Sinopsis
Rania, seorang gadis desa yang lembut, harus menanggung getirnya hidup ketika Karmin, suami dari tantenya, berulang kali mencoba merenggut kehormatannya. Belum selesai dari satu penderitaan, nasib kembali mempermainkannya. Karmin yang tenggelam dalam utang menjadikan Rania sebagai pelunasan, menyerahkannya kepada Albert, pemilik sebuah klub malam terkenal karena kelamnya.
Di tempat itu, Rania dipaksa menerima kenyataan pahit, ia dijadikan “barang dagangan” untuk memuaskan para pelanggan Albert. Diberi obat hingga tak sadarkan diri, Dania terbangun hanya untuk menemukan bahwa kesuciannya telah hilang di tangan seorang pria asing.
Dalam keputusasaan dan air mata yang terus mengalir, Rania memohon kepada pria itu, satu-satunya orang yang mungkin memberinya harapan, agar mau membawanya pergi dari neraka yang disebut klub malam tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab: 19
Malam merayap sunyi di Vila. Airon melangkah menaiki tangga marmer, namun langkahnya melambat saat melewati pintu kamar Rania. Ia berhenti sejenak, tangannya ragu sebelum akhirnya memutar kenop pintu yang ternyata tidak terkunci.
Di dalam sana, Rania tertidur begitu pulas. Wajahnya tampak damai di bawah cahaya lampu tidur yang remang-remang, menyiratkan kepolosan yang kontras dengan kekacauan di luar sana. Ada sebersit rasa hangat yang menyelinap ke lubuk hati Airon yang paling dalam, sebuah keinginan asing untuk masuk, merebahkan diri di sampingnya, dan memeluk tubuh istrinya itu hingga fajar menyapa. Sesuatu yang tak pernah ia sangka bisa ia rasakan terhadap wanita mana pun, apalagi wanita yang ia temukan di tempat kotor seperti klub Albert.
Airon segera menggeleng, mengusir pikiran itu. Ia masuk ke kamarnya sendiri, mengunci pintu, dan berjalan menuju laci meja kerja. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia mengeluarkan sebuah foto tua yang sudah agak menguning di bagian tepinya.
Di dalam foto itu, seorang gadis berambut hitam pekat yang panjang tersenyum lebar. Matanya hitam menawan, melingkarkan tangannya dengan penuh kasih pada pundak seorang laki-laki. Laki-laki itu adalah Airon di masa lalu, sosok yang terlihat lebih muda dan penuh harapan.
Namun, menatap foto itu bukannya membawa kedamaian, justru membangkitkan badai di mata cokelat gelap Airon. Gurat benci dan amarah yang pekat tersirat jelas di wajahnya. Ia meremas foto itu dengan kuat, menghancurkan bukti kenangan itu hingga tak berbentuk lagi. Baginya, kelembutan adalah kelemahan, dan ia tak ingin membiarkan Rania, atau siapa pun, menembus pertahanannya lagi.
Pagi harinya, Rania bangun dengan perasaan yang jauh lebih baik. Ingatan tentang makan malam bersama semalam membuatnya merasa dihargai. Dengan semangat, ia menyiapkan nasi goreng harum untuk sarapan mereka berdua. Saat melihat Airon turun dengan setelan kantor yang rapi dan aroma parfum maskulin yang tajam, Rania menghampirinya dengan senyum tulus.
"Tuan, saya sudah siapkan sarapan. Mari kita sarapan sa...."
"Kamu sarapan saja sendiri. Saya mau langsung ke kantor!" potong Airon. Suaranya dingin, menusuk seperti jarum es. "Jangan karena semalam saya duduk makan bersama kamu, kamu jadi berpikir saya akan selalu melakukannya! Sadarlah pada posisimu!"
Rania tertegun. Senyumnya luntur seketika. "Ba...baik, Tuan," sahutnya lirih.
Aura Airon kembali membeku, jauh lebih dingin dari biasanya. Rania tak berani bertanya lebih lanjut, apalagi menawarkan kopi. Ia hanya bisa menatap punggung suaminya yang melangkah pergi dengan langkah tegap tanpa sedikit pun menoleh ke belakang.
Rania menghabiskan sarapannya dalam kesunyian yang mencekam. "Apa dia sedang... halangan?" gumam Rania polos, lalu segera menggelengkan kepala. Mana mungkin laki-laki mengalami hal seperti itu. "Atau aku berbuat salah ya?"
Ia mencoba memutar kembali memori semalam. Segalanya terasa baik-baik saja, bahkan Airon sempat memperlakukannya dengan lembut. Lalu mengapa pagi ini pria itu kembali menjadi sosok monster yang tak tersentuh? Rania menunduk lesu, hatinya mencelos. Bertanya langsung pada Airon bukanlah pilihan bijak jika ia masih ingin melihat matahari esok hari.
Malam harinya, Rania tetap menjalankan tugasnya. Ia membuka pintu begitu mendengar deru mobil Porsche Airon memasuki pekarangan.
"Selamat malam, Tuan," sambut Rania dengan kepala tertunduk.
"Hemm," sahut Airon dingin, melengos masuk mendahuluinya.
Rania membawa tas kerja Airon ke lantai atas. "Saya permisi, Tuan," ucap Rania singkat, lalu segera keluar tanpa menunggu balasan.
Airon terdiam di tepi ranjang, menatap pintu kamarnya yang baru saja tertutup dengan kening berkerut. Biasanya, gadis itu akan menghujaninya dengan pertanyaan: 'Apa Tuan mau kopi?' atau 'Apa Tuan sudah makan malam?' Namun kali ini, Rania diam seribu bahasa. Ada rasa kehilangan yang aneh menyelinap di hati Airon saat perhatian-perhatian kecil itu ditarik kembali.
