 
                            Sepuluh tahun menikah bukan menjadi jaminan untuk terus bersama. gimana rasanya rumah tangga yang terlihat adem-adem saja harus berakhir karena sang istri tidak kunjung mempunyai anak lantas apakah Aisy sanggup di madu hanya untuk mendapatkan keturunan?? saksikan kisahnya hanya di Manga Toon
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumarhumah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Tubuh kecil itu masih dalam dekapan Aisy. Untuk pertama kalinya setelah berminggu-minggu membisu, Aisy memeluk sesuatu dengan perasaan yang belum ia mengerti. Hela napasnya terdengar pelan di bahu anak itu hangat, meski samar.
Wanita paruh baya yang tadi mendampingi si kecil menatap heran, tapi tidak segera memisahkan mereka.
“Zea, ayo, Nak. Jangan ganggu Tante,” ucapnya lembut.
Namun Zea justru menggeleng, kepalanya masih menempel di dada Aisy.
“Aku rindu Mama…” katanya lirih, hampir seperti gumaman yang menggema di antara detak jantung Aisy yang mulai berdetak sedikit lebih cepat.
Reyhan menelan ludah, bingung harus berbuat apa. Tapi saat ia hendak memisahkan mereka, Aisy menatapnya untuk pertama kalinya, menatap langsung. Tatapan itu bukan lagi kosong, tapi basah. Ada sesuatu di sana: kehilangan yang saling mengenali.
Bu Merry, nenek Zea, akhirnya tersenyum getir.
“Maaf, Pak, sepertinya cucu saya merasa nyaman. Sudah sebulan ibunya meninggal, dia belum berhenti mencari sosok yang mirip…”
Reyhan mengangguk pelan, tidak bisa berkata-kata. Ia tahu, pelukan itu bukan sekadar antara anak kecil dan wanita asing. Itu pelukan dua jiwa yang sama-sama kehilangan arah.
☘️☘️☘️☘️
Beberapa menit kemudian, mereka duduk di taman kecil di samping rumah sakit. Angin sore membawa aroma tanah yang baru disiram. Aisy duduk di bangku panjang bersama Zea di pangkuannya.
Zea terus bercerita dengan polos, tentang ibunya yang sakit, tentang ayahnya yang sekarang sering pergi, tentang boneka yang selalu ia tidurkan di sebelah bantal.
Aisy mendengarkan. Tak sepatah kata pun keluar, tapi jari-jarinya menyusuri rambut halus Zea, seolah tubuhnya sendiri merindukan kelembutan itu.
Reyhan memperhatikan dari kejauhan, dadanya terasa aneh. Ia bahagia melihat sedikit perubahan dalam diri Aisy, tapi juga perih karena ia tahu bukan dirinya yang mampu membuat Aisy bergerak hari ini.
Bi Merry mendekat, duduk di sebelah Reyhan.
“Suami yang sabar, ya?” tanyanya lembut.
Reyhan tersenyum kaku. “Berusaha, Bu.”
“Kadang Tuhan menyembuhkan seseorang lewat sosok yang tak kita duga,” lanjut Bi Merry menatap ke arah cucunya.
“Cucu saya kehilangan ibunya. Tapi mungkin… hari ini dia menemukan kasih lain yang mirip.”
Reyhan menatap Aisy wanita itu masih diam, tapi kini wajahnya terlihat hidup, walau sedikit. Jemari Aisy menggenggam kecil tangan Zea. Seolah ada ikatan yang baru saja terbentuk di sana.
"Mama ikut aku yuk ke taman rumah sakit ini," ajak anak itu.
Aisy hanya terdiam, namun langkah kecilnya mengikuti anak itu masih didampingi oleh Reyhan. Dan sesampainya di taman anak itu mengajak Aisy duduk di kursi panjang.
Masih belum ada jawaban, namun gadis kecil itu bukannya merasa takut ia malah semakin nempel dan memeluk tubuh Aisy dengan erat.
Mama jangan pergi lagi ya, aku takut, aku pingin sama Mama terus," ucapnya sambil mendongakkan wajah ke arah Aisy.
Anak kecil itu bingung melihat Aisy yang tanpa ekspresi, bahkan sedari tadi mulutnya terkatuk seperti ketempelan lem. "Nek bilang sama Mama jangan diam terus," desak cucunya itu.
Merry hanya bisa menghela nafas, karena ia tidak tahu bagaimana kondisi Aisy yang sebenarnya. "Sayang, jangan begitu, mungkin Tante capek," ujar Merry dengan lembut.
"Oh Tante capek ya, sama dong," sahut bocah itu lalu mulai menempelkan kepalanya di pangkuan Aisy.
Waktu tanpa terasa berjalan. Menjelang sore Aisy menatap Zea yang mulai tertidur di pangkuannya. Untuk pertama kalinya, bibirnya bergerak sedikit. Suara yang nyaris tak terdengar keluar perlahan.
“Namanya… siapa?” bisiknya pelan.
Reyhan hampir tak percaya mendengar suara itu. Ia menoleh cepat, menatap wajah Aisy dengan mata berkaca-kaca.
“Namanya Zea,” jawab Bu Merry. “Zea Alenka.”
Aisy menatap anak kecil itu lama.
“Zea…” ucapnya pelan, mengulang seperti menghafal sesuatu yang penting.
Reyhan nyaris menangis. Itu adalah kata pertama yang keluar dari mulut istrinya setelah berminggu-minggu diam membeku.
