sebuah cerita sederhana seorang melati wanita sebatang kara yang memilih menjadi janda ketimbang mempertahankan rumah tangga.
jangan lupa like dan komentar
salam autor
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
JM 8
Tubuh Arga gemetar, dadanya terasa sesak. Ia memandangi Melati yang belum juga sadarkan diri, wajahnya masih pucat pasi. Arga melirik ponselnya, pikirannya diliputi kebimbangan: merawat istrinya atau mengikuti perintah ibunya.
Seorang perawat masuk ke ruang perawatan sambil membawa catatan dan stetoskop. Ia memeriksa kondisi Melati dengan teliti, tangannya lincah mencatat perkembangan di papan catatan. Setelah selesai melakukan pemeriksaan, perawat itu berbalik hendak kembali ke ruang perawat.
“Mbak, bisa tolong saya, tidak, Mbak?” Arga menghentikan langkah perawat.
Perawat membalikkan badan, menatap Arga dengan kening sedikit berkerut.
“Ada apa, Pak?” tanyanya sambil tetap memegang papan catatan.
Arga tampak ragu, bibirnya bergerak namun kata-kata tak kunjung keluar. Ia mengusap tengkuknya sendiri.
“Maaf, Pak, kalau tidak ada keperluan lagi, saya mau kembali ke ruang perawat.”
“Ibu saya sakit parah, saya harus mengurus ibu saya, sementara istri saya seperti ini. Apakah Mbak bisa carikan orang untuk mengurus istri saya, Mbak?” ucap Arga akhirnya, meski hatinya dihantam rasa bersalah. Ia tahu ibunya sebenarnya tidak sakit parah, hanya kesal karena ia berniat menginap di rumah sakit menemani Melati.
“Kondisi pasien belum sepenuhnya aman, Pak. Ibu Bapak memang tidak ada anak lagi?” tanya perawat.
“Ada, tapi semuanya sedang sakit,” jawab Arga, kali ini berbohong lagi.
Perawat tampak menunjukkan raut simpati, bahunya sedikit merosot.
“Apa ada saudara istri Bapak?”
“Istri saya anak yatim piatu, dia hanya sebatang kara,” ucap Arga jujur kali ini, nadanya lirih.
“Baiklah, kalau begitu tolong sediakan baju ganti pasien, dan nanti sediakan upah, Pak. Saya akan carikan kader rumah sakit yang biasa mengurus pasien,” jawab perawat tenang.
“Baiklah, kalau begitu, nanti pagi sebelum saya berangkat kerja, baju-baju istri saya bawakan, Mbak,” sahut Arga.
Perawat tampak mengernyitkan dahi.
“Sebaiknya Bapak minta cuti. Kalau seluruh keluarga Bapak sakit, kerja juga nggak akan konsentrasi.”
“Itulah dia, Mbak. Saya hanya buruh biasa, saya tidak bisa izin begitu saja.”
Perawat kembali mengernyit, matanya menajam.
“Hebat banget perusahaan Bapak. Buruh biasa tapi asuransinya kelas khusus, Pak. Biasanya yang mendapatkan fasilitas seperti ini para top manajer atau direktur.”
Arga terdiam, perasaannya tak menentu. Benar kata orang, kebohongan akan ditutupi oleh kebohongan lain.
“Ya, perusahaan saya memang memberikan fasilitas seperti itu kepada karyawan,” ucap Arga cepat, mencoba menutupinya. “Jadi, Mbak bisa kan carikan saya orang yang bisa menunggu istri saya?”
“Bisa. Cuma saya minta uangnya duluan, Pak. Soalnya saya tidak punya uang cadangan.”
Arga segera merogoh dompetnya, mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna merah, lalu menyerahkannya dengan tangan bergetar.
“Ini dulu ya, Mbak,” ucapnya.
“Oke, Pak,” jawab perawat setelah menerima uang itu. “Ponsel Bapak tolong terus aktif. Kondisi pasien belum sepenuhnya aman. Kalau ada telepon dari saya, harus langsung diangkat.”
Mereka kemudian bertukar nomor telepon. Nama perawat itu Rini.
Rini meninggalkan ruang perawatan.
Arga membalikkan badan, melangkah pelan menuju ranjang. Tatapannya jatuh pada wajah pucat istrinya. Ia duduk di tepi ranjang, tangan kanannya perlahan menyentuh dahi Melati.
“Panasnya sudah turun,” gumamnya lega.
“Mel, maafkan aku… aku nggak bisa menemani kamu.” Suaranya serak.
Arga bangkit, menarik napas panjang, lalu melangkah masuk ke kamar mandi yang tersedia di ruangan perawatan ibu.
Arga membasuh mukanya, rasa bersalah kembali menyeruak. “Aku nggak punya pilihan, Melati. Dia ibuku, orang yang sudah melahirkanku dan merawatku. Sedangkan kamu hanyalah wanita yang aku nikahi. Kamu ketemu aku saat aku sudah bisa mencari nafkah, sedangkan ibuku membesarkanku dari kecil. Jadi aku harus memilih Ibu,” ucap Arga dalam hati, seolah mencari pembenaran dari apa yang ia lakukan.
