Tiga tahun yang penuh perjuangan, Cathrine Haryono, seorang gadis desa yang memiliki ambisi besar untuk menjadi seorang Manager Penjualan Perusahaan Top Global dan memimpin puluhan orang dalam timnya menuju kesuksesan, harus menerima kenyataan pahit yang enggan dia terima, bahkan sampai saat ini.
Ketika kesempatan menuju mimpinya di depan mata, tak sabar menanti kehidupan kampus. Hari itu, seorang pria berusia 29 tahun, melakukan sesuatu yang menghancurkan segalanya.
Indra Abraham Nugraha, seorang dokter spesialis penyakit dalam, memaksa gadis berusia 18 tahun itu, menjalani takdir yang tidak pernah dia pikirkan sama sekali dalam hidupnya.
Pria yang berstatus suaminya sekarang, membuatnya kehilangan banyak hal penting dalam hidupnya, termasuk dirinya sendiri. Catherine tidak menyerah, dia terus berjuang walaupun berkali-kali tumbang.
Indra, seseorang yang juga mengenyam pendidikan psikolog, justru menjadi penyebab, Cathrine menderita gangguan jiwa, PTSD dengan Skizofrenia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ada Rasaku, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 5 | Hidup Seperti Ini, Mau Sampai Kapan?
Indra tidak henti-hentinya mengutarakan isi hati, menuntut jawaban dan mencengkeram tubuh Cathrine. Sedangkan, istrinya diam dengan kepala berisik dan mengalami serangan panik. Suara itu ... Datang lagi. PTSD dengan skizofrenia-nya kambuh. Catherine kehilangan dirinya lagi.
Diri yang setengah mati dia peroleh kembali dan memahami bagaimana kehidupan, dia ... Apakah akan kembali ke dunia itu? Dunia seperti kerengkeng manusia dengan bisikan-bisikan non-stop, dunia yang membuatnya linglung antara dunia nyata dan delusi, dunia yang sebenarnya dia ini mempertanyakan apakah dia masih hidup atau sudah mati?
Catherine rasanya ingin lenyap saja, tetapi impiannya sebagai manajer yang membawa tim penjualan menuju puncak, belum dicapai ... Saat-saat paling setres sekaligus menggairahkan saat bersama tim solid-nya.
Dia ... Menyukai pekerjaan, menyukai perusahan yang berawal dari ruko kecil bahkan seringkali disalahpahami sebagai pialang serta para klien loyal prioritas yang sudah seperti keluarganya.
Om Dirga, atasannya yang sering menegur sampai kebakaran jenggot karena gaya kerja manusia tipe B, yang santai, berantakan dan tidak mengenal aturan kaku, seperti Cathrine Haryono ini.
Seseorang yang tidak menghiasi halaman IG dengan foto-foto estetik atau abadikan moment, kosong melompong. Seseorang yang tidak punya BESTie perempuan, mengenal tempat-tempat hidden gem, makanan atau minuman nyeleneh layaknya kebanyakan teman cewek seusianya dan jarang hang out atau sekadar refreshing di luar.
Bagi Cathrine, berada di perusahaan adalah rumah terbaik yang nyaman dan aman. Apakah dia akan kehilangan itu semua?
Lalu, kembali ke ruang sempit, macam-macam terapis dan meminum puluhan obat yang diresepkan psikiater kepadanya ... Untuk melupakan segala hal?
Di tengah suara marah Indra, Cathrine mendempis, rasanya ... ingin mati saja sekarang.
Dalam renung lubuk hatinya ... Dia mencita-citakan sebuah pelukan hangat yang nyaman, cinta tanpa syarat yang tidak menghakimi dan seseorang yang menjadi telinganya dari bisingnya monster di kepalanya.
Cathrine, perempuan 32 tahun yang telah menikah, berulangkali hubungan s*ks dan tidur bersama pria berstatus suaminya. Namun ... Sebetulnya, kalau boleh jujur mentalnya terjebak di usia 15 tahun, umur di mana dia bertemu pertama kali dengannya ...
Indra Abraham Nugraha, seseorang yang mencintainya, segila-gilanya, super protektif dan phobia kehilangannya, entah pergi karena mengkhianatinya, pergi jauh bersembunyi darinya, pergi selamanya dengan bunuh diri maupun kematian karena usia, Cathrine tidak bisa. Mustahil. Indra membuatnya tidak mampu melakukan itu semua, meskipun berkali-kali telah wanita tersebut coba.
Tatapan mata Cathrine tak bernyawa. Dia lebih mirip raga tanpa jiwa. Indra memeluknya erat, lalu memandangi wajahnya dan kembali menuntut jawab.
"Ya Allah ... Capek banget, seriusan, hidup kek gini mau sampai kapan?" gumam Cathrine, perlahan pria itu menciumi bibirnya dan itu berakhir seperti kemarin lusa, bedanya dia tidak kelaparan kali ini.
.
.
Catherine terbangun dari tidurnya setelah pergulatan menggebu-gebu dengan amarah seseorang pria yang seperti kerasukan setan. Sekujur tubuhnya pegal, kebas dan banyak bekas cupang dari leher, wajah, dada, perut dan kaki jenjangnya.
Dia merasa mual, segera menarik tong sampah beralaskan kresek, tempatnya biasa muntah. Membayangkan adegan tiga jam tanpa henti itu, rasa jijik dan muaknya membuat Cathrine muntah lebih banyak. Tubuhnya tidak bertenaga untuk sekadar mengumpat dan mengutukinya mati.
Saat muntah yang keluar tinggal lendir, Mbak Sumi masuk untuk menghantarkan wedang jahe dan semangkuk bubur dengan taburan daun bawang.
Meletakan di nakas dan berujar, "Wedang jahe dan bubur, Bu. Kata Bapak dihabisin, ya, dan hari ini engga perlu berangkat kerja dulu. Bapak sudah meminta izin cuti dua hari ke Pak Dirga."
"Kalau butuh bantuan tekan bell saja, ya, Bu ... Atau ke pengen sesuatu, tinggal chat ke nomor WA saya apa Pak Purnomo (satpam)," ujar Mbaksum di depan ranjang.
Dia berbalik lagi dan melanjutkan, "Eh, Bapak juga pekerjakan tukang kebun, namanya Pak Erpan, buat nanam bunga kesukaan Ibu katanya dan dateng jam sepuluh nanti. Permisi, ya, Bu ..."
"Wedang jahe ... Bubur daun bawang ... Bunga kesukaan gue, bunga Lavender ... Apa gunanya itu sekarang? Gue cuman pengen ..."
Saking hampanya, sekarang bahkan Cathrine tidak menginginkan apa pun. Seharian tengkurap dengan tubuh telanjang yang tertutup selimut tanpa memikirkan apa pun. Kosong.
Dia lupa ... Dulu, dirinya itu seperti apa, ya?
Dari sifat, cara ngomong dan mengekspresikan emosi pada wajahnya bagaimana?
Apa, ya, yang dulu paling banyak menyita waktunya pas remaja? Siapa, ya, cinta pertamanya? Kapan terakhir kali dia jahili orang sampe satu komplek geger, ya?
Hari sudah gelap, Cathrine masih di ranjangnya sambil menatap langit-langit kamar. Wedang jahe dan semangkuk bubur tidak tersentuh. Dia tidak menekan bell maupun mengirim pesan WA ke Mbak Sumi, Pak Purnomo maupun menyapa dan kenalan ke Pak Erpan. Dua hari terlewat seperti ini, Cathrine lebih mirip mayat hidup di ranjangnya.