Hafsah bersimpuh di depan makam suaminya, dalam keadaan berbadan dua. Wanita berjilbab itu menumpahkan rasa lelah, atas kejamnya dunia, disaat sang suami tercinta tidak ada lagi disisinya.
Karena kesalahan dimasa lalu, Hafsah terpaksa hidup menderita, dan berakhir diusir dari rumah orang tuanya.
Sepucuk surat peninggalan suaminya, berpesan untuk diberikan kepada sahabatnya, Bastian. Namun hampir 4 tahun mencari, Hafsah tak kunjung bertemu juga.
Waktu bergulir begitu cepat, hingga Hafsha berhasil mendapati kebenaran yang tersimpan rapat hampir 5 tahun lamanya. Rasa benci mulai menjalar menyatu dalam darahnya, kala tau siapa Ayah kandung dari putrinya.
"Yunna ingin sekali digendong Ayah, Bunda ...." ucap polos Ayunna.
Akankan Hafsah mampu mengendalikan kebencian itu demi sang putri. Ataukah dia larut, terbelunggu takdir ke 2nya.
SAQUEL~1 Atap Terbagi 2 Surga~
Cuma disini nama pemeran wanitanya author ganti. Cerita Bastian sempat ngegantung kemaren. Kita simak disini ya🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 24
Setelah beberapa menit, Umi Khadijah bangkit dari duduknya karena telah selesai urusannya. Hafsah sedikit menunduk sopan, saat melihat Amar menyapanya melalau senyuman tipis, yang terkemas begitu santun.
"Mari, Hafsah!"
"Hati-hati, Umi!"
Setelah itu, Ibu dan anak itu berjalan keluar menuju halaman parkir. Tatapan Amar masih tidak luput dari dalam kantor Bank tadi. Diam-diam, dia menyembunyikan senyum sambil menunduk. Entah mengapa hatinya berdesir damai, kala melihat janda satu anak itu.
"Amar! Ayo," tegur Umi Khadijah, karena sang putra belum juga masuk.
"Oh, iya Umi ... Maaf, tadi ngalamun sedikit!" jawab Amar nyengir kuda. Setelah itu dia bergegas masuk kedalam mobilnya, dan segera menjalankannya.
*
*
*
Waktu sudah menunjukan pukul 11 siang. Namun Ayuna belum juga pulang.
Mbok Nah sejak tadi berdiri cemas diteras depan, sambil mengedarkan pandang, siapa tahu sang cucu sudah pulang. Sebelum berangkat kerja, Hafsah sudah memberitahu sang Nenek, bahwa Ayuna akan pulang diantarkan Ustadzahnya. Namun hingga pukul 11.00 bocah kecil itu belum juga pulang.
Sebuah mobil mewah bewarna hitam, berhenti didepan masjid sebrang jalan rumah Hafsah. Mbok Nah kira, itu mobil guru Ayuna yang sedang mengantarkan cucunya pulang. Namun pikiran mbok Nah salah. Yang datang ternyata Bastian.
Pria itu datang bersama sang Asisten, dan langsung bergerak menuju kerumah Hafsah.
"Assalamualaikum, Mbok! Apa Hafsah dirumah?" tanya Bastian, setelah menyalami tangan wanita tua itu.
"Walaikumsalam, Bastian! Hafsah kerja, Nak! Ini Simbok lagi bingung, karena Ayuna belum juga pulang sampai jam segini," ujar mbok Nah menampakan wajah cemasnya. Dia mengedarkan tatapan kearah jalan, berharap sang cucu segera pulang.
Bastian mengernyit, "Memangnya Ayuna kemana, Mbok?"
"Ayuna sekolah, Nak! Tapi belum pulang juga. Hafsah bilang pulangnya pukul 10 pagi. Ini sampai jam 11 kok belum datang. Mana Simbok nggak bisa jemput, ini kaki Simbok terasa nyeri kalau dibuat jalan jauh!" terang mbok Nah cemas.
"Sekolahnya dimana, Mbok? Biar Bastian jemput saja."
"Kamu pas masuk komplek sini, sebrang jalan ada sekolah Tk, kan? Nah disitu Yuna sekolah! Kira-kira 10 menitan dari sini."
"Ya sudah, biar Bastian saja yang jemput, Mbok! Ayo, Simbok ikut. Biar Dimas yang dirumah!"
Mbok Nah mengangguk, lalu berjalan keluar dituntun dengan sahabat cucunya itu. Namun baru tiba didepan Masjid, langkah mereka berhenti, saat melihat sebuah mobil bewarna putih berhenti dibelakang mobil Bastian.
