Di tengah hiruk pikuk kota Jakarta, jauh di balik gemerlap gedung pencakar langit dan pusat perbelanjaan, tersimpan sebuah dunia rahasia. Dunia yang dihuni oleh sindikat tersembunyi dan organisasi rahasia yang beroperasi di bawah permukaan masyarakat.
Di antara semua itu, hiduplah Revan Anggara. Seorang pemuda lulusan Universitas Harvard yang menguasai berbagai bahasa asing, mahir dalam seni bela diri, dan memiliki beragam keterampilan praktis lainnya. Namun ia memilih jalan hidup yang tidak biasa, yaitu menjadi penjual sate ayam di jalanan.
Di sisi lain kota, ada Nayla Prameswari. Seorang CEO cantik yang memimpin perusahaan Techno Nusantara, sebuah perusahaan raksasa di bidang teknologi dengan omset miliaran rupiah. Kecantikan dan pembawaannya yang dingin, dikenal luas dan tak tertandingi di kota Jakarta.
Takdir mempertemukan mereka dalam sebuah malam yang penuh dengan alkohol, dan entah bagaimana mereka terikat dalam pernikahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon J Star, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Teh Hijau
Revan melangkah keluar dari kantor polisi dengan dahi berkerut, benar-benar merasa bingung. Ia tidak mengenal Pengacara Handoko, apalagi sampai merasa memiliki hubungan yang bisa membuat seseorang sekelas itu bersedia menjaminnya. Dari sikap para polisi, Revan bisa menilai bahwa pengacara tersebut bukan orang sembarangan dan jelas memiliki latar belakang serta pengaruh yang kuat.
Di depan pintu masuk kantor polisi, Pengacara Handoko dengan rambut memutih rapi dan kacamata berbingkai emas menjabat tangan Kompol Rani dengan sopan dan berwibawa.
"Terima kasih atas kerja samanya, Kompol Rani. Sangat jarang melihat seorang perwira muda mampu menduduki posisi penting di Polsek Jakarta Barat. Orang hebat memang selalu disertai dengan kebesaran hati," ucapnya dengan nada hormat namun berkelas.
Wajah Kompol Rani tetap tenang dan anggun. Sebuah senyum tipis, formal namun dingin terlukis di wajah cantiknya.
"Pengacara Handoko adalah salah satu tokoh senior di dunia hukum Jakarta. Kami generasi muda tentu harus memberikan rasa hormat," jawabnya sopan. Meski kata-katanya ditujukan kepada sang pengacara, pandangan Rani tanpa sadar beralih ke arah Revan yang kini tengah berdiri santai sambil meregangkan tubuhnya seolah baru saja bangun tidur, tanpa sedikit pun rasa bersalah atau gentar.
Kompol Rani tidak menyangka, kunjungan mendadak dari Pengacara Handoko ternyata untuk menjamin Revan. Meskipun pengacara itu tidak menyebut siapa pihak yang memintanya bertindak, Rani tahu pasti orang yang bisa menggerakkan seorang tokoh senior seperti Handoko pasti bukan orang biasa. Sudah pasti ia adalah seseorang yang punya pengaruh besar, kecerdasan, dan nama yang disegani di Jakarta.
Fakta bahwa orang semacam itu bersedia turun tangan demi seorang pedagang sate ayam dari pasar seperti Revan, membuat Rani semakin yakin bahwa pria itu menyimpan sesuatu. Dugaan awalnya tampaknya tidak meleset, latar belakang Revan memang tidak biasa.
Setelah keluar dari halaman kantor polisi, Revan menoleh ke arah Pengacara Handoko dan tersenyum ramah. “Terima kasih banyak Pak Handoko, atas bantuannya. Kalau bukan karena Anda, mungkin aku sudah harus menghabiskan dua hari di ruang interogasi itu. Padahal aku sudah berjanji kepada seorang teman untuk menjadi tamunya malam ini, bisa repot jadinya.”
Senyumnya tampak canggung, namun tetap bersahaja. Melihat itu, Pengacara Handoko justru merasa semakin penasaran. Sebelumnya, ia sendiri tidak terlalu memahami alasan orang yang memintanya menjamin Revan. Namun setelah bertemu langsung, ia mulai melihat sesuatu yang berbeda dari pemuda itu. Sikap tenang dan santai saat meninggalkan kantor polisi, ketidakpedulian yang terkesan alami, serta selera humor di tengah situasi serius, semua itu menunjukkan bahwa Revan bukan pemuda sembarangan.
Tanpa disadari, rasa meremehkan yang sempat muncul di hatinya mulai menghilang. Ia tertawa kecil, lalu berkata, “Tidak perlu berterima kasih kepadaku, nak Revan. Aku hanya menjalankan tugas sesuai permintaan seseorang. Jika Anda ingin mengucapkan terima kasih, ucapkanlah kepada orang yang berada di depan sana.”
