Pura-pura menikah dengan tetangga baru? Tentu bukan bagian dari rencana hidup Sheina Andara. Tapi semuanya berubah sejak tetangga barunya datang.
Davison Elian Sakawira, pria mapan berusia 32 tahun, lelah dengan desakan sang nenek yang terus menuntutnya untuk segera menikah. Demi ketenangan, ia memilih pindah ke sebuah rumah sederhana di pinggir kota. Namun, hari pertama justru dipenuhi kekacauan saat neneknya salah paham dan mengira Sheina Andara—tetangga barunya—adalah istri rahasia Davison.
Tak ingin mengecewakan sang nenek, Davison dan Sheina pun sepakat menjalani sandiwara pernikahan. Tapi saat perhatian kecil menjelma kenyamanan, dan tawa perlahan berubah menjadi debaran, masihkah keduanya sanggup bertahan dalam peran pura-pura?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rembulan Pagi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19. Tidak Menarik Perhatian, Tapi Menarik Hati
Pagi itu, Sheina sudah sampai di TK lebih awal dari biasanya. Udara masih lembap, sisa embun menempel di daun-daun kecil yang berjajar di taman sekolah. Beberapa guru TK sudah terlihat hadir, bercengkerama sambil menyusun keperluan lomba yang sebentar lagi akan dimulai. Dari kejauhan, Sheina bisa melihat mobil yayasan baru saja berhenti di depan gerbang. Orang-orang penting dari pusat yayasan turun satu per satu, menyapa sopan sambil berjalan menuju ruang acara.
Di area pintu masuk utama yang difungsikan sebagai tempat penerimaan tamu, Merisa sudah tampil dengan riasan wajah yang mencolok. Rambutnya disanggul rapi, dan senyum percaya diri tidak pernah lepas dari wajahnya. Di balik senyum itu, terpancar jelas rasa bangga seolah dirinya adalah pusat dari semua yang terjadi hari ini.
Tapi Sheina hanya melirik sekilas, tidak ada rasa iri sedikit pun yang singgah di hatinya. Ia tahu, tidak semua hal perlu diperlombakan. Terutama bukan soal tampil paling menonjol di acara anak-anak seperti ini. Ada yang lebih penting: menyelesaikan tanggung jawab.
Sheina mengambil posisi di bagian konsumsi. Tugasnya hari ini memastikan semua murid yang ikut lomba mendapat snack dan makanan yang cukup. Ia duduk bersila di dekat meja panjang yang sudah dipenuhi kotak-kotak makanan. Satu per satu ia hitung, sambil mencocokkan dengan data jumlah peserta yang sudah ditulisnya sejak semalam.
Seorang petugas katering datang menghampiri. Wajahnya terlihat cemas.
“Bu Sheina,” ucapnya pelan, nyaris berbisik, “maaf, tadi ada kelalaian sedikit. Tiga kotak snack kami jatuh waktu diangkut ke mobil rusak semua.”
Sheina berhenti menghitung, menoleh ke arah pria itu. Tapi bukannya panik, ia malah tersenyum kecil.
“Coba aku hitung lagi ya,” ujarnya tenang.
Ia menghitung cepat, lalu mengangguk pelan sambil menarik napas.
“Masih cukup kok. Malah ada lebih satu pack. Kemarin memang udah aku lebihin sedikit, jaga-jaga kalau ada kejadian kayak gini.”
Petugas itu terlihat lega.
“Makasih ya Bu, saya benar-benar takut tadi,” katanya sambil membungkuk sedikit.
“Nggak apa-apa, yang penting ngga banyak yang rusak. Kamu udah bantu banyak kok.”
Acara akhirnya dimulai. Suara musik anak-anak mengalun pelan dari speaker di sudut ruangan. Anak-anak TK dari sekolah lain mulai berdatangan dan duduk di kursi-kursi kecil yang disusun rapi. Beberapa guru pendamping sibuk mengatur posisi duduk sambil menyemangati murid-murid yang tampak tegang. Kata sambutan dibacakan oleh kepala sekolah, lalu disusul oleh perwakilan dari yayasan.
Sheina berdiri agak di pinggir, tetap mengamati area konsumsi sambil sesekali mengecek daftar. Tapi matanya menangkap sesuatu di seberang. Sebuah keramaian kecil muncul di dekat gerbang.
