Aku Yang Kau Nikahi Tapi Dia Yang Kau Cintai
“Aku masih nggak percaya kalau akhirnya aku menikah denganmu, Wid,” gumam Arman lirih sambil menarik napas panjang. Jas pengantinnya masih melekat di badan, wajahnya kusut padahal baru saja resmi jadi pengantin pria.
Widya yang sedang sibuk melepas hiasan rambutnya menoleh sekilas. “Ya, aku juga nggak percaya, sih. Semua ini gara-gara perjanjian absurd kakek kita.” Widya mendengus kecil, lalu tersenyum miring. “Tapi ya sudahlah, nasi udah jadi bubur. Atau dalam kasus kita… cincin udah terlanjur di jari.” ucap Widya.
Arman mendekat, menatap Widya dengan tatapan serius. “Kita perlu bikin kesepakatan. Pernikahan ini hanya formalitas. Di depan keluarga, kita bersandiwara. Di belakang mereka… kita bukan siapa-siapa.”
Widya menaikkan alis. “Oke, terus aku bebas melakukan apa saja tanpa harus izin kamu kan, Mas?”
“Ya. Aku sudah punya Priya. Dia kekasihku. Kamu bebas juga kalau mau punya seseorang. Aku nggak peduli.” nada Arman tegas, nyaris dingin.
Widya tersenyum lebar, bukannya tersinggung. “Deal!” ucap Widya mantap, bahkan mengulurkan tangan untuk bersalaman.
Arman sempat terdiam melihat uluran tangan istrinya. Dengan enggan, ia menyambut. Namun detik berikutnya, Widya malah menepuk tangannya pelan dan terkekeh. “Santai, Mas Arman. Aku juga ogah ribet. Aku nggak punya niat ganggu hidup pribadi kamu. Lagian, aku juga punya daftar panjang lelaki idaman. Dan, sorry, kamu nggak masuk daftar.”
Arman terdiam. Entah kenapa, ucapan itu menusuk ego-nya.
“Bagus,” jawab Arman singkat, pura-pura acuh.
Widya lalu berdiri, meraih piyama lucu bergambar kelinci yang sudah disiapkannya. “Oke, Pak Suami Formalitas. Mulai malam ini kita sekamar, tapi jangan salah paham. Kasur ini luas, dan aku cuma butuh separuh.”
Arman menatap seprei putih dengan lipatan rapi, lalu melirik ke arah piyama kelinci itu. “Astaga… kakekku pasti nggak kebayang kalau cucu laki-lakinya yang gagah ini akhirnya tidur satu ranjang dengan cewek yang doyan piyama kelinci.”
Widya mendengus, lalu masuk ke kamar mandi sambil menutup pintu. “Lebih baik piyama kelinci daripada jas pengantin yang bikin sumpek. Lagian, siapa tahu suatu hari kamu jatuh cinta sama kelinci.”
Arman hanya bisa menatap pintu kamar mandi yang sudah tertutup rapat. Bibirnya terangkat tipis, meski buru-buru ia hapus sebelum Widya kembali.
Malam pertama mereka bukan malam penuh cinta… tapi malam dimulainya sebuah sandiwara konyol.
—---
Pagi pertama setelah pesta pernikahan. Rumah yang disiapkan sang kakek buat Arman mendadak penuh suara ayam jago, ditambah suara…
“Widya! Kamu pakai sampo apa sih? Wanginya nyengat banget sampai ke ruang tamu!” seru Arman sambil menahan hidung. Ia baru turun tangga dengan piyama garis-garis, rambut masih acak-acakan.
Widya, yang sedang duduk di sofa sambil mengeringkan rambut dengan handuk, langsung melotot. “Heh, Mas Arman! Jangan salahin sampoku. Hidung kamu aja yang sensitif. Lagian, kamu tuh ya, dari dulu tiap aku keramas, kamu juga komplain.”
Arman mendengus. “Makanya dari dulu aku heran, kenapa kamu betah banget keramas pakai shampo yang baunya tercium sampai radius seratus meter sih? Kayak nggak ada merek lain aja.”
Dulu tiap kali Widya basah rambut, lalu menjemur pakaian, Arman yang kebetulan sedang berada di teras atau di depan pintu dapur, pasti kecium aromanya. Masa dari dulu sampai sekarang nggak ganti-ganti merek, setia bener sama satu merek.
Widya menyeringai, sengaja mendekat. “Kenapa? Takut jatuh cinta sama wanginya?”
Arman nyaris tersedak udara. “Mimpi! Aku lebih pilih kena asap knalpot daripada kecanduan bau sampo kamu.”
“Baguslah,” Widya menepuk bahunya santai. “Soalnya kamu sudah kecanduan lihat aku dari dulu, kan? Tiap aku lewat depan rumah kamu, mata kamu ngikutin terus.”
Arman terdiam sejenak. Itu benar, sih. Waktu remaja, ia memang sering tidak sengaja memperhatikan Widya, apalagi kalau gadis kecil tetangganya itu ribut main badminton di halaman. Tapi jelas Arman tidak mau ngaku.
“Ngaco.” Arman melangkah ke dapur.
Beberapa menit kemudian, suara gaduh terdengar. Widya menyusul, menemukan Arman sedang berdiri bengong di depan kulkas terbuka.
“Kamu cari apa?” tanya Widya.
“Telur,” jawab Arman singkat.
Widya membuka lemari dapur, mengangkat kotak telur dengan santai. “Ini, kalau cari pakai mata, jangan pakai…..” Widya tidak meneruskan kalimatnya, ia hanya langsung berbalik meninggalkan dapur.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
Dede Agustin
Assalamualaikum
anak baru di Ntoon nih, ikut mampir 😁
2025-09-14
6
Mamah AzAz
Bab pertama yang menarik 😍
2025-09-14
2
Mariana Riana
ternyata ada yg baru juga d sini Mak rii..jangan ngegantung kyk yg si hitam manis ya Mak😂lanjut Mak rii..
semangatt💪🥰🥰
2025-09-14
4