Seorang wanita cantik dengan balutan abaya serta jilbab lebarnya, kini turun dari dalam mobil tadi, dan langsung bergerak membukakan pintu belakang. Dan disitulah Ayuna keluar, dengan wajah cerianya.
"Mbok Uti ...." seru Ayuna, yang kini sudah menghambur dalam pelukan sang Nenek.
Ustadzah Nikmah tersenyum sopan, dengan berkata, "Maaf, jika telat mengantarkan Ayuna pulang. Tadi sekalian nunggu Putri saya pulang!"
"Tidak apa-apa, Ustadzah! Terimakasih sudah mau mengantarkan cucu saya!" jawab mbok Nah tersenyum lega.
"Kalau begitu saya pamit dulu, Bu! Mari, Pak!" pamit ustadzah Nikmah. Setelah itu dia langsung masuk kembali kedalam mobilnya.
Setelah kepergian ustadzah Nikmah, mbok Nah mengajak kembali Bastian dan sang asisten untuk menuju rumah cucunya. Sementara Bastian, dia sejak tadi mengamati kedua orang didepannya kini. Mbok Nah ... Wanita tua itu begitu menyayangi Ayuna selayaknya cucunya sendiri. Bastian memejamkan mata dalam-dalam, berpikir, apakah Mamahnya juga akan mau menerima kehadiran putrinya? Setelah mengetahui siapa Ayuna sebenarnya. Dan apakah, Ayuna mau mengakui dirinya sebagai seorang Ayah? Setelah 5 tahun bocah kecil itu hidup terabaikan olehnya.
Namun Bastian akan tetap berusaha. Perlahan dia akan mengambil hati putri kandungnya terlebih dulu. Dan semoga saja, Hafsah juga mau menerima maafnya setelah ini.
Semua andaian-andaian itu hanya mampu memenuhi kepala Bastian saat ini.
"Paman? Bukannya Paman yang waktu itu pelnah meminta snack milik Ayuna, ya?" kata Ayuna dengan polosnya, saat dia menatap wajah Dimas.
Hehe ...
Dimas hanya mampu nyengir kuda, sambil menggaruk tengkuk kepalanya. "Ayuna masih ingat Paman? Ternyata kita bertemu lagi, ya!"
'Ayuna, maafkan Papah, Nak! Papah ingin memeluk kamu. Tapi Papah belum bisa' Bastian masih melekatkan pandanganya kearah Ayuna, hingga tak terasa kedua matanya memanas dan berkaca.
"Hallo, Ayuna-"
"Oh ya ... Paman ini kan, yang dulu pelnah ketemu sama Yuna, sama Bunda ... Pas gendong anak kecil. Iya kan, Paman? Sekalang, dimana anak Paman?" tanya Ayuna teringat pertemuannya waktu lalu, saat Bastian tengah menggendong Narendra.
Bastian sedikit tersenyum, merasa tertusuk belati tajam melalui ucapan Ayuna saat ini. Tanpa dia rasa, air matanya luruh melewati rahang kerasnya, kala mengingat bagaimana dia memperkenalkan Aisyah dan juga Narendra sebagai calon keluarga barunya. Dia tidak dapat mengira, jika bocah kecil yang pada saat itu berada didepannya, ternyata anak kandungnya sendiri.
Entah seperti apa, rasa sakit yang Hafsah rasa selama ini.
"Maafkan Paman ya, Ayuna! Paman jadi cengeng begini," ucap Bastian tersenyum disela rasa sesak yang menyergap dadanya. Dia mensejajarkan tubuhnya, sambil memegang tangan sang putri.
"Paman kan sudah gede! Kata Bunda, kalau orang dewasa nggak boleh nangis. Tapi Yunna pelnah deh, lihat Bunda nangis pas malem-malem. Bunda tidulnya sambil meluk foto Ayah. Kasian Bunda ya, Mbok!" kata Ayuna sambil mendongak, mengadukan semuanya pada sang Nenek.
Dan lagi, ucapan Ayuna yang kedua kalinya, mampu merobohkan kekuatan hati Bastian. Pria dewasa itu sedikit menunduk, merasa tidak pantas mengganggu ketenangan keluarga kecil Ragantara. Dialah ayahnya. Ayah kandung Ayuna. Tapi, Raga lah yang memberi rumah untuk Hafsah, agar bayi yang berada dalam kandungan wanita cantik itu juga merasakan kenyamanan, dicintai, serta disayang. Sementara Bastian, bukanya dia tidak mampu. Pria itu malah lari dari tanggung jawabnya, dengan alasan belum siap.
