Dia adalah darah dagingnya. Tapi sejak kecil, kasih ibu tak pernah benar-benar untuknya. Sang ibu lebih memilih memperjuangkan anak tiri—anak dari suami barunya—dan mengorbankan putrinya sendiri.
Tumbuh dengan luka dan kecewa, wanita muda itu membangun dirinya menjadi sosok yang kuat, cantik, dan penuh percaya diri. Namun luka masa lalu tetap membara. Hingga takdir mempertemukannya dengan pria yang hampir saja menjadi bagian dari keluarga tirinya.
Sebuah permainan cinta dan dendam pun dimulai.
Bukan sekadar balas dendam biasa—ini adalah perjuangan mengembalikan harga diri yang direbut sejak lama.
Karena jika ibunya memilih orang lain sebagai anaknya…
…maka dia pun berhak merebut seseorang yang paling berharga bagi mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Almaira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kedatangan Nenek Rosma
Pagi itu langit tampak suram.
Angin berembus pelan, membawa suasana yang tegang ke dalam rumah besar itu.
Sri mondar-mandir gelisah, sesekali melihat ke arah jam dinding.
Burhan duduk di kursi tamu, menyilangkan kaki, menahan jengkel.
Malika berdiri manja di depan jendela, mulutnya manyun seperti anak kecil yang tak sabar menunggu permen.
Akhirnya sebuah mobil berhenti di depan rumah.
Nenek Rosma turun dengan langkah mantap.
Wajahnya kencang oleh riasan tebal, kalung emas menggantung di leher, tas bermerek menenteng di tangan.
Begitu masuk ke dalam rumah, dia langsung duduk di sofa utama tanpa menyapa siapa pun.
“Mana dia? Mana perempuan desa yang berani merusak pesta cucuku?”
Sri langsung menunduk.
Burhan menghela napas keras.
Malika hanya senyum simpul, “Ibu, cepat panggil anak kesayangan ibu itu, katakan padanya nenekku ingin bertemu."
Sri segera menuruti titah sang putri, dia berjalan cepat menuju arah dapur.
Tak lama kemudian,
Hana muncul digiring oleh Sri yang setia dengan wajah tegangnya, sementara Hana? Tentu saja tetap anggun seperti biasa.
Rambutnya diikat rapi, wajahnya bersih tanpa polesan, namun auranya tetap memancarkan keanggunan alami.
Dia berjalan tenang lalu berdiri tepat di hadapan Nenek Rosma.
“Saya Hana,” katanya kalem.
“Putri kandung Sri, cucu dari ibu Ningsih.” Ungkapnya lagi dengan lugas.
Rosma menatapnya dari atas ke bawah.
Sorot matanya dingin, penuh penilaian.
“Oh ini gadis kampung menyebalkan itu?” gerutunya.
“Tahu diri, kamu bukan siapa-siapa di rumah ini.”
Hana tersenyum, tak gentar.
“Saya tahu posisi saya, Bu.”
"Lalu kenapa kamu berani-beraninya merusak pesta cucu kesayangan saya?Hah!?" Rosma berdiri, menunjuk Hana dengan bengis.
"Saya tidak merusak nyonya, saya hanya ingin mengambil hak saya kembali."
"Hak?" Rosma mengernyitkan keningnya. Dia lalu melirik sang putra, Burhan yang ikut berdiri panik.
"Memangnya apa hakmu di rumah ini?Hah?!"
"Tentu saja saya mempunyai hak untuk menghadiri pesta ulang tahun saudari tiri saya sendiri, bukan begitu kan?"
Rosma dibuat semakin jengkel, mendengar sang cucu kesayangan diakui saudara oleh gadis kampung tak tahu diri itu, dia kembali menatap Hana jengah.
“Jadi kamu ingin tinggal di rumah ini? Di rumah anak dan cucu saya?"
"Saya akan tinggal dimana ibuku tinggal nyonya," jawab Hana enteng.
Sri mendelik tak suka akan jawaban Hana.
"Dasar tidak tahu malu! Ingin menumpang di rumah anakku sebagai benalu." Rosma menatap menghinakan.
"Anda akan kaget siapa yang sebenarnya benalu disini," gumam Hana pelan sambil menahan senyumnya.
Beruntung Rosma mungkin karena usia tuanya tak mendengar gumaman Hana, karena kali ini fokusnya tertuju pada Sri.
"Kamu diam saja melihat kelakuan anakmu ini?" Ujarnya seolah mencemooh sang menantu.
Sri tak menjawab dia hanya langsung menundukkan kepalanya semakin dalam, meremas jari jemari yang sedari tadi bertautan.
"Tentu saja kamu biarkan, biar bagaimanapun dia anak kandungmu bukan? Kamu pasti lebih menyayanginya dibandingkan Malika bukan?"