"Rania!" panggil Airon keras.
Tak butuh waktu lama, Rania muncul di ambang pintu. "Iya, Tuan?"
"Buatkan saya kopi. Antar ke ruang kerja," perintah Airon.
Rania mengangguk patuh, segera turun ke dapur. Tak lama kemudian, ia meletakkan cangkir kopi di meja kerja Airon yang penuh dengan dokumen. "Ini kopinya, Tuan. Saya permisi." Dan ia pun menghilang di balik pintu sebelum Airon sempat mengucapkan sepatah kata pun.
Airon meremas pulpen di tangannya. Ada apa dengan gadis itu?
Sebenarnya, Rania telah mengambil keputusan besar siang tadi. Ia menyadari bahwa sikap manis Airon semalam hanyalah jebakan semu. Ia harus ingat siapa dirinya, hanya seorang istri simpanan yang identitasnya disembunyikan dari dunia. Statusnya memang naik sedikit dari wanita pemuas nafsu menjadi istri, namun di mata Airon, ia tetaplah objek yang bisa diperlakukan sesuka hati. Rania memutuskan untuk menjaga jarak demi melindungi hatinya sendiri.
Namun di ruang kerja, Airon justru kehilangan fokus. Bayangan Rania yang bersikap dingin dan kaku terus mengusiknya. Ia marah pada dirinya sendiri karena merasa terganggu oleh perubahan sikap gadis itu.
"Arggghhh!" Airon mengacak rambutnya dengan frustrasi. Rasa bersalah yang asing mulai menggerogotinya. Karena tak tahan dengan atmosfer sunyi di vila, ia menyambar kunci mobilnya dan melesat pergi, mencari pelarian di tempat yang ia tahu bisa membuatnya lupa.
Gemerlap Malam dan Godaan Julia
Dentuman musik house yang berat memekakkan telinga saat Airon memasuki Sky Lounge eksklusif di pusat kota. Cahaya lampu neon yang berputar liar dan aroma alkohol mahal menyambutnya. Di sini, di dunia yang penuh dengan kemunafikan dan kemewahan, Airon merasa kembali ke habitatnya.
"Ron! Sini!" teriak seorang pria berambut gondrong dari sudut bar.
Airon melangkah menghampiri teman-teman sosialitanya. Di sana juga ada Ergan, namun asistennya itu terlihat sangat berbeda. Tidak ada jas kaku atau kacamata membosankan, Ergan memakai kemeja sutra gelap dengan kancing atas terbuka, terlihat seperti buaya darat kelas atas.
"Tuan muda kita akhirnya muncul lagi," goda salah satu teman Airon. "Punya mainan baru mungkin di rumah?"
Airon langsung melirik tajam ke arah Ergan. Ergan segera memperagakan gerakan menarik ritsleting di mulutnya, sebuah isyarat bahwa rahasia pernikahan Airon tetap aman dalam genggamannya.
"Mumpung kamu di sini, lihat itu," teman Airon yang lain menunjuk ke arah sofa VIP di seberang. "Cewek itu... matanya tidak pernah lepas dari kamu sejak kamu masuk."
Airon melirik. Di sana, Julia duduk dengan gaun cocktail merah yang sangat berani, mengangkat gelas kristalnya seolah mengajak Airon bersulang. Julia, putri Prayoga yang cantik dan ambisius, tidak membuang waktu. Ia bangkit dan melangkah anggun mendekati kerumunan pria itu.
"Perkenalkan, ini Julia," ucap Airon singkat saat gadis itu sampai di hadapannya.
"Kamu bukannya Ergan? Asisten Airon yang... cupu itu?" tanya Julia, menatap Ergan dengan tawa mengejek.
"Mata Anda sangat tajam, Nona," sahut Ergan santai, tak terpengaruh.
"Dia ini kalau siang jadi kuli korporat, kalau malam jadi predator," timpal teman Airon yang disambut gelak tawa.
Sejam berlalu, pengaruh alkohol mulai bekerja. Teman-teman Airon, yang tahu betul bagaimana reputasi Airon sebagai penakluk wanita, sengaja memberikan ruang bagi mereka berdua. Mereka menyeret Ergan pergi ke lantai dansa, membiarkan Airon dan Julia sendirian di ruangan privat yang kedap suara.
Di dalam ruangan itu, hanya ada Airon dan Julia. Bau parfum Julia yang menyengat dan aroma vodka memenuhi udara.
"Arkk... Airon..." rintih Julia saat pria itu mendekatinya.
Julia sengaja menyerahkan dirinya, memancing sisi pemburu dalam diri Airon. Ia tahu Airon adalah perusak, pria yang tidak pernah memberikan hatinya namun selalu memberikan kenikmatan yang memabukkan. Julia merasa tertantang untuk menjadi wanita yang bisa menaklukkan Bos Berdarah Dingin itu.
Airon menatap Julia, namun di balik kabut alkohol dan gairah sesaat, bayangan wajah Rania yang sedang menangis semalam tiba-tiba muncul. Sebuah pertentangan batin terjadi di balik mata cokelat gelapnya.
Julia menarik kerah kemeja Airon, namun pikiran Airon justru melayang kembali ke vila yang sunyi, ke arah Rania.
*****
Jangan lupa dukung karya ini dengan VOTE, berikan LIKE, dan tuliskan KOMENTAR kalian yang paling bar-bar di bawah! Dukungan kalian adalah bensin buat Author untuk lanjut! Salam sayang, Author
masa tangan kanan ga punya rencana 🤦🤦