NovelToon NovelToon
Aku Yang Kau Nikahi Tapi Dia Yang Kau Cintai

Aku Yang Kau Nikahi Tapi Dia Yang Kau Cintai

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:8.7k
Nilai: 5
Nama Author: riena

“Pernikahan kita cuma sandiwara. Di depan keluarga mesra, di belakang orang asing. Deal?”
“Deal!”

Arman sudah punya kekasih, Widya ogah ribet. Tapi siapa sangka, hidup serumah bikin aturan mereka berantakan. Dari rebutan kamar mandi sampai saling sindir tiap hari, pura-pura suami istri malah bikin baper sungguhan.

Kalau awalnya cuma perjanjian konyol, kenapa hati ikut-ikutan serius?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon riena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab. 8 . Merasa bersalah

Pagi Hari

Sinar matahari menembus tirai tipis, mengenai wajah Arman yang masih terlelap. Ia meringis kecil, badan terasa pegal luar biasa. Begitu membuka mata, ia langsung sadar sesuatu.

Kepalanya terhimpit di antara guling dan… tangan Widya yang menjulur seenaknya. Sementara kakinya sudah separuh tergencet di bawah selimut karena Widya tidur miring menindih.

“Ya ampun, ini bini orang atau mesin steamroller sih,” gumam Arman dengan suara serak, berusaha melepaskan diri pelan-pelan.

Begitu ia berhasil menggeser, Widya justru bergumam dalam tidur, “Hmmm… jangan ganggu, aku masih ngantuk…” lalu menarik selimut lebih kencang, tanpa sadar malah menendang Arman lagi.

Buk!

“Widya!” Arman setengah berbisik, setengah mendesis. Ia terdorong jatuh ke sisi kasur, hampir terguling ke lantai.

Widya akhirnya terbangun karena suara berisik itu. Ia mengucek mata, rambutnya berantakan, wajah polos. “Hah? Udah pagi? Kok ribut banget, sih.”

Arman menunjuk dirinya sendiri dengan ekspresi tak berdaya. “Coba kamu lihat, aku korban keganasan kamu semalam. Badan pegal semua. Tidur bareng kamu tuh kayak ikut lomba bela diri, tau nggak?”

Widya malah nyengir lebar. “Ya salah kamu sendiri tidur di sebelah aku. Kan kamu sendiri yang mutusin nggak jadi beli kasur lipat.”

“Bagus, ya. Nyuruh suami tidur kayak anak kos.”

“Ya udah, terima aja kalau sering kena tendang, namanya tidur, mana aku sadar.” Widya menjawab santai sambil berdiri, meregangkan tubuh. “Udah, ayo sarapan. Aku lapar.”

Arman menghela napas panjang, wajahnya sebal tapi pasrah. “Tuhan, ini ujian sabar atau latihan jadi stuntman.”

Widya sudah jalan duluan ke dapur dengan langkah ringan, meninggalkan Arman yang masih bengong di sisi ranjang dengan rambut acak-acakan.

Widya sudah duluan di dapur. Bau gosong samar memenuhi udara. Arman yang baru selesai mencuci muka muncul dengan ekspresi curiga.

“Wid, kamu masak apa? Kok baunya kayak ban terbakar?”

Widya menoleh dengan wajah datar. “Telur dadar.”

Arman mendekat, melihat wajan berisi telur yang gosong di sisi kiri, tapi masih setengah cair di sisi kanan. “Ini telur apa peta dunia? Ada daratan, ada lautan.”

Widya menjawab enteng sambil membalik telur asal-asalan. “Namanya juga seni. Yang penting bisa dimakan.”

Arman sudah siap komentar lebih panjang, tapi perutnya keburu keroncongan. Ia buru-buru duduk di meja makan. “Ya udah, kasih ke aku separuh, jangan kamu monopoli semua kegagalan ini.”

“Eh, justru bagian gosong aku kasih ke kamu. Katanya laki-laki itu harus kuat.” Widya meletakkan piring di depan Arman dengan puas.

Arman menatap isi piring, lalu menatap Widya dengan wajah tidak percaya. “Terima kasih, istriku. Aku rasa tubuhku siap jadi eksperimen darurat.”

Mereka mulai sarapan dengan suasana ribut kecil….rebutan roti, Arman protes karena mentega habis, Widya ngeles kalau itu giliran suaminya yang belanja.

Suasana masih chaos sampai tiba-tiba ponsel Arman berdering di meja. Nama di layar membuat senyum Arman lenyap: Priya.

Arman buru-buru berdiri dan mengangkat telepon, menjauh beberapa langkah.

“Kenapa kamu telepon pagi-pagi?” suara Arman terdengar ditekan, agak kesal.

Suara Priya di ujung sana terdengar manja tapi juga menuntut. “Aku nunggu di ujung jalan. Yuk sarapan bareng, aku kangen. Kalau kamu nggak datang sekarang, aku bakal bikin datang ke rumah kamu.” ancam Priya.

