NovelToon NovelToon
Vendrell'S Canvas

Vendrell'S Canvas

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Obsesi / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Romansa / Fantasi Wanita
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: Reenie

Aku sering mendengar orang berkata bahwa tato hanya diatas kulit.

“Jangan bergerak.”

Suara Drevian Vendrell terdengar pelan, tapi tegas di atas kepalaku.

Jarumnya menyentuh kulitku, dingin dan tajam.
Ini pertama kalinya aku ditato, tapi aku lebih sibuk memikirkan jarak tubuhnya yang terlalu dekat.

Aku bisa mencium aroma tinta, alkohol, dan... entah kenapa, dia.
Hangat. Menyebalkan. Tapi bikin aku mau tetap di sini.

“Aku suka caramu diam.” katanya tiba-tiba.
Aku hampir tertawa, tapi kutahan.

Dia memang begitu. Dingin, sok datar, seolah dunia hanya tentang seni dan tatonya.
Tapi aku tahu, pelan-pelan, dia juga sedang mengukir aku lebih dari sekadar di kulit.

Dan bodohnya, aku membiarkan dia melakukannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reenie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Liora Sembuh

Setelah tiga hari melawan demam dan tubuh yang lemas, akhirnya Liora merasa dirinya kembali. Pada pagi hari, ia terbangun dengan keringat dingin di dahi, tapi tubuhnya terasa lebih ringan. Panas di tubuhnya telah turun, dan kepalanya tidak lagi terasa seperti dihantam palu. Ia membuka mata perlahan, menoleh ke tepi kasur.

Drevian tertidur pulas dikamar orang tuanya Liora. ​Selama tiga hari itu, Drevian tak beranjak sedikit pun. Ia adalah sosok pendiam yang bergerak dengan penuh ketelitian.

Liora ingat bagaimana Drevian membawakannya teh hangat, menyuapinya dengan sabar, dan dengan lembut mengompres dahinya saat demamnya memuncak. Ia tak banyak bicara, tapi setiap tindakannya adalah sebuah janji tak terucapkan. Liora tak pernah menyangka, seorang pria dengan aura sekeras Drevian bisa memiliki tangan selembut itu.

​Ia berusaha bangkit dari ranjang, merasakan kakinya yang masih lemas. Suara langkahnya membangunkan Drevian. Mata pria itu terbuka, langsung mencari Liora. Saat melihat Liora sudah berdiri, ia langsung bangkit menghampiri. Tangannya menyentuh dahi Liora.

"Udah mendingan," bisiknya, melegakan.

​"Aku udah sembuh, Drev," jawab Liora, suaranya masih sedikit serak.

"Makasih ya."

​Drevian hanya mengangguk, tapi sorot matanya menunjukkan kelegaan yang luar biasa. Livia, yang baru keluar dari kamarnya, menatap Drevian dengan senang.

"Wah, udah sembuh, Lio? Bagus deh. Aku kira kam bakal jadi patung di sini seminggu," canda Livia, lalu melirik Drevian.

"Makasih ya, Drev. Udah mau repot-repot."

​Drevian hanya mengangguk lagi. Livia tahu Drevian takkan banyak bicara. Ia pun menuju dapur untuk membuat sarapan. Liora mengikuti Livia, sementara Drevian duduk kembali di sofa, mengambil buku yang ia pinjam dari toko buku Liora. Ia tidak benar-benar membaca, hanya membolak-balik halamannya, matanya sesekali melirik ke arah Liora di dapur.

​Satu minggu. Liora tak menyangka Drevian akan tinggal selama itu. Setelah ia sembuh total di hari ketiga, Drevian tetap tak pergi. Ia tidak kembali ke studio, tidak pergi ke mana-mana. Ia hanya ada di sana, di ruang tamu, di kursi baca, di sudut toko buku, seolah memastikan Liora benar-benar pulih. Livia, yang blak-blakan, tak bisa menahan diri untuk tidak bertanya.

​"Drevian, kau ngapain di sini? Nggak ada kerjaan?" tanya Livia suatu sore, saat Drevian sedang duduk di kursi baca.