Sri langsung menggelengkan kepalanya cepat, seolah ingin menangkis fitnah yang tak tepat.
"Tidak ibu. Mana mungkin aku lebih menyayanginya dibandingkan Malika. Malika adalah segalanya bagiku, dia tumbuh besar di tanganku ibu."
Hana memutar bola matanya. Dia tak sakit hati, sedikitpun. Karena sekali lagi, dia sudah tak mengharapkan itu sama sekali.
Sementara Malika nyaris tertawa puas. Merasa menang karena si anak kandung tersisihkan.
Rosma nampak berpikir, berjalan mondar-mandir sambil sesekali melirik Hana yang masih dengan tenang berdiri anggun, tak ada raut gentar sedikitpun.
Rosma sepertinya mendapatkan ide, senyumnya merekah sambil duduk kembali di sofa.
"Baiklah kalau begitu, kalau anak ini ingin tinggal di rumah ini, biarkan saja." Dia melirik Burhan dan istrinya bergantian.
Burhan dan Sri terkejut, terlebih lagi dengan Malika yang langsung merengut.
"Nenek..." Ucapnya tak setuju.
Rosma mengangkat tangannya, meminta sang cucu untuk diam.
"Biarkan dia tinggal di rumah ini sebagai pembantu. Nenek pikir itu tempat yang layak untuknya."
Wajah Malika sumringah seketika, sama seperti Burhan yang mengangguk-anggukkan kepalanya senang.
Sementara Sri, diam tak merespon.
"Kenapa? Kamu tak sudi anakmu jadi pembantu di rumah ini?" Rosma bertanya dengan nada meninggi. Kecewa karena sang menantu tak langsung mengiyakan.
"Tentu saja saya setuju ibu. Apapun keputusan ibu, itu pasti yang terbaik." Sri menjawab dengan gagap.
Sementara Hana hanya mengangkat bahu tak peduli, entah akan dianggap apa keberadaannya di rumah ini sekali lagi dia tak peduli karena yang terpenting misinya adalah tetap tinggal disini hingga semua tujuannya terpenuhi.
“Baik, kalau itu keputusan Ibu,” kata Burhan lembut sambil beranjak dari duduknya.
"Dengar kan kamu Sri. Mulai saat ini anakmu akan membantumu mengerjakan pekerjaan rumah."
Sri mengangguk patuh pada sang suami.
"Untuk tugas pertamamu sebagai babu di rumah ini, buatkan aku nasi goreng spesial. Harus enak dan cepat, karena aku sangat lapar sekali." Malika bak ratu memberikan titah pertamanya pada sang pembantu baru. Seakan ingin menunjukkan jika dirinya yang punya kuasa di rumah itu.
Tanpa disangka, Hana menerima perintah itu dengan tenang, dia mengangguk sambil undur diri menuju dapur.
Burhan dan Sri tak menyangka jika Hana akan dengan mudah di perintah, namun diam-diam mereka senang jika Hana bisa segera dikendalikan.
Tak lama, Hana datang dari dapur membawa sepiring nasi goreng yang nampak menggiurkan, Aroma wangi bawang dan telur mengepul menggoda.
Hana meletakkan nasi goreng itu di depan Malika sambil tersenyum tipis. "Silahkan dinikmati, Nona," ucapnya sambil setengah menunduk.
Malika langsung mengambil sendok, tanpa basa basi dia langsung menyendok penuh dan memasukannya ke dalam mulut.
Dan...
Malika membulatkan matanya, mengambil tisu di atas meja dan memuntahkan semua nasi goreng di mulutnya. Terbatuk-batuk sambil memegang lehernya.
"APAAN INI??HAHH?! Asin sekali!" bentaknya setelan minum untuk menetralkan rasa asin di mulutnya.
Rosma panik melihat Malika yang kepayahan.
Begitu juga dengan Sri yang langsung mencoba mencicipi, dan akhirnya ikut terbatuk.
Burhan hanya menatap Hana, berpikir jika ternyata gadis itu terlalu pintar untuk dianggapnya bodoh.
"Kau sengaja ya?" Suara Malika melengking.
Hana hanya menatapnya polos.
"Maaf. Mungkin aku terlalu bersemangat mengambil bumbu, maklum baru hari pertama menjadi pembantu."
"Sekali lagi maaf. Untuk tugas pertama saja aku gagal. Bagaimana ini? sepertinya aku memang tak layak jadi pembantu." Hana menunduk lesu.
semoga hana masih tetap waspada...jangan sampai hana jadi menikah dengan pria paruh baya yang kejam pilihan si Burhan
good job thorr...sehat sehat..up nya yg bnyk ya ..