Mbok Nah hanya mampu tersenyum nanar. Dia masih berdiri dibelakang tubuh cucunya, sambil mengusap sayang kepala Ayuna.
"Ayo masuk saja Nak Bastian, Nak Dimas! Duduk dulu, biar Simbok buatin minum!"
"Iya, ayo Paman! Nanti Ayuna lihatin gambalan Ayuna disekolah tadi," seru Ayuna menarik tangan Bastian dan juga Dimas. Wajahnya tampak antusias merasa bahagia.
Setelah mereka semua masuk. Bastian dan Dimas lebih memilih duduk di karpet khusus anak, saat Ayuna juga meletakan tas sekolahnya disana.
Bocah kecil itu mengeluarkan buku gambar dari dalam tasnya. Ayuna membuka lembaran pertama, sambil berkata, "Paman, lihatlah gambalan Ayuna! Bagus, nggak?"
Bastian mengangguk, wajahnya terlihat sangat bahagia campur rasa haru. Dia mengusap kembali kepala Ayuna, "Bagus, Sayang! Ayuna benar-benar anak yang pintar!"
"Makasih Paman! Kata Bunda, Ayah dulu sangat menyukai lukisan. Ayah sangat sukaaa sekali melukis." gumam Ayunna yang jelas sekali, dia sangat merindukan sosok Ayahnya~Ragantara.
Bastian hanya dapat mengangguk. Rasanya sakit sekali. Seharusnya dia yang berada diposisi Ragantara. Dia yang menikahi Hafsah. Dia juga yang memberikan kehidupan layak untuk istri serta anaknya. Tapi mengapa? Mengapa dia dulu mengabaikan semuanya. Mengabaikan tanggung jawabnya kepada Hafsah.
Bastian hanya dapat menyesali semuanya.
"Sayang, jika Ayuna rindu dengan Ayah ... Dan ingin dipeluk oleh Ayah Raga, maka anggaplah Paman ini sebagai Ayah Ayauna sendiri. Ayuna bebas kok memeluk Paman. Ayuna juga bebas, ingin meminta apa aja sama Paman. Pasti nanti Paman turuti semuanya!"
Kedua mata Ayuna berbinar, namun tidak begitu lama. Dia langsung terduduk lesu diatas karpet, sambil menekuk wajah sedihnya.
"Paman, Ayuna ingin sekali setiap sore diajakin naik motor sama Ayah, sama seperti teman-teman Ayuna lainnya! Di taman, setiap sore banyak teman Yuna yang datang naik motor sama Ayahnya."
Ucapan polos itu, spontan keluar dari mulut mungil tanpa dosa. Ayuna sangat merindukan sosok seorang Ayah. Sosok yang dia anggap sebagai pahlawan tanpa pedang. Sosok yang dapat melindunginya setiap saat. Ditinggalkan saat masih didalam perut, membuatnya harus hidup dalam siksaan rindu yang tak berujung. Rindu ditimang oleh Ayahnya. Rindu didekap saat bayinya, dan masih banyak rindu yang dia simpan, terkemas rapi hingga dia tumbuh 5 tahun.
Dimas, dia memalingkan wajah sambil mendongak, mengedipkan matanya, agar buliran bening itu tidak jatuh. Dia tidak sanggup melihat pemandangan didepannya kini.
Sementara Bastian, dia sudah menangis hingga terisak. Rasanya lebih sakit dari sayatan belati tajam. Bagaimana dia dapat mengabaikan suara hati sang putri, yang telah dia abaikan selama ini.
"Sayang, sini dipeluk Paman!" ucap Bastian merentangkan tangannya.
Ayuna sedikit ragu. Namun karena kesungguhan wajah Bastian, dia mulai bangkit dan langsung menghambur dalam pelukan pria dewasa itu.
"Paman, apa begini rasanya dipeluk Ayah?" tanya Ayuna mendongak. Sedikit mengerjapkan matanya.
Bastian menangis tergugu. Dia mengeratkan pelukannya, seolah tidak ingin lagi kehilangan Ayuna dalam hidupnya.
"Ayuna boleh peluk Paman sepuasnya! Paman akan setiap sore datang, agar bisa mengajak Ayuna naik motor bersama. Ayuna, mau?"
Ayuna melonggarkan pelukannya. Dia menatap Bastian dengan bersungguh-sungguh. "Paman selius? Tapi kita halus ijin dulu sama Bunda ya, Paman! Aku takut Bunda malah, kalena kita tidak kenal sebelumnya."
Bastian hanya dapat mengangguk pasrah. Biar bagaimanapun, dia harus menghargai posisi Hafsah sebagai Ibunda Ayuna.