NovelToon NovelToon
Kez & Dar With Ze

Kez & Dar With Ze

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Teen Angst / Teen School/College / Keluarga / Persahabatan / Romansa
Popularitas:416
Nilai: 5
Nama Author: Elok Dwi Anjani

Mimpi bukan selesai saat sudah meraihnya, tapi saat maut telah menjemput. Aku tidak meninggalkan teman ataupun orang yang ku sayang begitu saja, melainkan mencetak sebuah kenangan terlebih dahulu. Walaupun akan meninggalkan bekas di situ.

Maaf jika aku pergi, tapi terimakasih atas semua kenangan yang kita cetak bersama. Suara tawamu akan selalu bergema, dan senyumanmu akan selalu menjadi canduku. Rela itu tidak semudah sebuah kata saja. Tapi hati yang benar-benar tulus untuk melepaskannya.
Mengikhlaskan? Harus benar-benar melepaskannya dengan merelakannya setulus mungkin.

Seperti biji-biji dandelion yang berhamburan tertiup angin, setelah usai di suatu tempat. Mereka akan kembali tumbuh di berbagai tempat. Entah kita akan dipertemukan kembali atau tidak, setidaknya aku pernah berbahagia karena dirimu.

Ada sebuah kata-kata yang bertuliskan "Di setiap pertemuan pasti ada perpisahan," tapi dengan perpisahan bukan berarti aku dapat melupakan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elok Dwi Anjani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Usil

..."Sesuatu yang aneh, tapi suka. Itulah salah satu sifat manusia, termasuk aku"...

...•...

...•...

Sheila menutupi wajahnya saat melihat Sean telanjang dada dan hanya memakai celana pendek selutut. Sean yang awalnya kaget langsung mengelus dadanya dan menghampiri gadis yang tengah menutupi wajahnya. Ia menarik tangan Sheila untuk melihat wajah pacarnya. Mata Sheila tertutup rapat dengan mengigit bibir bawahnya.

"Masuk nggak bilang-bilang."

Sheila membuka matanya dan langsung menutupnya kembali karena dengan jelas Sean berada di depannya dan masih tidak mengenakan baju. "Pake bajunya dulu!"

Sean tersenyum usil dan memegang kedua sisi wajah Sheila. "Buka matanya," pintanya.

"Nggak mau! Pake baju dulu lah," balas Sheila dengan wajahnya seperti sebelumnya.

"Kenapa? Bukannya kamu suka sering pencet tombol suka di sosmed kalau ada yang punya perut sixpack?"

Aneh memang. Jika ada di layar ponselnya Sheila menyukainya, tapi saat benar-benar terpampang jelas di hadapannya langsung ia alihnya pandangannya, bahkan sampai menutup kedua matanya.

"Ya, maksud aku jangan terlalu d-deket kayak gini. Minggir!" Tangan Sheila meraba depannya dan menyentuh pundak Sean. Ia mendorong pelan sebelum benar-benar mendorongnya dengan sepenuh tenaga.

Nihil, tidak ada pergerakan dari Sean. Justru Sheila yang membuang-buang tenaganya. "Ngapain?" tanya Sean.

"Minggir! Kamu mau aku tutup mata kayak gini terus?"

"Nggak ada yang nyuruh tutup mata, kok. Buka aja, nggak ada apa-apa," titah Sean.

"Tapi kamu belum pake baju. Pake baju dulu sana!"

"Emang kenapa? Nggak suka?"

Sheila menggeleng. "Aku belum siap."

Sean tertawa terbahak-bahak di atas karpet dengan memegangi perutnya. Lucu sekali Sheila sekarang. Memangnya dia anggap akan melakukan apa?

"HAHAHAHA. Kamu kira aku bakal ngapain? Ya ampun, Sheila.. Sheila." Sean meraih bajunya dan memakainya sebelum duduk di samping Sheila.

"Udah." Perlahan-lahan Sheila membuka matanya dan bernafas lega. Ia jadi malu mengingat ucapannya yang tadi. Bahkan, Sean masih menahan tawanya saat menatapnya.

"Jangan ketawain," kata Sheila.

Sean justru tersenyum dan menarik tangan Sheila. "Kamu takut apa gimana sih? Katanya cowok yang punya sixpack itu seksi. Giliran cowoknya sendiri yang punya nggak mau lihat."

Pipi Sheila bersemu dan menarik tangannya kembali. "Aku bukan takut kamu."

"Terus?"

"Takut aku yang bakal apa-apain kamu malahan," balas Sheila.

"Emang ngapain?" Sean mendekatkan dirinya.

"Kalau aku kelewatan ke kamu gimana?" tanya balik Sheila.

"Jangan dulu. Kalau abis nikah nggak apa-apa," balas Sean tersenyum.

Tara datang dengan membuka kamar Sean yang hanya tertutup setengah saja. "Udah diminum obatnya?"

"Belum, Tan. Ini baru mau aku suruh," jawab Sheila.

"Ya, udah. Tante sama yang lainnya ada di bawah, kalau ada apa-apa panggil aja. Dan kamu, Ka!" Tunjuk Tara kepada putra sulungnya. "Awas aja kalau nggak diminum obatnya."