Seorang pria turun dari mobil hitam yang terparkir elegan. Jas abu-abu membalut tubuhnya dengan pas. Rambutnya ditata rapi, dan langkahnya tegap. Ada aura wibawa yang langsung menyita perhatian. Di sampingnya, beberapa orang lain ikut turun, mereka terlihat seperti para sponsor atau undangan kehormatan.
Sheina mengenali pria itu seketika. Davison.
Ia berdiri di antara para sponsor, matanya menyapu sekeliling. Saat pandangan mereka bertemu, waktu seolah berhenti sesaat. Tidak ada senyuman, hanya saling pandang dalam diam.
Di area penerimaan tamu, Merisa masih berdiri dengan clipboard di tangan. Langkahnya mendadak melambat saat melihat Davison turun dari mobil. Jas abu-abu yang membalut tubuh pria itu tampak mewah namun tetap elegan. Aura berwibawa langsung memancar begitu Davison melangkah ke area penyambutan dan mulai menjabat tangan beberapa orang penting dari yayasan.
“Itu kan cowok yang sering nganterin Sheina?" gumam Merisa pelan.
Alisnya mengerut. Ia mencondongkan tubuh sedikit, berusaha memastikan. Dan semakin ia perhatikan, semakin yakin.
"Ngapain dia di sini?”
Sejenak Merisa hanya memperhatikan, sampai ia mulai menangkap bisik-bisik kecil dari para guru dan panitia lain di sekitarnya.
“Itu katanya sponsor utama acara ini.”
“Iya, dia CEO Devaco Coffee, Davison siapa gitu.”
“Iya, ganteng banget ya."
Nama itu membuat langkah Merisa terhenti. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.
“CEO Devaco Coffee?” gumam Merisa.
Tangannya gemetar ringan. Ia buru-buru mengeluarkan ponsel, membuka mesin pencarian, dan mengetik cepat: CEO Devaco Coffee. Hanya butuh beberapa detik sampai sebuah nama muncul di layar: Davison Elian Sakawira.
Matanya membulat.
“Jadi beneran dia.”
Ia kembali melirik ke arah Sheina yang berdiri di kejauhan, lalu ke arah Davison. Keduanya masih saling tatap, seperti sedang berbicara lewat mata.
Merisa menggertakkan giginya pelan. Rasa tidak terima mengendap perlahan, menyesak hingga ke dada.
“Aku harus konfirmasi ini langsung ke Sheina,” bisiknya lirih. “Nggak mungkin dia bisa dapat cowok tajir dan ganteng kayak Pak Davison.”
Tangannya mengepal perlahan. Ponselnya bergetar di dalam tas, tapi ia tidak menggubris. Matanya masih tertuju pada dua orang yang kini saling pandang di tengah keramaian.
Rasa iri kembali tumbuh seperti duri. Kali ini lebih dalam. Lebih menusuk.
Merisa masih berdiri terpaku di tempatnya. Dunia di sekelilingnya seperti bergerak lambat. Ia melihat Davison masih tersenyum sopan saat berbincang dengan salah satu wakil kepala yayasan. Beberapa orang panitia lain mulai mengarahkan sponsor ke tempat duduk yang telah disiapkan, termasuk Davison.
Namun pandangan Merisa tak berpindah dari Sheina yang masih berdiri di sisi lain aula.
Pandangan Sheina tak berubah. Tidak ada senyum, tidak ada gelisah. Hanya tatapan tenang saat matanya dan mata Davison bertemu. Seolah tidak peduli pada ratusan pasang mata di ruangan ini.
Merisa menggigit bibir bawahnya pelan. Rasanya seperti perutnya diremas dari dalam. Ia tidak bisa mengerti apa yang dimiliki Sheina sampai bisa menarik orang seperti Davison?
“Sheina yang selalu diam, bahkan nggak pernah ikut tampil bisa punya cowok kayak dia?”
Merisa melirik ke pantulan dirinya di kaca pintu masuk. Riasannya sempurna, bajunya yang paling mencolok hari ini, tapi tak seorang pun tampak memperhatikannya. Semua pandangan mengarah ke Davison. Bahkan sebagian teralihkan pada Sheina.
Acara di panggung utama mulai bergerak ke sesi lomba pertama. Anak-anak kecil dengan pakaian lucu berdiri di barisan, siap untuk tampil. Sorak-sorai penonton mulai terdengar. Tapi di kepala Merisa, suara riuh itu memudar jadi gema yang tak jelas.