Pengacara Handoko kemudian menoleh dan memberi isyarat ke arah jalan. Revan mengikuti arah pandangannya, dan saat itu juga ia melihat sebuah limusin merah mengilap yang berhenti rapi di tepi trotoar.
Revan meliriknya, dan seketika menjadi tertarik. Mobil itu sebenarnya adalah mobil yang jarang terlihat di Indonesia, sebuah Bentley Arnage. Mobil Inggris jenis ini melambangkan keanggunan dan aura kerajaan, harga jual terendahnya di Indonesia mencapai empat miliar lebih. Untuk bisa dengan santai mengendarai mobil seperti itu, kekayaan orang itu pasti setidaknya diatas ratusan miliar.
Setelah mengucapkan selamat tinggal kepada Pengacara Handoko, Revan perlahan berjalan ke sisi Bentley. Lalu melihat ke arah kursi pengemudi, dan tatapannya sulit bergeser, tersenyum tipis ia berkata, "Kamu?"
***
Di atas jok kulit berwarna hitam pekat, duduk seorang wanita muda berpenampilan anggun dengan wajah bersih dan memesona. Ia mengenakan gaun katun putih sederhana namun tampak begitu bersih dan rapi, kontras sempurna dengan rambut hitam legam yang terurai indah tanpa satu helai pun tampak berantakan. Wajahnya yang lembut dan cantik sebagian tertutup oleh kacamata hitam berbingkai besar, menutupi hampir separuh parasnya. Kontras antara kacamata gelap dan kulitnya yang cerah justru mempertegas aura angkuh dan dingin yang dipancarkannya, sekaligus pesona yang mampu membuat siapa pun kehilangan kata.
Jendela mobil terbuka perlahan, namun wanita itu tetap menatap lurus ke depan sama sekali tidak menoleh ke arah Revan. Dengan nada datar dan tanpa emosi, ia berkata singkat, “masuk.”
Revan tidak menunjukkan rasa canggung sedikit pun. Ia malah tersenyum samar, lalu membuka pintu dan masuk ke dalam mobil dengan santai. Ia bahkan dengan bebas menyesuaikan posisi duduknya menggeser kursi ke belakang, menyesuaikan kemiringannya, seolah berada di tempat yang sudah dikenal baik. Dengan nada ringan seakan menyapa teman lama, ia berkata, "Pagi ini kamu langsung pergi begitu saja. Aku sempat bertanya-tanya, apakah kita akan bertemu lagi. Tidak kusangka, kamu akan muncul secepat ini di kantor polisi, dan bahkan membayarkan uang jaminanku. Haruskah aku menyebut ini sebagai takdir?”
Wanita itu adalah orang asing yang baru saja terlibat hubungan intim dengannya. Melihat wajah dingin yang kini begitu jauh berbeda dari ekspresi hangat dan penuh gairah semalam, kenangan itu kembali muncul dalam benak Revan. Perubahan sikap yang begitu drastis justru membuatnya ingin bercanda.
"Orang akan menganggapmu bisu, kalau kamu diam saja."
Tanpa berbicara omong kosong dengan Revan, wanita itu menginjak pedal gas dan mobil itu dengan cepat meninggalkan kantor polisi. Sekitar lima menit kemudian, mereka berhenti di sebuah kedai kopi dekat pusat kota Jakarta Barat.
Setelah melewati air mancur besar, Revan mengikuti wanita pendiam itu memasuki sebuah kedai kopi yang tampak tenang dan elegan. Rupanya, sebuah ruangan pribadi sudah dipesan sebelumnya. Diantar oleh seorang pelayan, mereka menaiki tangga menuju lantai dua lalu dibawa ke sebuah sudut terpencil. Beberapa tanaman besar ditempatkan di sekitar ruangan, menciptakan suasana yang sejuk, tenang dan terasa tersembunyi dari keramaian.
“Selamat datang Nona, Tuan, apa yang ingin Anda pesan?” tanya pelayan pria dengan senyum ramah dan sikap sopan.
Dari caranya berbicara dan menyapa, tampak jelas bahwa wanita itu adalah pelanggan tetap. Tanpa banyak bicara, ia melepas kacamata hitamnya. Memperlihatkan wajah cantik yang memikat, wajah yang bisa membuat banyak pria kehilangan kata-kata hanya dengan sekali pandang. Dengan nada tenang dan datar, wanita bernama Nayla Prameswari itu menjawab, “Blue Mountain, tambah susu tanpa gula.”