Arman menutup mata sejenak, jelas dilema. Ia melirik Widya yang sedang duduk santai, mengunyah roti tanpa komentar, seolah tak peduli.

“…Oke, tunggu sebentar.” Arman akhirnya menyerah. Ia buru-buru berkemas, mengambil jaket dan kunci motor.

Widya hanya melirik sekilas, lalu kembali menunduk menaruh selai di roti. “Hati-hati, jangan sampai ada yang lihat,” ucap Widya datar, tanpa intonasi marah.

Arman terdiam sejenak, menatap Widya yang tetap kalem. Tidak ada sindiran pedas, tidak ada omelan. Justru itu yang membuat dadanya terasa lebih berat.

Beberapa menit kemudian, pintu rumah menutup.

Widya sendirian di meja makan, menatap telur gosong setengah matang di piringnya. Ia mendesah pelan. “Kenapa jadi aneh, ya…” gumamnya, sebelum kembali mengunyah, kali ini tanpa selera.

*

*

“Man!” Priya langsung duduk di boncengan motor Arman tanpa basa-basi.

Arman ingin melarang, tapi ia malas berdebat di tepi jalan, yang malah bisa menarik perhatian orang banyak.

Tanpa banyak bicara, Arman melajukan motornya, lalu berhenti di sebuah tempat sarapan yang tidak jauh dari tempat Priya bekerja.

“Akhirnya kita bisa sarapan bareng lagi. Aku kangen banget.” ucap Priya sambil menggeser kursi.

Arman menatapnya lekat, ekspresinya kaku. “Priya… kita nggak bisa begini lagi. Kita nggak bisa sesuka hati ketemu seperti dulu.”

Priya mengerutkan kening. “Kenapa? Kamu takut sama cewek itu? Widya? Dia kan cuma istri perjodohan, bukan pilihan kamu.”

Arman menghela napas dalam-dalam. “Masalahnya bukan cuma Widya. Aku sudah menikah. Mau alasan apa pun, orang-orang lihatnya aku suami orang. Banyak mata dan telinga, Priya. Kalau sampai keluarga tahu….habis aku.”

Priya menyandarkan dagu di telapak tangan, nada suaranya merajuk. “Jadi, kamu mau terus pura-pura? Di depan keluarga main drama, di belakang ninggalin aku?”

Arman menahan emosi, nadanya tegas. “Aku masih sayang sama kamu. Tapi kita nggak bisa sembarangan. Aku nggak mau bikin Widya kena imbas, apalagi kalau kakekku sampai tahu. Ancamannya bukan main-main.”

Priya mendengus. “Jadi aku harus nunggu lagi? Sampai kapan? Kamu pikir aku betah jadi bayangan terus?”

“Priya…” Arman menatap matanya lekat, suaranya lebih pelan. “Kalau kamu benar-benar percaya sama aku, kasih aku waktu. Jangan paksa aku ketemu di rumah atau di tempat terbuka. Kita harus hati-hati.”

Priya cemberut, wajahnya kesal bercampur kecewa. “Waktu, waktu, waktu. Itu aja yang kamu bilang. Kamu yakin, Man, kamu masih cinta sama aku?”

Arman terdiam beberapa detik sebelum menjawab lirih, “Aku yakin. Tapi sekarang, situasinya beda.”

Percakapan mereka menggantung. Priya membolak-balikkan buku menu dengan kasar, sementara Arman termenung, tatapannya kosong.

*

*

Widya selesai mencuci piring. Ia menaruh tangan di pinggang, menatap ruang makan yang sudah rapi. Tapi hatinya justru terasa kosong.

Ia duduk di kursi, menatap sisa roti di piring. “Kenapa harus kepikiran, sih…” gumamnya sambil mengetuk-ngetukkan jari ke meja.

Suara notifikasi ponselnya berbunyi. Grup keluarga ramai dengan foto-foto: ada kakek Arman yang baru saja kirim pesan singkat, [Bagaimana kabar kalian berdua? Jangan lupa sering-sering makan bersama.]

Widya tersenyum kecut. “Kalau beliau lihat kenyataannya, bisa langsung pingsan kali.”

Widya berdiri, melangkah ke ruang tamu. Televisi menyala, tapi pikirannya melayang. Tanpa sadar, ia menoleh ke pintu yang baru saja ditutup Arman tadi.

Ada perasaan aneh yang nggak bisa dijelaskan. Bukan cemburu, bukan juga marah. Lebih seperti… kosong.

“Katanya nggak boleh campuri urusan pribadi masing-masing, tapi kenapa jadi kepikiran juga, ya?” ia bergumam pada diri sendiri.

Widya lalu merebahkan diri di sofa, menutup wajah dengan bantal. “Duh, jangan-jangan aku yang kebanyakan drama.”

Namun, bantal itu tidak bisa menahan denyut aneh di dadanya.

