"Dendam bukan jalan keluar. Tapi bagiku, itu satu-satunya jalan pulang"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zhar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Raka memang tak layak menyandang gelar Pendekar, namun menyebutnya iblis pun terasa keterlaluan. Kirana, seolah menolak menerima gelar itu melekat pada diri Raka meski ia tahu, mustahil baginya mengubahnya.
Di dunia persilatan, nama itu sudah terlanjur melegenda. Raka, sang Pendekar Bayangan, adalah mitos hidup yang tak bisa begitu saja dikoreksi.
"Kenapa Guru datang kemari tanpa memberi kabar lebih dahulu? Kami jadi tak sempat menyiapkan penyambutan yang layak," ujar Adipati Layan Kusuma, seraya mempersilakan seorang lelaki tua untuk duduk.
Lelaki itu bertubuh ringkih, wajahnya tirus dan terbenam dalam bayang capil besar yang menutupi sebagian kepalanya. Sebuah mantel lebar menjuntai hingga ke mata kaki, menyembunyikan tubuhnya yang setengah membungkuk. Ia berjalan perlahan namun pasti, bertumpu pada tongkat berwarna hitam legam diukir dari akar kayu jati tua, berliku dan berurat seolah hidup. Dengan tenang ia duduk di kursi yang ditempatkan lebih tinggi dari kursi Adipati sendiri tanda penghormatan tertinggi yang bisa diberikan di Kadipaten itu.
Adipati Layan Kusuma menunduk hormat. Semua yang dimilikinya saat ini kekuasaan, kemakmuran, bahkan nyawanya tak lepas dari jasa lelaki tua itu: Datuk Pengemis Nyawa.
"Bagaimana keadaan Kadipatenmu, Adipati?" suara sang Datuk parau, namun tegas.
"Kadipaten dalam keadaan cukup baik, Guru," jawab sang Adipati. "Semua ini berkat jasa Guru dan murid-murid Guru yang menjadi pengawal pribadi hamba. Mereka jugalah yang melatih pasukan kami hingga sanggup meredam beberapa pemberontakan serta perlawanan rakyat. Segalanya terkendali dengan mudah, berkat ilmu dan strategi yang Guru wariskan."
Di balai utama itu, tampak pula beberapa tokoh penting para murid utama sang Datuk berdiri tenang, menyimak percakapan. Wajah-wajah mereka teduh, tapi di balik keteduhan itu tersembunyi ketajaman yang tak kasat mata. Balai itu, siang itu, tak hanya menjadi tempat pertemuan, tapi medan di mana sejarah baru mungkin tengah ditulis ulang.
Murid-murid Datuk Pengemis Nyawa telah berkumpul. Di antara mereka ada Ronggowengi, pendekar kembar Jala dan Jalu yang terkenal dengan sepasang pedang kembar mereka, serta seorang wanita muda misterius bersurai panjang, Nyi Pelet Peteng.
"Bagaimana keadaan Guru?" tanya Nyi Pelet Peteng dengan hormat.
"Aku sehat-sehat saja…" jawab Datuk Pengemis Nyawa, suaranya tenang namun ada gurat kekhawatiran tersembunyi.
"Ada apa gerangan Guru tiba-tiba datang kemari?" tanya Ronggowengi penuh rasa ingin tahu.
"Aku terpaksa meninggalkan Ceruk Gua Bangkai," ujar Datuk, "karena sedang diburu oleh seorang pendekar muda yang akhir-akhir ini menggetarkan dunia persilatan."
Pernyataan itu membuat semua yang hadir tercengang. Selama ini, mereka tak pernah melihat Datuk Pengemis Nyawa gentar terhadap siapa pun. Namun kali ini, tampak jelas bahwa sang guru benar-benar mengharapkan perlindungan dari mereka.
"Siapa yang telah mengancam Guru…?" tanya Adipati Layan Kusuma dengan nada geram.
"Seorang Pesilat muda berjuluk Pendekar Iblis…!"
"Pendekar Iblis…?" Semua memicingkan mata penuh tanya. Nama itu belum pernah mereka dengar. Tak satu pun dari mereka tahu ada tokoh dunia persilatan yang menyandang gelar seaneh dan semengerikan itu.
Pengemis Nyawa memaklumi ketidaktahuan para muridnya. Pendekar Iblis memang baru saja menjadi perbincangan di dunia persilatan, sementara mereka terlalu asyik menikmati kemewahan yang diberikan oleh Adipati Layan Kusuma, tanpa peduli pada perkembangan yang terjadi di luar sana.
Mereka tak perlu bertanya mengapa Dewa Iblis mencarinya. Sosok seperti guru mereka sudah terbiasa dimusuhi banyak orang. Namun selama ini, ia tak pernah gentar. Justru, semua yang pernah menentangnya berakhir dengan kematian yang mengenaskan.
“Rencananya aku hendak meminta perlindungan pada Boma, ketua Gerombolan Tapak Langit,” ujar Datuk Pengemis Nyawa. “Tapi saat aku tiba di sana, ku dapati Boma telah mati. Tubuhnya mengenaskan tangan dan kakinya hancur, lidahnya putus… Pasti itu perbuatan Pendekar Iblis.”
“Begitu sadisnya Pendekar Iblis itu, Guru…” komentar Jala dengan wajah ngeri.
“Itulah sebabnya ia dikenal sebagai Pendekar iblis. Tindakannya bahkan lebih kejam dari aku,” sahut sang guru dengan nada dingin.
“Apakah Guru tidak bisa mengalahkannya?” tanya Jalu penuh harap.
“Ilmuku sedang tersumbat untuk sementara waktu. Aku harus menunggu hingga ritual Bedah Bumi pada bulan purnama mendatang. Itulah alasan aku datang kemari…” terang Datuk Pengemis Nyawa.
Pernyataannya membuat semua orang yang ada di sana saling berpandangan, tercengang dalam diam.
lanjut dong