Sementara itu, Revan masih membolak-balik menu dengan ekspresi bingung. Dahinya sedikit berkerut, lalu tersenyum seolah sudah menemukan jawabannya. “Hmm… Aku pesan secangkir teh hijau saja, jangan terlalu panas. Tidak perlu yang terbaik, yang termurah pun tidak apa-apa.”
Senyum ramah pelayan itu perlahan menghilang, digantikan dengan ekspresi kikuk. Dengan suara pelan, ia menjawab, “Maaf, Tuan. Kami hanya menyajikan kopi, dan tidak menyediakan teh, apalagi teh hijau.”
Revan menghela napas kesal. “Kalau begitu, air putih saja. Apa air putih di sini harus bayar juga?”
Pelayan itu tampak makin canggung. “Kami punya air putih, Tuan. Tapi, apakah Tuan benar-benar hanya ingin air putih?” Tatapannya terlihat bingung, seolah tak percaya bahwa pria yang datang bersama seorang wanita seanggun Nayla hanya memesan air putih.
Wanita yang terus melihat ke luar jendela dengan dingin dan acuh tak acuh melirik Revan, lalu berkata kepada pelayan itu, "Berikan dia secangkir Americano."
“Baik Nona,” jawab pelayan itu cepat, seolah baru saja mendapat izin untuk mundur. Ia segera meninggalkan ruangan dengan langkah tergesa, berusaha menutupi rasa canggung yang masih tersisa di wajahnya.
Namun Revan memasang ekspresi sedih. “Aku bilang Nona, aku tidak punya uang untuk membeli Americano atau apa pun jenis kopi mahal yang dipesan tadi. Harga puluhan ribu untuk satu cangkir, aku harus menjual ribuan tusuk sate ayam untuk menutupinya.”
“Aku yang traktir,” sahut Nayla dengan nada datar, alisnya berkerut menahan kesal.
“Ini bukan masalah kamu mentraktirku atau tidak,” lanjut Revan tanpa menggubris ketidaksabarannya. “Masalahnya adalah penghasilanku memang tidak memungkinkan untuk menikmati kopi kelas seperti ini. Lagi pula, sebagai pria terdidik yang masih punya empat anggota tubuh yang sehat, bagaimana mungkin aku bergantung pada traktiran dari seorang wanita? Kamu harus tahu, meskipun aku orang miskin dan hidup pas-pasan, aku tetap menjunjung kejujuran dan bukan penipu jalanan. Kalau aku ingin minum kopi, maka aku sendiri yang harus membayarnya. Tapi kenyataannya, aku memang tidak terlalu suka kopi.”
“Ini traktiran dariku, bukan karena kamu menginginkannya,” potong Nayla, suaranya sedikit meninggi menahan jengkel. Ia sudah rela mundur dan menawarkan secangkir kopi, namun masih harus menghadapi perdebatan panjang yang menurutnya tidak perlu.
Tapi Revan tidak berhenti, dengan wajah sungguh-sungguh berkata, “Nona, seperti kata orang zaman dulu, seorang pria terhormat tidak akan makan makanan gratis. Apa yang kamu lakukan ini adalah bentuk amal bagiku. Kalau kamu meremehkan pendapatanku dan statusku di masyarakat, itu bukan masalah. Aku memang hanya penjual sate ayam dan statusku pun bukan apa-apa. Tapi kamu tidak bisa merendahkan harga diriku, apalagi menginjak kehormatanku sebagai seorang pria.”
“Cukup!”
Suara Nayla mendadak meninggi, dan telapak tangannya menggebrak meja. Dadanya naik turun, menandakan emosi yang memuncak. “Apa kamu tidak akan pernah berhenti bicara? Aku tidak punya waktu untuk mendengarkan ocehan seperti ini!”
Begitu kata-kata itu terucap, Revan yang terus-menerus mengoceh berhenti seketika. Seolah ia orang yang sama sekali berbeda, wajahnya menunjukkan sedikit kebanggaan saat tersenyum, "Nona, seharusnya begini. Kamu masih sangat muda, jadilah lebih ekspresif. Jangan terus-menerus memasang wajah datar. Aku rasa ekspresi marahmu jauh lebih cantik daripada ekspresi dinginmu."
“Kamu…”
Kata itu nyaris terhenti di bibir Nayla. Ia kembali duduk, tanpa sedikit pun mencoba menyembunyikan kemarahannya. Tatapannya tajam, bola matanya berkilat. Tidak ada lagi sisa sikap kalem atau anggun seorang wanita berpendidikan tinggi. Dengan suara tegas, ia berkata, “Aku tidak punya waktu untuk meladeni ocehanmu. Sekarang, ada hal penting yang ingin aku bicarakan denganmu.”