Pertemuan antara Yohanes dan Silla, seorang gadis muslimah yang taat membawa keduanya pada pertemanan berbeda keyakinan.
Namun, dibalik pertemanan itu, Yohanes yakin Tuhan telah membuat satu tujuan indah. Perkenalannya dengan Sila, membawa sebuah pandangan baru terhadap hidupnya.
Bisakah pertemanan itu bertahan tanpa ada perasaan lain yang mengikuti? Akankah perbedaan keyakinan itu membuat mereka terpesona dengan keindahan perbedaan yang ada?
Tulisan bersifat hiburan universal ya, MOHON BIJAK saat membacanya✌️. Jika ada kesamaan nama tokoh, peristiwa, dan beberapa annu merupakan ketidaksengajaan yang dianggap sengaja🥴✌️.
Semoga Semua Berbahagia.
---YoshuaSatio---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YoshuaSatrio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#08
Baik Silla maupun Usna saling menatap namun dengan isi kepala yang berbeda. Usna memicingkan mata, menatap kesal pada Silla.
“Kenapa nama itu masih tersimpan di ponselmu? Nggak berubah sama sekali … aku curiga kalian–”
Silla segera memotong ucapan sepupu terbaiknya itu, “Santai … itu hanya karena aku benar-benar sudah melupakannya, dan sampai lupa belum mengganti nama kontak dia.” Silla berusaha menjelaskan pada Usna.
“Buat apa diubah? Harusnya dihapus saja!”
“Nah itu aku —”
Kali ini gantian Usna yang memotong ucapan Silla. “Apa?! Karena kamu masih berharap balikan lagi? Begitu kan?! Dasar cewek plin-plan!”
Amarah Usna bukannya tak berdasar, ia ingat betul bagaimana hancurnya Silla saat pria yang diberi nama dalam kontak Silla sebagai “SunRise” itu dengan tega mengkhianati kesetiaan dan kepolosan cinta Silla.
“Enggak, aku beneran udah lupa sama dia, bahkan aku juga lupa masih nyimpen kontaknya, beneran!” rengek Silla yang memang jujur seperti adanya.
“Terus, tuh … dia telpon lagi, mau diangkat atau didiamkan saja?” sewot Usna.
“Aku malas sebenarnya, tapi masa iya dicuekin gitu aja.”
“Kan-kan-kan … mulai lagi nih sifat sok baiknya!”
Silla meringis menanggapi Usna yang memilih meninggalkan Silla lalu melenggang menuju ke dapur.
Silla menatap layar ponselnya beberapa saat, menimbang dan mengolah hatinya sendiri. “Aku udah biasa aja sih, nggak ada salahnya kali ya cuma telpon doang kok!” monolog gadis berkacamata itu dengan tenang.
“Halo ….” sambut Silla dengan nada lembut khasnya.
“Hai! Apa kabarnya? Lama banget nggak lihat kamu di—” sahut seorang pria dari seberang panggilan.
“Kabar baik!” potong Silla menanggapi basa-basi Farhan, pria yang pernah mengisi hari-harinya dengan tawa.
“Galak amat Neng … lagi —”
Lagi-lagi Silla memotong ucapan Farhan. “Nggak lagi bayangin kamu, nggak lagi mikirin kamu, cuma maaf ya kontak masih ke-simpen karena emang beneran lupa belum hapus aja. Jangan ge-er dan jangan banyak tanya, se-lupa itu aku sama kamu, sampai nggak inget masih ada kontak tersimpan di hape. Jelas nggak?” cerocos Silla.
“Dih, hapal bener, kok kamu tahu, aku mau tanya itu?”
“Memangnya apalagi yang bakal ditanyain mantan kayak kamu? Paling seputaran itu aja kan … kamu nggak tahan pengen tahu kabar hidupku yang terbaru kan? Se-bahagia apa hidupku sekarang kan?”cerca Silla dengan sengaja.
“Eh, kok bener lagi sih tebakanmu … kamu ternyata sangat mengenalku sebaik itu, maafkan aku ya—”
Kembali lagi Silla memotong ucapan Farhan dengan nada sedikit meninggi. “Sudah selingkuh … maaf ya aku cuma khilaf … maaf ya aku terpaksa karena harus jadi anak baik penurut orang tua … cih! Bulshitt semua, gue hapal alasan nggak kreatifmu itu!”
Terdengar tawa terkekeh dari seberang panggilan. Farhan tampak begitu puas dengan jawaban-jawaban Silla yang baginya terdengar sangat tepat, namun di setiap ucapan Silla, terasa ada jarum-jarum kecil yang terbang menancap keseluruhan benak Farhan. Tak dipungkiri, mulai ada setitik rasa bersalah tumbuh disana.
“Nggak usah terharu Han! Semua sudah berlalu, tapi bagiku kamu hanya bagian dari tempat curhatku dimasa lalu. Jadi … jangankan berteman, sekedar bertatap muka saja aku malas melakukannya.”
“Itu artinya karena kamu masih tak terima dengan kesalahan yang aku lakukan … kamu belum melupakanku kan?”
“Cih!”
“Silla, maafkan aku … waktu itu aku benar-benar khilaf. Aku sadar sekarang ….”
