Maya Amelia, seorang mahasiswi hukum Universitas Bangsa Mulya, tak pernah menyangka kalau takdir akan mempertemukannya dengan Adrian Martadinata pengacara muda,tampan,dan terkenal di kalangan sosialita.
Awalnya, Maya hanya mengagumi sosok Adrian dari jauh. Namun, karena sebuah urusan keluarga yang rumit, Adrian terpaksa menikahi Maya gadis magang yang bahkan belum lulus kuliah, dan tak punya apa-apa selain mimpinya.
Setelah Menikah Adrian Tak bisa melupakan Cinta Pertamanya Lily Berliana seorang Gundik kelas atas yang melayani Politisi, CEO, Pejabat, Dokter, Hingga Orang-orang yang punya Kekuasaan Dan Uang. Lily Mendekati Adrian selain karena posisi dirinya juga mau terpandang, bahkan setelah tahu Adrian sudah memiliki istri bernama Maya, Maya yang masih muda berusaha jadi istri yang baik tapi selalu di pandang sebelah mata oleh Adrian. Bahkan Adrian Tak segan melakukan KDRT, Tapi Ibunya Maya yang lama meninggalkannya kembali Greta MARCELONEZ asal Filipina untuk melindungi Putrinya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Sabina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lily Berliana Ani-Ani Kelas Atas
Lily melangkah cepat meninggalkan Maya dan Tiara, stilettonya beradu nyaring dengan lantai marmer mal. Ia kembali menempelkan ponsel ke telinga, suaranya berubah lembut dan menggoda saat berbicara dalam bahasa Inggris.
"Sorry, baby... yeah, just two annoying college kids. They bumped into me. No, nothing serious. Just ruined my mood," katanya seraya menghela napas dramatis.
("Maaf, sayang... ya, cuma dua mahasiswa yang menyebalkan. Mereka menabrakku. Enggak, nggak ada yang serius. Cuma bikin suasana hatiku hancur,")
Suara pria di seberang terdengar samar, berat dan beraksen kuat—lelaki yang lebih tua, kemungkinan besar sponsor hidupnya dari Manila.
Lily tersenyum tipis, tapi senyuman itu tak sampai ke mata. "Yes, I’ll be at the apartment soon. Just a little delay. You know how messy Jakarta malls can be."
("Ya, aku akan segera ke apartemen. Cuma agak telat. Kamu tahu kan betapa berantakannya mal-mal di Jakarta.")
Begitu panggilan berakhir, ia mendengus kesal dan menatap langit sore yang mulai memerah.
“Dasar bocah mahasiswa idiot... kalo kagak rame udah gua telen tuh,” gumamnya sengit, penuh dendam.
Tangannya merapikan rambut panjangnya yang sempat berantakan karena insiden barusan, lalu ia mempercepat langkah menuju apartemennya yang hanya berjarak dua blok dari mal.
Langkahnya tegap dan terburu-buru—bukan hanya karena ingin segera sampai, tapi juga karena ada yang mengganggu pikirannya: wajah Maya.
Sesuatu dari sorot mata gadis itu… terasa familiar. Dan Lily tahu, saat firasatnya mulai terusik, itu artinya ada sesuatu yang harus diselidiki lebih dalam.
Setibanya di apartemen mewah bertingkat tinggi yang menghadap ke jantung kota Jakarta, Lily langsung menghempaskan tasnya ke sofa kulit putih.
Tumit tingginya segera dilepas, digantikan dengan sandal rumah berbulu yang lebih nyaman. Ia berjalan menuju meja rias dan membuka laci—mengeluarkan sebuah folder kecil berisi catatan, kwitansi, dan foto-foto lama.
Sambil membuka ponselnya, Lily memutar ulang percakapan barusan. Kontak atas nama Dr. Mario Dantes Santiago masih terpampang di layar. Senyumnya terbit sinis.
