NovelToon NovelToon
Ujug-ujug Punya Tiga Suami

Ujug-ujug Punya Tiga Suami

Status: sedang berlangsung
Genre:Pernikahan Kilat / Nikahmuda / Satu wanita banyak pria / Harem / Mengubah Takdir
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Mega Biru

Duit tinggal ceban, aku ditawarin kerja di Guangzhou, China. Dengan tololnya, aku menyetujuinya.

Kupikir kerjaan itu bisa bikin aku keluar dari keruwetan, bahkan bisa bikin aku glow up cuma kena anginnya doang. Tapi ternyata aku gak dibawa ke Guangzhou. Aku malah dibawa ke Tibet untuk dinikahkan dengan 3 laki-laki sekaligus sesuai tradisi di sana.

Iya.
3 cowok itu satu keluarga. Mereka kakak-adik. Dan yang paling ngeselin, mereka ganteng semua.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mega Biru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 6

Kelopak mata tiba-tiba terbuka. Pandanganku langsung tertuju pada jam digital kecil di nakas, yang sudah menunjukan waktu 05.45.

“Udah jam segini? Perasaan tadi aku baru tidur jam empat?” Kudekatkan wajah ke layar jam, seolah berharap angka itu salah. “Kok udah bangun lagi aja, sih? Ini jam 5 pagi atau 5 sore?”

Kulihat fentilasi di atas jendela, gak melihat cahaya. "Sepertinya ini masih pagi."

Aku membalikkan badan, menarik selimut mahal yang terasa hangat, tapi mataku enggan kembali tidur. Ada rasa asing yang menggelayut, semacam gelisah yang gak bisa dijelaskan.

"Kenapa jadi gak bisa tidur, sih? Padahal kamarku sekarang luas, wangi, kasurnya empuk, beda jauh dari kamar buluk di kontrakan dulu."

Menghela napas panjang, tiba-tiba teringat tawaran Deti yang menggiurkan sekaligus mengilukan semalam.

"Apa iya aku akan jadi istri yang bahagia di tangan 3 putra Dorjen?"

Semalam aku begitu marah, bahkan merasa hidup sudah tamat. Tapi sekarang, saat pikiranku sedikit jernih, aku gak bisa memungkiri sesuatu yang lebih jujur. Yakni, ada bagian kecil dalam hati yang bikin penasaran.

“Gimana ya rasanya dicintai ugal-ugalan sama tiga putra Dorjen? Mana gagah, ganteng, kaya raya pula.“ Tanpa sadar aku senyum-senyum sendiri.

TOK! TOK! TOK!

Aku tersentak. Suara ketukan pintu itu seperti memotong alur pikiranku. Perlahan aku bangkit dari ranjang, menarik napas panjang sebelum membuka pintu.

“Siapa?” tanyaku.

Kupikir Deti.

Tapi ternyata bukan.

Di ambang pintu berdiri seorang perempuan, yang mungkin usianya sebaya dengan mendiang ibu. Wanita itu berwajah lembut, rambut dikepang dua, dan mengenakan pakaian tradisional.

“Sarapan sudah siap, Nona,” kata bibi itu menggunakan bahasa Tibet.

“Hah?” Aku gak ngerti sepatah kata pun.

Melihat ekspresiku yang ngang ngong, dia mengulang lagi, kali ini sambil menunjuk ke bawah lalu menggerakkan tangannya seperti orang menyuap makanan ke mulut.

“Oh, makan?” tebakku.

Bibi itu seperti gak mengerti bahasaku juga. Namun tiba-tiba dia memegang pergelangan tanganku, lalu menuntunku keluar kamar.

“Mau ke mana?” tanyaku.

Tapi tampaknya percuma aku bertanya. Lawong dia gak ngerti bahasa Indonesia. Alhasil aku ikuti saja kemana langkahnya.

Begitu sampai di lantai bawah, aku mencium aroma roti panggang dan gurihnya aroma mentega. Perutku yang tadinya mual, tiba-tiba menjadi lapar.

“Silahkan, Nona.” Bibi itu mendorongku masuk ke sebuah ruangan besar, tentunya masih menggunakan bahasa yang gak kumengerti.

