Albar tak bisa terpisahkan dengan Icha. Karena baginya, gadis itu adalah sumber wifinya.
"Di zaman modern ini, nggak ada manusia yang bisa hidup tanpa wifi. Jadi begitulah hubungan kita!" Albar.
"Gila ya lo! Pergi sana!" Icha.
Icha berusaha keras menghindar Albar yang tak pernah menyerah mengejar cintanya. Bagaimana kelanjutan cerita mereka?
*Update setiap hari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Auraliv, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 - Cewek Bernama Reina
Hujan turun pelan saat lonceng sekolah berbunyi, menandakan jam pelajaran terakhir selesai. Siswa-siswi berhamburan keluar kelas, sebagian berlarian ke kantin, sebagian lainnya ke lapangan yang basah demi menunggu jemputan.
Icha tetap duduk di kelas, menatap jendela dengan pandangan kosong.
Sudah tiga hari sejak lomba musik itu. Tiga hari sejak dia melihat Albar berdiri di panggung, menyanyikan lagu yang entah kenapa masih terngiang-ngiang di kepalanya sampai sekarang.
Tiga hari juga sejak ia memanggil Albar di lorong… dan memilih tidak mengatakan apa-apa.
“Gue kenapa sih…?” gumam Icha, kesal sendiri.
Langkah kaki mendekat. Dinda muncul dengan payung di tangan.
“Lo belum pulang juga?”
Icha menggeleng. “Nunggu hujan reda.”
Dinda meliriknya tajam. “Atau nunggu seseorang?”
Icha memutar mata. “Gue beneran nunggu hujan.”
“Yakin bukan nunggu Albar?”
“Dinda…”
“Fine. Tapi kalo lo gak mau gerak sekarang, mending ikut gue ke aula. Ada ekstra musik, Albar jadi pelatih buat junior.”
Icha mengernyit. “Ngapain gue ke sana?”
“Biar lo lihat sendiri sesuatu yang baru,” jawab Dinda sambil senyum misterius.
Aula sekolah sudah sepi dari siswa umum, hanya beberapa anak dari kelas 10 yang sedang latihan vokal dan alat musik. Di ujung ruangan, Albar duduk bersila, memegang gitar, mengarahkan seorang gadis menyanyi sambil sesekali memainkan melodi.
Dan saat Icha melihat gadis itu, detak jantungnya tiba-tiba berubah.
Cewek berambut lurus sebahu, berkulit putih, dan suaranya lembut. Senyumnya mengembang setiap kali Albar memuji nyanyiannya. Tatapan matanya… terlalu jelas untuk diabaikan.
“Dia siapa?” bisik Icha ke Dinda.
“Reina. Anak kelas 10. Baru masuk ekskul musik minggu lalu.”
“Dan udah sedekat itu sama Albar?”
Dinda mengangkat bahu. “Cewek cantik, pintar nyanyi, dan suka nanya hal-hal teknis ke Albar. Gue rasa gak butuh waktu lama buat deket.”
Icha menatap ke arah mereka lagi. Reina tertawa saat Albar salah petik nada, lalu mendorong pelan pundaknya.
Dan Albar… tidak menghindar.
“Aku pergi dulu,” bisik Icha cepat.
“Cha—”
Tapi Icha sudah melangkah keluar aula.
Di lorong sekolah, langkah Icha semakin cepat. Entah kenapa, dadanya terasa sempit. Ia tidak tahu kenapa pemandangan tadi begitu mengusik. Bukankah seharusnya ia senang Albar berhenti mengganggunya?
Bukankah itu yang selama ini dia inginkan?
Tapi sekarang, melihat orang lain mengisi ruang yang dulu hanya diisi oleh gangguan-gangguan konyol Albar… rasanya menyakitkan.
“Dia gak punya hak buat bikin gue cemburu,” batin Icha.
Tapi perasaan itu tidak bisa ia tolak. Dan cemburu itu—sepelan apapun ia menyangkal—sudah tumbuh seperti benih yang tak sadar ditanam sejak lama.
Sementara itu, di aula, latihan sudah selesai.
Albar menyimpan gitarnya dan bersandar ke tembok. Reina duduk di sebelahnya, membuka botol minum dan menyodorkannya.
“Mau?”
Albar menggeleng sopan. “Gue bawa sendiri, kok.”
Reina tersenyum manis. “Lo baik banget sih, ngajarin gue dari awal.”
Albar mengangkat bahu. “Gue cuma bantu. Lo juga cepet belajar.”
“Hmm… makasih. Eh, Albar…”
Albar menoleh.
Reina menarik napas. “Kalau lo gak keberatan… kita bisa latihan bareng lagi, di luar jadwal ekskul?”
Albar sempat diam. Wajah Reina penuh harap.
Tapi sebelum menjawab, ia menoleh ke arah pintu… dan mengingat siluet yang sempat ia lihat tadi.
Seseorang berdiri sebentar di pintu. Rambutnya dikuncir, jaket abu-abu yang familiar.
Tapi orang itu pergi sebelum ia bisa memastikan.
Ia menunduk, lalu menjawab Reina dengan datar.
“Boleh.”
Malam itu, Icha tidak bisa tidur. Ia bolak-balik di kasur, menatap langit-langit sambil memainkan ujung selimut.
“Siapa sih dia? Kenapa gue peduli banget?”
Ia membuka ponsel, mengetik nama: Reina Fadila.
Akun Instagram-nya langsung muncul. Penuh foto estetik. Selfie di ruang musik. Foto buku catatan lirik.
Dan satu foto terbaru: tangannya dan gitar Albar. Caption-nya hanya emoji 🎶✨.
Icha membuang napas. “Lo gak cemburu, Cha. Lo cuma… kesel.”
Tapi hatinya membantah. Dan wajah Reina… mulai menempati ruang kecil dalam pikirannya yang penuh tanda tanya.