​Drevian menoleh, tatapannya dingin tapi tidak mengintimidasi. "Aku mau memastikan dia pulih," jawabnya singkat.

​"Liora udah pulih dari kemarin-kemarin. Kau nginep di sini udah empat hari, lho," balas Livia, tak habis pikir.

"Nggak ada pelanggan yang nyariin?"

​"Zeke udah handle semuanya," jawab Drevian lagi. Ia tak ingin berdebat. Ia hanya ingin berada di sana, di dekat Liora.

​Liora, yang mendengar percakapan itu, merasa jantungnya berdetak lebih kencang. Ia berjalan mendekati Drevian dan Livia.

"Udah deh, Liv. Biarin aja," katanya, menghentikan Livia.

Drevian menatap Liora, seolah berterima kasih. Liora membalas tatapannya dengan senyum tulus. Di saat itu, Liora menyadari bahwa ia tidak lagi melihat Drevian sebagai pria dingin dari studio tato. Ia melihat Drevian sebagai Drevian, pria yang merawatnya saat ia sakit, pria yang menemaninya saat ia kesepian.

​Malam itu, Liora memberanikan diri untuk bertanya. Ia duduk di hadapan Drevian, yang sedang asyik membolak-balik buku.

"Kenapa, Drev?" tanyanya. Drevian menoleh. "Kenapa kamu nungguin aku sampai seminggu? Kamu ngapain di sini?"

​Drevian menutup buku itu, meletakkannya di meja.

"Aku cuman mau memastikan kamu baik-baik aja," jawabnya, suaranya pelan.

​"Aku udah baik-baik aja dari tiga hari yang lalu," balas Liora, "Tapi kamu masih di sini. Kenapa?"

​Drevian terdiam sejenak. Ia menghela napas, lalu menatap Liora dengan tatapan yang Liora kenali. Tatapan yang penuh dengan cerita yang ingin ia bagikan.

"Karena aku enggak mau kau sendirian."

​Jawaban itu membuat Liora terdiam. Liora tahu, Drevian adalah seorang penyendiri. Ia tidak pernah ingin berada di keramaian. Tapi di sini, di rumah Liora, di antara rak-rak buku dan aroma teh, ia memilih untuk tidak sendirian. Ia memilih untuk bersama Liora.

​"Aku enggak sendirian, ada Livia," jawab Liora.

​Drevian menggeleng.

"Livia beda. Livia itu sahabat kamu. Aku... aku beda." Drevian menunduk, seolah menyesali ucapannya.

"Aku cuman pengen tahu kamu gimana. Pengen mastiin kamu bener-bener sembuh. Pengen mastiin kamu enggak kesepian."

​Liora merasakan matanya berarir. Ia tidak menyangka Drevian bisa begitu lembut. Di balik jaket kulit dan tatapan tajamnya, ada seorang pria yang peduli, yang takut kehilangan.

"Terima kasih, Drevian," bisik Liora. "Makasih banyak."

​Minggu itu, toko buku Liora buka, tapi Drevian tetap berada di sana. Ia tidak mengganggu, hanya duduk di kursi baca, terkadang membantu Liora membereskan buku yang berantakan. Para pelanggan yang datang menatap Drevian dengan heran, tapi Liora hanya tersenyum, seolah mengatakan, "Dia milikku." Hati Liora tak bisa memungkiri, ia mulai merasakan hal yang lebih dari sekadar ketertarikan. Ia mulai merasa jatuh cinta.

​Pagi hari berikutnya, Drevian bangun lebih dulu. Ia membuatkan Liora teh hangat, lalu duduk di hadapan Liora yang masih tertidur di ranjang. Ia menatap wajah Liora, yang terlihat begitu polos. Ia menghela napas, seolah ingin merekam setiap detail dari momen itu. Drevian tahu, ia tidak bisa tinggal selamanya. Ia punya pekerjaan, ia punya dunia yang menunggunya.