Begitu masuk, aku membatu. Ternyata aku masuk ke sebuah ruang makan keluarga Dorjen. Ruang makan itu megah dan besar. Terdapat Meja panjang dari kayu pahatan penuh ukiran tradisional, terdapat kain berwarna merah dan emas yang membentang di tengahnya, hingga terdapat hiasan lonceng kecil dan dupa wangi yang membuat ruangan terasa seperti rumah bangsawan.

Semua orang sudah duduk. Semua keluarga inti Dorjen sudah berkumpul tanpa terkecuali. Ada ibu Dorjen yang berada di ujung meja, ada Sonam yang duduk di sisi kanan meja, serta ada Tenzin dan Norbu yang sama-sama duduk di sisi kiri meja.

Ketiga cowok Dorjen itu menatapku dalam penampilan yang rapi, tampak berkharisma, berwibawa, dan terlalu tampan untuk ukuran pagi-pagi.

“Duduk di sini,” kata Sonam menggunakan bahasa Tibet.

“Hah?” Aku gak mengerti ucapannya.

“Sit down.” Sonam menepuk-nepuk kursi di sebelahnya, yang langsung berhadapan dengan Norbu di seberang sana.

“Oh, duduk.” Aku baru paham.

Meskipun deg-degan, akhirnya aku duduk di samping Sonam. Semua mata kini memandang, aku pun gugup bingung harus ngapain.

“Eat,” ujar Tenzin.

“Take anything you like,” sambung Norbu.

Aku mengangguk.

"Duh, canggung bet, anj!" batinku.

Tiba-tiba Sonam mendekat, dan langsung memasang sebuah benda asing di telingaku.

“Apa ini?” Aku berdebar, langsung mengecek alat itu.

“Ear translator,” jawab Sonam.

Aku pun melihat Sonam memakai benda sama di telinganya. Benda yang ukurannya kecil, tipis, seukuran koin, dengan permukaan hitam mengilap dan lampu biru yang berkedip, hampir seperti ear-clip.

“Kalian pakai ini juga.” Sonam berbicara menggunakan bahasa Tibet. Dan melemparkan benda serupa di hadapan Tenzin dan Norbu, lantas menekan tombol kecil di telingaku tanpa permisi.

“Aku sudah atur bahasanya. Pakai alat ini saat kita berbicara. Ear translator ini sudah ku-setting untuk menerjemahkan bahasa,” ujar Sonam menggunakan bahasa Tibet, namun suaranya langsung berubah menjadi bahasa Indonesia di alat yang ada di telingaku.

“WAW!” Mataku membeliak takjub saat mendengar suara Sonam yang langsung ditranslate lewat alat di telingaku.

“Gila, alatnya canggih banget, anjing” seruku antusias, namun tiba-tiba suaraku langsung ditranslate ke alat yang ada di telinga Sonam, Tenzin, Norbu, dan ibu Dorjen.

“Loh?”

Aku terkejut karena suaraku langsung ditransfer kepada mereka, namun lebih kaget lagi karena ibu Dorjen pakai alat itu juga.

“Anjing?” Sonam berbicara menggunakan bahasa Tibet yang otomatis tertranslate ke alat di telingaku.

“Kenapa kamu bilang anjing?” tanya Tenzin.

“Mana anjing?” Norbu celingak-celinguk mencari anjing.

“Gak papa, aku cuma ingat anjingku di rumah,” sahutku gugup, tentu saja suaraku langsung ditranslate di telinga mereka.

“OH,” sahut mereka semua.

“Gila ih, canggih banget alat ini. Aku jadi gak kayak orang o'on lagi kalo ngobrol sama mereka,” batinku senang.

“Cepat sarapan dulu,” kata ibu Dorjen.

“Jangan canggung lagi, kamu akan jadi bagian dari keluarga ini,” kata Sonam.

Aku mengangguk meskipun terkejut.

"Ini serius aku bakal jadi bagian dari keluarga ini?" batinku.

“Pernikahan akan dilakukan 3 hari lagi. Tolong persiapan diri. Ibu tidak mau menunggu lama lagi.” Perkataan ibu Dorjen di alat yang ada di telingaku itu sukses membuatku membeku.

“Tiga hari?” tanyaku, bahkan mereka gak tanya pendapatku dulu.

“Ya, tiga hari. Kamu harus tetap di sini jika bersedia menikah dengan kami. Tapi jika tidak, kamu boleh pergi sebelum waktu tiga hari,” jawab Sonam.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!