Ia melangkah pelan ke arah konsumsi, tempat Sheina berdiri. Wajahnya masih tenang, tapi langkahnya terasa berat. Sambil membawa clipboard, ia seolah punya alasan untuk mendekat.
Sheina sedang membantu membagikan kotak snack ke panitia, memastikan urutannya sesuai. Ia tidak menyadari Merisa berdiri beberapa meter di belakangnya, memperhatikan dengan tajam.
Begitu Sheina menoleh, mata mereka bertemu. Sheina mengangguk kecil, sopan seperti biasa.
Merisa mendekat, pura-pura mengecek daftar yang ia bawa.
“Shein,” panggilnya datar.
Sheina menoleh, “Iya?”
“Aku cuma mau nanya. Kamu kenal sama Davison Elian Sakawira?”
Sheina diam sesaat. Matanya memandangi Merisa, lalu mengangguk pelan.
“Iya.”
Merisa mencibir kecil, tapi ia tahan senyumnya.
“Itu cowok yang sering antar kamu itu?” tanyanya tanpa tedeng aling-aling, suaranya hampir seperti bisikan tapi penuh tekanan.
Sheina masih tetap tenang.
“Iya,” jawabnya singkat.
Sheina tersenyum kecil, tahu apa yang ada di pikiran Merisa. "Dia dekat banget bahkan lebih dari sekadar teman dekat."
Merisa tertawa kecil, seperti tak percaya.
“Kamu tau nggak dia itu sponsor utama hari ini? CEO Devaco Coffee.”
“Aku tau,” jawab Sheina lagi, masih dengan nada yang sama. Tidak ada kesombongan, tidak juga membela diri.
Reaksi itu justru membuat Merisa makin kesal.
“Kok kamu nggak pernah cerita? Atau kamu malu?”
Sheina menatap Merisa sebentar, lalu menjawab dengan suara datar namun tegas.
“Aku nggak merasa itu hal yang harus diumbar. Ini tempat kerja. Hubungan pribadi nggak perlu diumumin.”
Merisa terdiam. Kata-kata itu, seolah tamparan halus tapi dalam.
Di balik ketenangan Sheina, ada kekuatan yang selama ini tidak pernah ia lihat. Bukan suara keras, bukan tampilan mencolok, tapi sikap yang tahu batas. Yang tahu tempat.
Merisa masih menatap Sheina, matanya menyipit tipis. Bibirnya tersenyum kecil, tapi nada ucapannya mengandung sesuatu yang menggigit.
“Kadang aku mikir ya, Shein kamu tuh terlalu biasa buat jadi pusat perhatian. Tapi anehnya, orang-orang kayak kamu justru yang sering ‘dapet’ duluan. Mungkin karena mereka nggak tahu siapa kamu sebenarnya.”
Sheina berhenti sejenak, masih menata kotak snack di meja. Ia tidak langsung menoleh, tapi senyum tipis terukir di wajahnya, tenang, jelas bukan senyum basa-basi.
“Aku juga sering mikir, Ris. Orang yang terlalu pengen dilihat biasanya yang paling takut dilihat terlalu dalam.”
Ia menoleh perlahan. Tatapannya tak keras, tak menekan. Tapi dalam. Jelas. Penuh arah.
“Orang nggak harus tahu ‘siapa aku sebenarnya’ buat tetap milih aku. Tapi kalau seseorang cuma tertarik karena apa yang kelihatan, ya wajar sih kalau akhirnya mereka sering hilang di tengah jalan.”
Merisa terdiam. Tidak ada balasan. Tidak ada tawa. Hanya diam, dan tatapan yang kehilangan arah.
Sheina kembali memalingkan wajah. Tangannya merapikan clipboard di pelukannya. Lalu ia melangkah pergi, langkah ringan tapi mantap.
Dan saat itu juga, sesuatu dalam diri Merisa pecah pelan-pelan. Ia tidak diserang, tidak dijatuhkan, tapi disadarkan. Dalam diam.
Sheina merasa ringan. Bukan karena ia menang, tapi karena akhirnya ia bicara. Bukan untuk membalas, tapi untuk berhenti diam.
Dan dalam hatinya, ia tahu itu bukan akhir. Itu baru awal. Awal dari rasa yang akan terus tumbuh di dalam kepala Merisa.