TUT … TUT … TUT …
Silla mengakhiri panggilan telepon secara sepihak. Ia yang sudah baik-baik saja, ia yang sudah berusaha payah bangkit dan berhasil melupakan masa lalu dan cinta pertamanya itu, harus dipaksa kembali menghadapi betapa egoisnya Farhan.
Usna yang sedari tadi telah kembali dari dapur, dan bersembunyi di balik pintu,kembali masuk, lalu menghambur memeluk sahabat, sekaligus sepupu terbaiknya itu.
“Nangis aja kalau memang rasanya pengen nangis, kamu sudah hebat selama ini, jika laki-laki egois itu datang kembali, jangan dikasih kesempatan sedikit pun. Please!” pintanya memohon seraya mengelus punggung Silla.
Silla mengangguk dalam dekapan Usna. “Aku tahu! Aku nggak akan menyia-nyiakan tenagaku untuk pria se-egois dia lagi, udah cukup!”
“Bagus! Nah sekarang gimana kalau sore ini kita nonton aja? Kayaknya lagi heboh pada nonton lagi dilan milea … atau yang terbaru KKN di desa penari.”
“Dih apaan, masa nonton horor, nanti jadi takut pulang!” keluh Silla memekik.
“Eh, bener juga ya … Kamu sudah lebih horor soalnya. Hahaha .... ya udah kita siap-siap aja, jalan-jalan dulu, sambil lihat yg mau tayang apa.”
“Oke, kalau seru nonton, kalau enggak ya yang penting udah heppi!”
Tak ingin membuang waktu kedua gadis itu segera mewujudkan niatnya. Dengan mengendarai taksi online, kedua gadis itu tampak menikmati perjalanan menuju pusat perbelanjaan yang cukup besar di kota itu.
.
.
.
Sementara di rumahnya, Yohan tengah bersiap untuk janjinya dengan teman-temannya.
“Asli gue jadi nggak enak sama tuh ustadzah! Lu kok bisa sih Setega itu Yoh?” cerca Niko si biang kerok yang memasukkan Silla dalam ruang obrolan para pria itu.
“Kalian ini, cuma masalah gue keluar grup aja rempongnya kayak emak-emak!” sahut Yohan terdengar santai.
“Ya tapi kan gara-gara chat itu, ustadzah nya jadi merasa keki, terus ikutan keluar. Baca chatnya lah, nggak tega gue jadinya.”
“Gue udah minta maaf kan, kalian tahu gue nggak tahan sama notif yang bising! Gue suka hidup tenang!”
“Dasar sok penting lu!”
“Udah-udah … toh kita juga nggak bakal ketemu lagi sama cewek nggak jelas itu!”
Niko semakin meradang mendengar tutur Yohan yang semakin semaunya sendiri. “Apa kamu bilang? Cewek nggak jelas?!” bertanya mendekatkan tatapannya mengintimidasi Yohan.
Namun Yohan tak terpengaruh sama sekali. “Ah! Terserah kalian saja, tapi intinya hari ini aku nggak sengaja ketemu dia di kedai es krim, tapi … ah, udahlah … gue males inget-inget!”
“Dasar sakit!”
“Udah bro, kita ngumpul bukan buat berantem, terserah Yohan mau gimana, sebenarnya gue juga kurang setuju kalau tiba-tiba ada perempuan di grup chat, jadi nggak bebas kalau mau chat.” Pitra berusaha menengahi.
“Iya, gue tahu, tapi caranya itu loh.”
“Udahlah, kayak nggak hafal Yohan aja, kita keluar ajalah, makan misalnya kan lebih bermanfaat itu!” imbuh Hendi si soft spoken yang selalu tak kuat menahan lapar.
“Tumben Alex diem aja, sibuk ngapain sih lu Lex?” Pitra berusaha mencairkan suasana.
“Ini lagi nonton YouTube … lagi heboh film KKN desa penari, gue pikir cuma film doang, ternyata emang beneran ada tempat dan kisahnya.”
“Film apaan?” sahut Hendi mendekat karena penasaran, begitu juga dengan Pitra dan Niko. Sementara Yohan masih sibuk membersihkan diri.
“Wah, ngeri tempatnya … kita nonton aja yuk!” seru Pitra.
“Jauh bro, di Jawa Tengah ini!”
“Peak, nonton filmnya, bukan desa sebenarnya!” sahut Niko seraya memukul pelan punggung temannya itu.
“Bisa diatur sih, tapi yang jelas, jadwal gym hari ini nggak bisa digeser.”
“Apaan? Dah, kita berangkat yok!” Yohan kembali muncul dari dalam rumah.
Para pria itu mengakhiri sesi sore itu, melanjutkan aktivitas gym di tempat biasanya.
Tak ada hal istimewa yang terjadi, hingga para pria selesai dengan kegiatan olahraga mereka. Hanya nongkrong biasa seraya menikmati kopi sore itu.
“Lah? Kayaknya emang kita berjodoh sama ustazah itu, lihat dia juga lagi jalan-jalan kayaknya!” tunjuk Alex pada dua gadis yang duduk berdua di salah satu sudut cafe itu.
"Jangan ganggu ges, tuh ada prianya, lagi ngedate mungkin mereka."
...****************...
To be continued....