​Saat Liora bangun, Drevian sudah rapi. Jaket kulitnya sudah ia pakai, dan tatapannya kembali menjadi dingin.

"Aku balik ke studio," katanya, singkat.

​Liora mengangguk, hatinya terasa kosong.

"Hati-hati ya," jawabnya.

​Drevian berjalan ke pintu, lalu berhenti. Ia menoleh ke arah Liora. "Nanti malam, aku chat," ucapnya, lalu pergi.

​Setelah Drevian pergi, Liora hanya bisa terdiam, memegangi cangkir teh yang masih hangat. Hatinya terasa hampa. Ia menyadari, dalam waktu satu minggu itu, Drevian telah mengisi sebuah ruang kosong dalam hatinya. Ia tidak lagi merasa sendirian. Dan ia pun tidak sabar menunggu pesan Drevian nanti malam.

Drevian menyetir mobilnya kembali ke studio. Setelah sampai, Ia turun dari mobil dan langsung masuk. Zeke yang masih membereskan perlatan tato di ruangan itu.

"Bos. Sudah seminggu anda tidak pulang." ujar Zeke

"Iya. Aku ingin memastikan Liora sudah sembuh." ujarnya datar

"Bagaimana seminggu ini? Aman?" tanya Drevian

"Aman bos. Hanya minggu lalu Selena datang membuat onar, itu saja. Selebihnya para pelanggan normal saja bos."

"Ada lagi?"

"Ada bos. Saya mendengar dari pelanggan perempuan kita bahwa anda telah menjalin hubungan dengan Evianne Books itu. Saya pikir para wanita itu akan mencibir seperti Selena, ternyata tidak bos. Justru pelanggan wanita malah mendukung anda dengan Liora. Karena mereka tahu bagaimana sifat Selena yang sesungguhnya dan mereka bilang sebagai fans berat anda, mereka juga tidak sudi jika anda berpaling kepada Selena, bos." ucap Zeke panjang lebar.

Drevian menghela nafas lalu mengangguk. Mengecek semua karyawan laki-lakinya bekerja dengan baik.

"Bagus. Aku ingin istirahat, hendel studio ini."

"Baik bos, dimengerti."

Drevian lalu naik ke atas dan menuju kamarnya sekaligus ruang pribadi tatonya. Ia merebahkan tubuh dikasur dan menatap langit-langit. Masih memikirkan Liora waktu sakit.

Malamnya, Zeke mengetuk pintu kamar

"Permisi boss."

Zeke lalu masuk

"Bos, ini ada acara pameran tato di luar kota dua hari lagi. Bos mau datang?" ucap Zeke sambil memerikan brosur

"Menarik. Di Kota Carran ya?"

Drevian langsung mengecek tiket pesawat dan harganya murah. Cukup untuk dia pergi bersama Liora.

"Baik. Aku akan pergi bersama Liora. Tiket pesawatnya murah. Daftarkan studio kita." ujar Drevian

"Baik bos."

"Dan selama aku pergi, jaga studio ini lagi." ujar Drevian tegas

"Baik bos dimengerti." Zeke lalu pergi kembali ke ruang kerjanya dan segera mendaftarkan studio tato mereka untuk melihat pameran tato dikota Carran.

Drevian hampir lupa untuk memberi pesan pada Liora.

"Liora, ada pameran tato dua hari lagi di kota Carran. Kamu ikut ya, temani aku."

Tak lama, Liora membalas

"Oke aku ikut."

Livia melihat chatingan mereka dari belakang Liora yang sedang di sofa

"Astaga Liv... kamu buat aku terkejut" Liora hampir melompat.

"Mau berduaan ya sama Drevian? Temani aja dia sana. Kan kamu udah dijaganya selama sakit." ujar Livia meyakinkan.

Liora mengangguk setuju, memang seharusnya Ia membalas perbuatan Drevian untuk menemaninya diacara pameran tato itu.

1
Reiko
Menarik juga ceritanya. Beda dari yang lain
Leira
Livia suka cari gara-gara yahaha
Leira
Tatoo...🤯
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!