"Pria beristri... jauh dari anak dan istrinya di Manila, katanya," gumam Lily sambil menyapukan lip balm ke bibirnya. "Kebutuhan biologis, huh? Dasar semua pria sama."
Ia membuka pesan terakhir dari Mario.
“Dalam 5-6 bulan, aku akan atur semuanya. Aku janji, kamu nggak akan kesepian di Jakarta. Tapi jaga rahasia ini baik-baik.”
Lily tertawa kecil, lalu mengetik balasan:
“As long as the money’s good and you don’t act clingy, I’m game.”
Setelah mengirim pesan itu, ia membuka laci lemari dan mengeluarkan satu kotak kecil berisi kontrasepsi, surat hotel, dan brosur apartemen di wilayah BSD—tempat Mario berencana menyewakan unit rahasia mereka nanti. (“Asalkan uangnya banyak dan kamu tidak terlalu bergantung, aku mau. ;)”)
“Aku bukan gadis polos, Mario,” bisiknya pada dirinya sendiri. “Tapi aku tahu caranya bertahan. Dan kalau kamu pikir kamu yang mengendalikan permainan ini… kita lihat siapa yang akan ditelan duluan.”
Ia memandang cermin, membenarkan eyeliner-nya yang sedikit luntur, lalu tersenyum. Senyum seorang wanita yang tahu betul apa yang dia lakukan—dan tidak peduli siapa yang hancur dalam prosesnya.
Setelah mengirim pesan pada Mario, Lily menutup ponsel lalu diam menatap layar hitam cermin di hadapannya. Wajahnya masih sempurna, riasan masih rapi, tapi matanya tak bisa menyembunyikan satu hal: lelah.
Ia membuka galeri ponsel—membuka sebuah folder tersembunyi berjudul "Private". Di dalamnya, puluhan foto dirinya bersama Adrian Martadinata. Di sebuah pesta gala. Di balkon hotel di Bali. Di ruang kantor saat matahari sore masuk dari jendela besar.
Ia menyentuh layar, menghentikan jari pada satu foto: dirinya tertawa dalam pelukan Adrian. Bukan senyum sinis atau tatapan menggoda seperti biasanya. Tapi tawa tulus.
"Kalau aja lo tahu betapa gue cinta sama lo, Yan…" gumamnya pelan. Suaranya nyaris pecah, tapi dia cepat-cepat menegakkan punggung.
Lily memalingkan wajah, menatap ke luar jendela apartemen. Jakarta malam ini gemerlap. Tapi di matanya, semuanya buram.
“Sayangnya, lo lebih cinta hukum, reputasi… dan pacar dari keluarga baik-baik,” katanya getir. “Sementara gue? Ani-ani kelas atas yang cuma lo banggakan kalau lagi mabuk.”
Tangannya mengepal, tapi hanya sebentar. Lalu ia berdiri dan melangkah ke kamar, meninggalkan ponselnya tergeletak di meja rias. Di layar, notifikasi pesan baru masuk dari Mario:
“I can’t stop thinking about you.”
Lily menatap pesan itu sekilas. Tak ada senyum kali ini. Hanya sunyi.
Apartemen Lily – Tengah Malam
Lily duduk di tepi ranjang, mengenakan kimono satin, menatap layar ponselnya yang menampilkan nama kontak:
“Adrian Martadinata 💼❤️”
Pesan terakhir Adrian masuk satu jam lalu:
“Maaf, Lil… Mama masih belum bisa nerima kamu. Tapi aku butuh kamu tetap percaya sama aku.”
Lily menghela napas panjang. Sudah berapa tahun mereka bersama? Tiga? Empat?
Ia tahu Adrian mencintainya. Tapi ia juga tahu, cinta tak pernah cukup ketika keluarga Adrian—terutama ibunya—menganggap Lily “bukan perempuan baik-baik.”
Padahal mereka tak tahu apa-apa.
Lucunya, Adrian juga tak tahu apa-apa.
