar harap sekaligus sesuatu yang lain, sebelum panggilan berakhir.
"Tuan Marcos duduk terpaku sambil menatap layar ponselnya. Foto-foto itu jelas, menampilkan wanita yang mirip dengan Salwa, ternyata itu Wanda, kakaknya. Dadanya berdegup kencang, matanya menyipit penuh rencana.
“Hem, setelah ini, aku pastikan Wanda hanya melayani aku... jadi wanita aku saja,” gumamnya pelan, bibirnya mengerucut dalam senyum dingin yang penuh ambisi. Pesan itu membawa bayang-bayang gelap di pikirannya, sebuah kesempatan yang tak akan ia sia-siakan.
kau ini punya kekuatan super, yaaakk?!
keren, buku baru teroooss!!🤣💪