Istana Nagari, begitulah orang-orang menyebutnya. Sebuah bangunan megah berdiri kokoh di atas perbukitan di desa Munding. Tempat tinggal seorang juragan muda yang kaya raya dan tampan rupawan. Terkenal kejam dan tidak berperasaan.
Nataprawira, juragan Nata begitu masyarakat setempat memanggilnya. Tokoh terhormat yang mereka jadikan sebagai pemimpin desa. Memiliki tiga orang istri cantik jelita yang selalu siap melayaninya.
Kabar yang beredar juragan hanya mencintai istri pertamanya yang lain hanyalah pajangan. Hanya istri pertama juragan yang memiliki anak.
Lalu, di panen ke seratus ladang padinya, juragan Nata menikahi seorang gadis belia. Wulan, seorang gadis yang dijadikan tebusan hutang oleh sang ayah. Memasuki istana sang juragan sebagai istri keempat, mengundang kebencian di dalam diri ketiga istri juragan.
Wulan tidak perlu bersaing untuk mendapatkan cinta sang juragan. Dia hanya ingin hidup damai di dalam istana itu.
Bagaimana Wulan akan menjalani kehidupan di istana itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisy hilyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
"Kenapa saya harus berlutut dan minta maaf sama kamu? Kamu bukan majikan saya!" tolak Misnah dengan mata melotot lebar.
"Saya memang bukan majikan kamu, tapi kamu sudah tidak sopan di tempat saya. Siapapun ... dia harus meminta maaf," balas Wulan seraya beranjak dari duduknya.
"Misnah, kamu sudah melampaui batas. Jika sampai juragan tahu, maka kamu tidak akan bisa menanggung akibatnya," timpal Bi Sumi menambahkan ketegangan.
Wanita tua itu tahu, Misnah tidak akan seberani itu jika tidak didukung oleh Ratih. Semua yang dia lakukan atas perintah darinya.
"Memang juragan bisa melakukan apa terhadap saya? Kalian lupa, saya pelayan pribadi nyai Ratih. Istri yang paling disayang oleh juragan. Semua orang tahu itu, justru kalian yang harusnya bersiap menerima hukuman!" ujar Misnah membalikkan keadaan.
Ck-ck-ck!
Wulan berdecak sembari menggelengkan kepala. Merasa kagum dengan kepercayaan diri seorang pelayan. Apalagi jika dia menjadi majikan, kesombongannya akan melebihi gunung yang tinggi menjulang.
"Sudah tidak bisa diselamatkan. Kesombongannya sudah mendarah daging. Sungguh sangat disayangkan, kepercayaan diri setinggi itu dimiliki oleh orang sombong seperti kamu. Orang seperti dirimu ini tidak akan mempan dengan nasihat kecuali merasakan sendiri akibat dari perbuatan yang kamu lakukan," tutur Wulan menatap remeh pelayan angkuh itu.
Misnah dibakar emosi, wajahnya menghitam dan jelek. Rahang mengeras, kedua tangan mengepal kuat. Sungguh, gadis kecil yang tidak mudah dilawan.
"Bukan urusanmu!" sengitnya disambut tawa oleh Wulan.
"Kalian semua mendengarnya, bukan? Dia menghina juragan sebagai orang yang selama ini memberinya makan. Merendahkan majikan, dan tidak menganggap juragan sama sekali. Kamu memang pantas dihukum!" lanjut Wulan disambut riuh rendah suara semua pelayan yang berkumpul di depan kamarnya.
"Bi Sumi! Jangan keterlaluan! Kita sama-sama pelayan di sini, kenapa saling menindas seperti ini?" bentak Misnah tidak terima.
Lastri dan Ningsih yang awalnya ingin membuat Wulan tunduk kepada mereka, mulai ragu setelah melihatnya tak mudah ditindas.
"Ada apa? Apa yang kalian ributkan pagi-pagi begini?" Kang Sumar datang tanpa diundang, setelahnya pastilah juragan akan muncul. Biasanya memang seperti itu.
Lastri dan Ningsih sedikit lega melihat kedatangan Kang Sumar. Pertolongan untuk mereka telah datang, tak perlu lagi merasa takut akan ancaman Wulan.
"Neng Wulan, apa yang terjadi?" tanya Kang Sumar menatap Wulan yang telah duduk kembali di kursinya.
Halaman telah sepi dari suara-suara, sepertinya para abdi yang berkumpul telah membubarkan diri. Juragan berdiri di dekat jendela, mengintip keadaan Wulan. Tanpa mereka sadari, Panji telah menghilang dari sana.
"Mereka menerobos masuk ke kamar tanpa izin. Saya hanya ingin mereka meminta maaf kepada saya, tapi mereka justru merendahkan peraturan di istana ini. Tidak menganggap juragan sebagai aturan tertinggi. Bahkan, mereka berani menantang juragan untuk memberikan hukuman kepada mereka. Tidakkah itu lancang, Kang Sumar?" cerocos Wulan mendahului Lastri yang membuka mulut hendak berbicara.
Kang Sumar menoleh pada mereka bertiga, menuntut penjelasan lewat tatapan matanya.
"Bagaimana kalian akan menjelaskan ini?" ujar Kang Sumar membuat kedua istri juragan nyaris limbung karena rasa takut.
"Kang Sumar, nanti dulu. Jangan marah! Sebenarnya saya ke sini atas perintah nyai Ratih supaya mereka tidak membuat keributan sehingga mengganggu ketenangan nyai Ratih ketika makan. Itu saja, selebihnya saya tidak berniat menyinggung siapapun, apalagi menyinggung juragan," ucap Misnah membela diri.
Kang Sumar tidak merubah pandangannya, tetap dingin pada mereka bertiga.
"Nyai Wulan adalah majikan kalian, sudah seharusnya kalian menghormatinya. Sekarang, minta maaf pada Nyai Wulan!" titah Kang Sumar membuat mereka tak bisa berkutik.
"Bukankah Kang Sumar terlalu memihak?" Misnah bersuara tetap saja merasa tak bersalah.
Tatapan matanya begitu tajam menghujam, seolah-olah dia orang yang kebal hukuman.
"Aku tidak tahu jika di istana Nagari ini ada abdi yang begitu sombong. Sampai-sampai tidak menghormati aturan yang ada. Pelayan ini mencerminkan tuannya!"
Deg!
giliran bs hidup enak ingin ikutan, ngapain dl kalian siksa