Arga keluar dari kamar mandi, langkahnya sedikit goyah. Pandangannya jatuh pada wajah Melati. Sekilas ada sedikit perasaan bersalah yang menghantam dadanya, namun cepat-cepat ia tepis. “Aku sudah melakukan kewajibanku sebagai suami—membawa kamu ke rumah sakit, memberi kamu perawatan VIP, dan membayar orang untuk merawat kamu,” kembali Arga mensugesti dirinya bahwa dirinya memang benar.
Arga melirik jam dinding. Jarum menunjukkan pukul dua belas malam. Ia meraih ponsel dari saku celananya, layar menyala memperlihatkan deretan panggilan tak terjawab—semuanya dari ibunya. Dengan jari gemetar, ia membuka sebuah pesan.
“Kalau sampai pagi tidak ada di rumah, jangan pernah mengaku lagi kamu anakku,” isi pesan dari Ibu Mega.
Arga terdiam, wajahnya menegang. Nafasnya tertahan sesaat sebelum akhirnya ia memasukkan kembali ponsel ke saku celana. Langkahnya perlahan meninggalkan ranjang perawatan Melati, setiap derap terasa berat.
Ia menoleh sekilas, melihat tubuh istrinya yang lemah terbaring, lalu buru-buru memalingkan wajah. Suara tarikan napasnya terdengar berat.
Arga keluar dari kamar perawatan dengan cepat. Hari ini benar-benar membuatnya lelah: bekerja sejak pagi, lalu pulang disambut keluhan ibunya tentang Melati, dan ketika hendak menegur, istrinya justru pingsan.
Ia menghembuskan napas panjang, pundaknya naik turun. Tanpa menoleh lagi, langkahnya dipercepat. Ia ingin segera sampai di rumah, seolah dengan begitu beban di dadanya akan berkurang.
Seorang perawat memasuki kamar Melati, kembali mengecek kondisi tubuhnya. Tangannya lincah membuka catatan dan memeriksa selang infus.
Tangan Melati bergerak pelan, jari-jarinya gemetar, lalu perlahan kelopak matanya terbuka.
“Mas… aku haus,” itu ucapan pertama Melati setelah sadar.
Perawat segera menunduk, memeriksa kondisi Melati dengan teliti. Ia merasa lega karena pasiennya sudah mulai stabil. Dengan hati-hati, ia menuangkan air ke dalam gelas lalu memberikan minum pada Melati menggunakan sedotan.
Melati tampak menyedot air itu, bibirnya kering namun tetap berusaha.
“Ini… di mana?” tanyanya pelan.
“Ini di rumah sakit,” jawab perawat lembut.
“Bisa naikkan ranjangnya, Mbak?” pinta Melati.
Perawat menekan tombol pada sisi ranjang, perlahan bagian sandaran itu terangkat. Kini Melati bisa duduk sambil bersandar.
“Siapa yang antar saya ke rumah sakit?” tanya Melati dengan suara lemah.
“Suami Anda,” jawab perawat singkat.
Melati merasa lega, dadanya hangat. Ternyata Arga masih perhatian padanya. Pandangannya berkeliling, menyadari ruangan yang ditempatinya adalah ruangan VIP. Hatinya berdesir, ia merasa seolah diistimewakan, seperti seorang putri dalam cerita novel yang sering ia baca.
“Sekarang di mana suami saya? Apa sedang ke musala untuk mendoakan saya?” ucap Melati sambil tersenyum kecil, membayangkan adegan tokoh pria yang berdoa penuh cinta di novel kesayangannya.
Namun perawat menatapnya dengan hati-hati. “Suami Anda satu jam yang lalu pulang, katanya ibu dan seluruh keluarganya sakit.”
Kebahagiaan Melati hanya berlangsung sebentar. Wajahnya meredup.
“Oh…” hanya itu kata yang keluar dari bibirnya.
Ia menoleh ke arah jam dinding, jarum menunjukkan tengah malam.
“Mbak… bisa aku pinjamkan mukena?” ucap Melati lirih.
“Oh tentu… tapi Mbak tayamum dulu, ya. Kata dokter, Mbak belum boleh kena air,” jawab perawat lembut.
Melati mengangguk pelan, menerima dengan ikhlas.
Perawat melangkah ke lemari, membuka pintu kayu berwarna putih, lalu mengambil sebuah mukena yang terlipat rapi.
“Di sini tersedia tiga mukena. Apa Mbak perlu Al-Qur’an atau tasbih?” tanyanya sambil menoleh.
Melati tersenyum tipis. “Boleh… saya minta dua-duanya.”
“Tentu saja,” ucap perawat sambil tersenyum hangat, lalu menyerahkan mukena, Al-Qur’an, dan tasbih ke pangkuan Melati.