Ia tak tahu siapa klien-klien Lily di balik transfer rekening bertajuk “consulting” atau “MC event.” Ia tak tahu apartemen mewah Lily dibayar dari kontrak diam-diam dengan para pria kesepian. Ia tak tahu… Lily bukan sekadar wanita karier.
Tapi Lily mencintai Adrian. Lebih dari yang dia pikir mungkin. Dan itu membuat segalanya jauh lebih rumit.
Lily menatap pantulan dirinya di jendela.
"Aku jahat, ya?" bisiknya pada bayangan. "Atau cuma cewek biasa yang capek jadi pelarian dan objek?"
Ponselnya berbunyi. Adrian menelpon.
Setelah ragu beberapa detik, Lily angkat.
“Halo?” suaranya lirih.
“Hei…” suara Adrian hangat di seberang. “Kamu belum tidur?”
“Belum,” Lily menatap ke langit gelap Jakarta. “Aku lagi mikirin kamu.”
“Lily…” suara Adrian terdengar ragu. “Kamu tahu aku serius, ‘kan? Tapi... Mama—”
“Aku tahu,” potong Lily cepat, menahan isak yang nyaris lepas. “Aku tahu kamu sayang aku, Yan.”
Adrian diam.
Lily ingin berkata lebih. Ingin bilang bahwa dia lelah menyembunyikan semuanya. Tapi apa yang terjadi kalau dia jujur? Apakah Adrian akan tetap bertahan?
Atau justru meninggalkannya seperti semua orang?
Apartemen Lily – Pukul 21.15 WIB
Hujan turun ringan di luar jendela, memantulkan cahaya lampu kota yang remang. Di dalam apartemen, suasana hangat kontras dengan cuaca di luar. Aroma lavender dari diffuser memenuhi ruangan.
Lily baru saja keluar dari kamar mandi, rambutnya masih basah, mengenakan piyama satin berwarna burgundy. Ia sedang menyiapkan teh hangat ketika bel apartemen berbunyi.
TING-TONG.
Ia berjalan ke pintu, mengintip dari lubang kecil. Hatinya sedikit terlonjak—Adrian.
Lelaki itu berdiri di ambang pintu, jasnya basah oleh gerimis, wajahnya lelah.
“Yan?” Lily langsung membuka pintu.
“Aku butuh tempat tenang malam ini…” gumam Adrian. Tatapannya suram. “Maaf datang tiba-tiba.”
Lily hanya mengangguk, lalu menepi memberi jalan masuk.
Tak banyak kata. Adrian meletakkan jasnya, duduk di sofa, dan menunduk dalam diam. Lily duduk di sampingnya, menyodorkan secangkir teh.
“Masalah di kantor?” tanyanya lembut.
Adrian mengangguk. “Klien besar ancam mundur. Salah satu partner gue ngelakuin manuver licik di belakang. Gue capek, Lil. Gue muak dengan semua drama hukum ini.”
Lily menatapnya lekat. Saat seperti inilah ia merasa pria itu paling manusiawi—rentan, lelah, jujur.
Tanpa sadar, ia mengusap pelan punggung tangan Adrian. “Aku di sini,” ucapnya lirih. “Selalu.”
Mata Adrian menatap Lily sejenak. Dalam tatapan itu ada kelegaan, ada rasa butuh, dan… cinta. Adrian menarik napas panjang, lalu bersandar ke bahu Lily. “Makasih…”
Pinginnya gak panjang-panjang awalan ceritanya...
malah kadang suka lebih seru kalau awalan nya langsung yg konflik atau sudah jadi nya aja 👍😁
Ditengah atau setelahnya baru dehh bisa di ceritakan lagi sedikit atau pelan-pelan proses dari awalan Konflik tsb 👍😁🙏
kalau di awalin sebuah perjalanan cerita tsb,kadang suka nimbulin boring dulu baca nya... kelamaan ke konflik cerita tsb nya 🙏🙏🙏