*

*

Sore hari, pintu rumah terbuka. Arman masuk dengan langkah pelan, melepas jaket, dan langsung menghela napas panjang. Dari ruang tamu terdengar suara televisi.

Widya duduk di sofa, rambut diikat seadanya, kaus longgar, dan bantal dipangku. Matanya fokus ke layar TV, meski jelas sekali ia tidak benar-benar memperhatikan acara.

“Udah pulang?” tanyanya datar, tanpa menoleh.

Arman terdiam sejenak sebelum menjawab, “Iya.” jawab Arman sambil menggantung jaket, lalu ikut duduk di ujung sofa.

Hening beberapa detik. Hanya suara sinetron dari televisi.

Widya akhirnya meraih remote, menurunkan volumenya. “Udah makan?” tanyanya lagi, nada santai, seolah percakapan biasa antara suami istri sungguhan.

“Belum,” jawab Arman cepat, lalu menambahkan, “Eh… maksudnya, cuma ngemil tadi.”

Widya melirik sekilas, tersenyum tipis. “Oh, pantesan wajahmu kayak orang ngantuk kenyang tapi nggak puas.”

Arman tersedak kecil. “Apaan sih….” Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, jelas salah tingkah.

Widya berdiri. “Aku masak mi instan aja, gampang.”

Arman refleks menoleh. “Nggak usah repot, Wid.”

Widya balik badan, mengangkat bahu. “Santai aja. Kan kita harus jaga citra. Kalau kakekmu tiba-tiba datang, masa lihat cucunya kelaparan.” Ucap Widya ringan, tapi entah kenapa menusuk telinga Arman.

Beberapa menit kemudian, suara panci dan aroma bumbu mi instan memenuhi dapur. Arman duduk menatap ke arah pintu dapur, hatinya campur aduk.

Widya kembali dengan dua mangkuk mi, asap mengepul. Ia menaruhnya di meja, lalu duduk santai sambil menyeruput. “Kalau kamu mau tambah, ambil sendiri di dapur. Aku nggak melayani refill.”

Arman terkekeh hambar, mengambil sendok. “Ya ampun, pelayanan satu bintang banget.”

“Ya kan kita bukan pasangan hotel berbintang.” Widya menimpali cepat.

Keduanya makan dalam diam, hanya sesekali terdengar sendok beradu mangkuk. Dari luar, tampak seperti pasangan muda yang sederhana dan akrab. Padahal, di dalam kepala masing-masing, ada ribuan kata yang tidak terucap.

Arman menatap Widya sekilas. Ia terlihat santai, bahkan bercanda, tapi entah kenapa hati Arman terasa digelayuti rasa bersalah.

---

1
Enisensi Klara
Udah makin ada kemajuan nih mereka tinggal unnoxingan 🤣🤣
Enisensi Klara
Makin gencar nih Arman 🤣🤣🤣🤣
Enisensi Klara
Beugh ..Arman modus ya bilang mo istirahat dirumah bareng Widya ..padahal emang mau dekat2 Widya 🤣🤣
Enisensi Klara
Pegang aja tuh tangan Widya ga usah ragu dan malu lah Arman 🤣🤣
Enisensi Klara
Beugh ..Arman beliin Widya gelang biar Widya gampang di cari pas dikeramaian padahal modus aja ,biar bisa belikan Widya 🤣🤣jgn cuma gelang lucu beli juga gelang emas dong 🤣🤣
Enisensi Klara
Cieeh ..Arman mulai gombalin Widya hihihi 🤣🤣🤣
Enisensi Klara
Cieee...udah mulai nih saling kasih minuman ke pasangan pake sendok bekas pakai 🤗🤗🤗
Enisensi Klara
Arman gandeng dong tangan Widya 🤣
Enisensi Klara
Takut ada copet Widya jadi pegang erat tasnya 😇😇
Enisensi Klara
Yeaay 🥳🎉🎉🥳 up lagi maaci kak Rie 🤗🤗🤗
emillia
priya....priya...dengan kamu memprovokasi begitu semakin arman muak sama kamu
Safitri Agus
hubungan mereka sudah maju beberapa langkah kedepan, semoga bisa saling menerima satu sama lainnya 😊
Yani Hendrayani
ceritanya ga pernah gagal luar biasa
Mam AzAz
terimakasih Up nya 😊
Mam AzAz
cieee cieee😄😄😄
Safitri Agus
Widya malu-malu nih ciee🤭
Safitri Agus
ya nda papa toh man sudah halal kok
Enisensi Klara
Cieeh ..Arman yg curi2 pandang ke Widya lewat kaca spion 😇😇😇
Enisensi Klara
Cieee ..yg gak bisa jauhan hihihi 🤣🤣🤣itu udah cinta namanya Arman 🤣🤣
Enisensi Klara
Karena kamu sebenarnya punya rasa yg sama kyk Arman Wid ,makanya ga bisa marah sama Arman 🤣🤣🤣
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!