Dalam diam, ia tahu di antara kesedihan dan luka yang menumpuk, Tuhan baru saja memberi Aisy secercah alasan kecil untuk hidup.
"Baiklah Nak, kalau gitu makasih banyak ya sudah menyempatkan waktu untuk cucuku," ucap Merry, lalu ia mulai menggendong tubuh Zea dari pangkuan Aisy.
Sebenarnya di dalam hati Merry merasa penasaran tentang diamnya Aisy, namun wanita paruh baya itu memilih diam karena merasa bukan ranahnya.
☘️☘️☘️☘️☘️
Malam itu, di rumah, Aisy tidak langsung duduk di kursi jendela seperti biasa. Ia hanya menatap ranjang, lalu menatap Reyhan yang sedang melipat mukena.
“Besok…” suaranya masih serak, nyaris berbisik.
“Boleh aku ketemu Zea lagi?”
Reyhan mematung. Lalu perlahan tersenyum, mengangguk tanpa suara, menahan tangis yang hampir pecah.
Ia tahu, langkah kecil itu meski rapuh adalah awal dari perjalanan panjang Aisy menuju sembuh.
Dan dalam hati, ia berjanji tidak akan berhenti menjaga langkah itu, meski hatinya sendiri masih diselimuti dosa dan kebingungan yang belum terselesaikan.
☘️☘️☘️☘️
Malam semakin larut, di rumah ini terasa lebih sunyi dari biasanya. Aisy sudah tertidur di ranjang, tubuhnya tampak tenang dengan selimut yang diselimuti aroma lembut minyak kayu putih. Reyhan duduk di kursi dekat jendela, menatap ponselnya yang bergetar untuk kesekian kalinya.
Arsinta. Nama itu berulang kali muncul di layar, disertai nada dering yang kini terdengar seperti beban berat di dadanya.
Reyhan menutup wajah dengan telapak tangan. Napasnya berat, pikirannya kalut.
Ia tahu, jika diangkat maka akan ada pertengkaran baru. Tapi jika tidak Arsinta tidak akan berhenti menelepon.
Dan malam ini, ia sudah terlalu lelah.
Ponsel kembali bergetar. Kali ini disertai pesan masuk.
“Mas, kamu di mana? Kenapa dari tadi gak jawab? Aku tahu kamu di rumah istrimu!”
“Aku istri sah kamu juga, Mas! Kenapa aku harus selalu menunggu giliran?”
Reyhan menatap layar itu lama, dadanya bergetar. Ia tahu benar, apa pun yang ia jawab akan menambah api. Tapi diam juga tak menolong.
Aisy di ranjang mulai menggeliat kecil, mungkin karena mendengar suara ponsel yang bergetar terus. Reyhan buru-buru mematikan nada dering, lalu melangkah ke balkon.
Angin malam menyapu wajahnya. Ia menatap langit kelam, berusaha menenangkan napas.
“Kenapa harus serumit ini, Tuhan…” gumamnya lirih.
Akhirnya, ia menekan tombol hijau.
Suara Arsinta langsung terdengar di seberang, tajam dan bergetar antara marah dan cemburu.
“Mas, kamu sengaja kan? Kamu sengaja ngilang setiap kali aku butuh!”
“Aku tuh istri kamu juga, Reyhan! Aku capek harus bersabar terus, harus pura-pura gak peduli padahal aku tahu kamu di rumah perempuan itu!”
Reyhan memejamkan mata. Ia menahan diri agar tidak membentak, tapi suara Arsinta semakin meninggi.
“Aku hamil, Mas! Dan kamu bahkan gak ada waktu sedikit pun buat aku?!”
Deg.
Tubuh Reyhan membeku. Ponselnya nyaris terlepas dari tangan.
Hening menyelimuti malam itu, hanya desis angin yang terdengar.
“Apa?” suaranya nyaris berbisik.
“Kamu dengar kan?! Aku hamil, Mas… aku pikir kamu akan senang, tapi kamu malah diam begini?”
Reyhan menunduk, menahan napas panjang. Ia tidak tahu harus merasa apa senang, takut, atau menyesal. Sementara itu, di balik pintu kamar, Aisy terbangun perlahan. Ia mendengar suara suaminya samar dari balkon, suara yang penuh tekanan dan kebingungan.
Aisy tidak paham percakapannya, tapi ada perasaan asing yang tiba-tiba mencengkeram dadanya. Ia kembali menatap ke arah jendela tempat Reyhan berdiri, siluetnya tampak buram diterpa lampu malam.
Sementara di luar sana, Reyhan menutup telepon tanpa berkata banyak.
Kedua tangannya bergetar. Ia memandang ke arah kamar, lalu menatap langit lagi dengan wajah penuh sesal.
“Apa yang sudah aku lakukan…” bisiknya.
Air matanya menetes tanpa bisa ditahan.
Ia baru saja menemukan secercah harapan dalam diri Aisy tapi pada saat yang sama, kabar dari Arsinta seperti tali yang menariknya kembali ke jurang.
Di kamar, Aisy masih duduk di tepi ranjang, menatap punggung Reyhan yang membisu di balkon. Dan entah kenapa, dalam diamnya yang panjang, ada sesuatu dalam diri Aisy yang perlahan-lahan mulai merasa kehilangan lagi.
Bersambung ....
 
                     
                     
                    