"Iya-iya, Bunda...," balas Sean.

Sheila meraih piring yang berisi roti bakar coklat dan menaruhnya di paha Sean. "Makan. Abis gitu minum obatnya."

"Nggak mau minum obat. Masakan bunda belum selesai?" Sheila menggeleng tidak tau.

"Nggak tau. Tapi tadi masih ada suara potong-potong sesuatu di dapur waktu aku ke sini. Sekarang nggak tau udah jadi apa belum."

"Ohh.."

"Roti bakarnya nggak kamu makan?"

Sean menggeleng. "Lagi nggak pengen."

"Kamu nggak mau makan makanan pemberian aku?"

Sean membulatkan matanya. Bagaimana bisa ia melupakan kalau roti bakar tersebut pemberian Sheila. "Enggak kok! Maksudnya itu nggak pengen makan kalau bukan kamu yang nyuapin."

Sheila menyipitkan matanya menatap laki-laki di sampingnya ini. "Aaa.."

Sean membuka mulutnya dan melahap makanannya. Beberapa coklat yang keluar mengenai sudut bibirnya tanpa sepengetahuan Sean. Sheila menunjuk-nunjuk bibirnya untuk memberikan kode. Sean menatap Sheila sejenak lalu...

Cup.

Sheila membulatkan matanya saat Sean tiba-tiba mencium pipinya tanpa izinnya terlebih dahulu. Pipinya kembali bersemu merah dan mengalihkan pandangannya. Sementara itu, Sean terkekeh melihat reaksi Sheila yang lucu.

"Pipi dulu. Bibirnya nanti aja," ujar Sean.

"Apaan sih. Bibir kamu itu ada coklatnya, mangkanya aku kayak gitu. Malah cium-cium. Bilang aja kalau modus!"

"Siapa yang modus? Sini biar aku hitung," balas Sean.

"Modus cowok, bukan modus matematika!"

Sean terkekeh dan melanjutkan makannya. Setelah suapan pertama dari Sheila. Ia merasakan kalau butuh asupan untuk tubuhnya yang harus mendapatkan energi. Nikmat mana yang kau dustakan. Manisnya coklat dan juga pipi Sheila setelah ia kecup membuat tubuhnya berenergi kembali.

"Cium lagi boleh nggak?" izin Sean.

"Enggak! Kamu harus minum obatnya dan istirahat."

"Tapi aku maunya kamu, bukan obat yang pahit. Kalau kamu kan manis."

"Nggak usah gombal."

"Biarin. Daripada aku gombalin anak orang lain, mending gombalin anak mami Hani."

"Anka...." Sangat jelas terlihat kalau wajah Sheila sangat kesal menatap Sean.

"Iya-iya. Maaf, sayang."

"Sayang-sayang, lagi mabuk kepayang?" balas Sheila.

"Iya, nih. Liatin anak mami Hani jadi mabuk."

Sheila akan memukul Sean dengan bantal sofa di sampingnya. Tapi tidak bisa, karena Sean sudah terlebih dahulu menghindar. "Iya-iya, maaf."

"Awas aja kalau diulangi. Aku bacok kamu!"

"Iya, sayang. Maaf... Maafin Anka ya?" Dengan sengaja, Sean membuat-buat suaranya seperti anak kecil dengan menatap Sheila.

"Iya, tapi nanti aku backlist dari hati, ya?"

Sean membulatkan matanya dan menggelengkan kepalanya kuat. "Awas aja kalau di blacklist. Aku bakal nikahin kamu langsung biar dapat paling atas."

"Coba aja kalau bisa," tantang Sheila.

"Bener?" Sheila mengangkat kepalanya menantang Sean.

Sean berjalan mendekat dan mengambil kedua tangan Sheila, lalu ia letakkan di kedua sisi kepala gadis itu. Sheila langsung kaget dan berusaha memberontak, tapi tidak bisa. "Mau ngapain?"

Sean tersenyum jahil dan mendekatkan wajahnya. "Katanya disuruh nyoba. Kenapa sekarang wajah kamu yang merah?"

Sheila mengalihkan wajahnya tidak ingin menatap sorot mata Sean yang menatap dirinya lekat-lekat.

Sean kembali tertawa saat melihat reaksi Sheila dan duduk di samping gadis tersebut dengan menyugar rambutnya. Sangat mudah untuk menjahili Sheila baginya. Bahkan Sheila merasa terpojokkan jika terus-terusan seperti.

Sheila beranjak dari duduknya dan meletakkan kedua tangannya di kedua sisi wajah Sean dengan bersandarkan pada sandaran sofa. Sean langsung menghentikan tawanya dan membalas tatapan gadis di depannya ini. Sheila mendekat dengan perlahan-lahan menutup matanya.

Sean juga akan menutup matanya. Saat sudah sangat dekat, Sheila meletakkan sebuah obat di bibir Sean yang tidak tertutup rapat dan langsung memberikannya minum. Refleks, Sean menelan obat tersebut dan langsung membulatkan matanya saat merasakan rasa pahit yang sangat-sangat kuat di lidahnya. Ia menerima air minum di tangan Sheila dan langsung meneguknya hingga habis tidak tersisa.

Sebuah senyuman terbit di wajah Sheila dan ia beranjak akan menegakkan tubuhnya. Tapi langsung duduk di pangkuan Sean karena laki-laki itu menarik pinggangnya. "Ngapain kayak gitu?"

"Biar cepet selesai dan nggak kebanyakan drama."

"Kalau gitu, aku boleh minta sesuatu nggak? Aku udah turutin semua permintaan kamu, termasuk minum obat pahit tadi."

"Apa?"

Sean menunjuk-nunjuk pipinya untuk memberikan kode. "Cium."

Sheila menggeleng. "Enggak, kamu udah nyosor duluan tadi."

Sean merubah wajah sedih dan mengendorkan tangannya yang memeluk pinggang Sheila. Tidak membuang kesempatan, Sheila langsung berdiri menegakkan tubuhnya dan mengambil tas selempang nya. "Jangan lupa istirahat. Besok kalau udah mendingan kita jogging bareng-bareng, abis gitu ke rumah Kezia. Tadi Zea kabarin kalau mau berangkat pakai kereta biar cepet."

Sean hanya mengangguk untuk menanggapinya. Sebelum berjalan keluar. Sheila sempat melirik Sean yang hanya diam dan tidak melihatnya sama sekali.

Cup.

"Jangan sedih. Istirahat yang cukup, ya Sayang?"

Setelah itu, Sheila buru-buru meninggalkan Sean dengan terbirit-birit karena malu jika Sean melihatnya setelah ia melakukan hal tersebut.

"Mimpi apa gua semalam?" tanya Sean memegang pipinya.

Sheila berjalan menuruni tangga dengan memegangi tas selempang nya dan menghampiri Tara, Gilang, serta Arsa yang sedang bermain dengan Garrel mengunakan ponsel.

"Tante, Om. Aku pamit ya? Keburu malam nanti," kata Sheila.

"Oh! Iya. Makasih, ya? Sean susah nggak tadi?"

Sheila tersenyum tipis mengingat kejadian tadi. "Enggak, kok, Tante. Cuman dikit aja."

"Kamu hati-hati? Yakin bisa pulang sendiri? Udah malam lho. Nggak Garrel antar aja?" tanya Gilang.

"Enggak, Om. Sheila bisa sendiri kok." Sheila menyalami tangan Tara dan Gilang dengan tak lupa menciumnya. Arsa meletakkan ponselnya dan berjalan ke arah Sheila dengan sedikit raut wajah sedih.

"Kok cepet? Nanti kalau bang Anka balik ke bunda gimana?" Tanya Arsa.

"Mungkin enggak lagi. Udah kak Lia kasih sesuatu biar nggak manja ke bunda," jawab Sheila.

"Bener?" Sheila mengangguk.

"Ya, udah. Kak Lia pamit, ya?" Arsa mengangguk.

Tara dan Gilang tersenyum melihatnya. Sheila terlihat sangat dekat dengan Arsa. Tidak hanya Sean, bahkan keluarganya nyaman dengan keberadaannya.

Setelah kepulangan Sheila, Sean tidak keluar kamar sama sekali dan malah guling-guling di atas kasurnya dengan senyumannya yang tidak dapat ia tahan. Ia meremas bantalnya gemas saat mengingat Sheila menciumnya tadi.

"Otw punya nyonya Anka kayaknya."

Sean mencak-mencak tidak jelas dan justru tidak bisa tidur jika sepertinya. Ia menyentuh keningnya yang panasnya sudah mereda. Tapi tergantikan dengan insomnia karena sebuah kecupan. Eh?

Berjalan kesana-kemari untuk mengembalikan rasa kantuknya, tapi tidak bisa. Ia melakukan sedikit olahraga agar tubuhnya berkeringat dan mengecilkan AC. Tapi tidak bisa. Sean terdiam dengan merentangkan kedua tangannya. Ia sudah seperti orang gila. Senyam-senyum tidak jelas dengan memeluk guling dan menenggelamkan wajahnya di antara kedua bantalnya.

...••••...

...Jangan terlalu lucu, kamu itu gemesin. Kalau aku salting itu berarti karena kamu....

...Rasa cinta dan kebahagiaan dengan hati yang berbunga-bunga itulah yang menyenangkan. Membuat detak jantung tidak beraturan dan merasakan suasana yang membuatku nge-fly....

...Pungut anak orang boleh nggak sih? Perpisahan ini membuatku gila setelah kau pergi. Walaupun keesokannya kita bertemu kembali, tapi waktu terasa lama saat aku menunggunya....

...Ayolah! Aku ingin kembali menatap wajahmu dan melihat begitu kesalnya wajah yang selalu menjadi candu itu bersemu merah....

...Ingin ku putar jarum jam untuk merasakan suatu yang membahagiakan dan membuang jauh-jauh yang menyedihkan....

...Senyuman di wajahmu itu canduku....

...••••...

...TBC....

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!