Kinara, seorang gadis berusia 24 tahun, baru saja kehilangan segalanya, rumah, keluarga, dan masa depan yang ia impikan. Diusir ibu tiri setelah ayahnya meninggal, Kinara terpaksa tinggal di panti asuhan sampai akhirnya ia harus pergi karena usia. Tanpa tempat tujuan dan tanpa keluarga, ia hanya berharap bisa menemukan kontrakan kecil untuk memulai hidup baru. Namun takdir memberinya kejutan paling tak terduga.
Di sebuah perumahan elit, Kinara tanpa sengaja menolong seorang bocah yang sedang dibully. Bocah itu menangis histeris, tiba-tiba memanggilnya “Mommy”, dan menuduhnya hendak membuangnya, hingga warga sekitar salah paham dan menekan Kinara untuk mengakui sang anak. Terpojok, Kinara terpaksa menyetujui permintaan bocah itu, Aska, putra satu-satunya dari seorang CEO muda ternama, Arman Pramudya.
Akankah, Kinara setuju dengan permainan Aksa menjadikannya ibu tiri atau Kinara akan menolak?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 7
Pagi itu rumah besar Arman Pramudya kembali hidup. Sinar matahari menyelinap masuk melalui jendela tinggi ruang makan, memantul di meja marmer panjang yang dipenuhi hidangan sarapan mewah, terlalu mewah untuk suasana yang terasa dingin.
Aksa duduk di kursinya, kaki kecilnya bergoyang pelan. Seragam TK rapi membalut tubuhnya, tas kecil bergambar dinosaurus tergantung di sandaran kursi. Matanya beberapa kali melirik ke arah ayahnya yang duduk di ujung meja, tenang, kaku, seolah dunia tidak pernah menyentuhnya.
Arman membaca laporan di tablet, wajahnya datar seperti biasa.
“Setelah sarapan,” kata Arman tanpa mengangkat kepala, “Kinara antar Aksa ke sekolah. Sopir sudah siap.”
Kinara yang sedang memberikan susu untuk Aksa langsung berhenti.
“Hah?” Ia menoleh cepat. “Saya yang antar?”
Arman akhirnya mengangkat pandangan. “Ya.”
“Terus … Pak Arman?”
“Aku tidak ikut.”
Aksa langsung menunduk, meski tidak berkata apa-apa. Tangannya meremas sendok kecil di depannya.
Kinara menangkap perubahan itu.
“Kenapa?” tanyanya spontan. “Kenapa Anda tidak mau mengantar Aksa?”
Arman meletakkan tabletnya pelan. “Dia bisa ke sekolah sendiri. Sopir akan mengantar. Itu tidak merepotkan siapa pun.”
Nada suaranya tenang, tapi dingin, seolah ini topik yang tidak layak diperdebatkan.
Kinara menatapnya lama. “Dia bukan pergi sendiri. Dia anak Anda.”
Arman mengerutkan kening tipis. “Aku sudah memastikan semua kebutuhannya terpenuhi.”
“Itu bukan yang saya maksud.”
Aksa semakin merunduk. Kinara bisa melihat jelas, anak itu terbiasa dengan penolakan kecil yang terus diulang sampai terasa normal.
Kinara menarik napas, menahan kesal.
“Pak Arman,” katanya tegas, tidak lagi ragu, “Aksa butuh Anda terlibat. Bukan hanya uang, bukan hanya fasilitas.”
Arman menatapnya tajam. “Jangan mengajarkanku cara menjadi ayah.”
Kinara tidak gentar, justru ia berdiri dari kursinya, mencondongkan tubuh sedikit ke meja.
“Saya akan mengajarkan,” katanya ketus, “karena yang Anda lakukan selama ini bukan menjadi ayah.”
Ruangan itu mendadak sunyi.
Pelayan yang berdiri di kejauhan menunduk lebih dalam. Tidak ada seorang pun yang berani bernapas terlalu keras.
“Aksa itu nakal,” lanjut Kinara dengan suara lebih rendah namun menusuk, “bukan karena dia ingin. Tapi karena dia ingin diperhatikan. Dia pintar, sensitif … dan kesepian.”
Arman mengepalkan tangan di atas meja dan rahangnya ikut mengeras.
Kinara menoleh pada Aksa, lalu kembali pada Arman. “Kalau Anda ingin hubungan kalian membaik, Anda harus hadir. Dalam hal kecil sekalipun. Mengantar ke sekolah itu bukan hal sepele bagi anak seusianya.”
Arman terdiam lama.
Matanya beralih ke Aksa. Bocah itu pura-pura sibuk dengan rotinya, tapi jelas mendengarkan setiap kata. Akhirnya Arman menghela napas pendek.
“Aku tidak terbiasa keluar rumah … tanpa urusan penting.”
“Ini urusan penting,” potong Kinara cepat. “Ini tentang Aksa.”
Sunyi kembali, dan bberapa detik terasa seperti menit. Lalu Arman berkata pelan, nyaris tidak terdengar, “Aku tidak ingin teman-teman dia melihatku … seperti ini.”
Kinara membeku, untuk pertama kalinya, ia melihat retakan nyata di balik dinding dingin Arman. Ia menurunkan suaranya.
“Justru teman dia perlu melihat Anda apa adanya, karena Aksa bangga punya Ayah seperti Anda."
Arman menatapnya lama, tatapan itu bukan marah melainkan bertarung dengan dirinya sendiri. Aksa perlahan mengangkat kepala, menatap ayahnya dengan mata penuh harap tanpa tuntutan, tanpa amarah. Hanya ingin ditemani, Arman menutup mata sesaat.
“Rudi,” katanya akhirnya.
Rudi yang sejak tadi berdiri di dekat pintu langsung maju. “Ya, Tuan?”
“Siapkan mobil utama.”
Kinara menahan napas.
“Aku ikut,” lanjut Arman singkat. “Sampai gerbang sekolah saja.”
Wajah Aksa langsung bersinar. “Daddy beneran ikut?!”
Arman mengangguk kecil. “Iya.”
Kinara tidak tersenyum, dia tahu ini baru langkah pertama. Langkah kecil tapi sangat berat bagi seorang pria yang hidupnya runtuh sejak kecelakaan itu. Dan entah kenapa melihat Arman menyerah bukan pada dirinya, tapi pada Aksa membuat dadanya terasa hangat.
Mobil hitam itu melaju perlahan memasuki kawasan sekolah TK Bintang Ceria.
Gerbangnya penuh warna, dengan gambar balon dan hewan lucu kontras tajam dengan aura dingin mobil mewah yang berhenti di depannya. Begitu mobil berhenti, Rudi turun lebih dulu. Ia membuka pintu belakang.
Arman masih ragu sejenak. Tangannya mencengkeram roda kursinya, rahangnya mengeras. Tatapan mata itu bukan tatapan CEO Mission Bar, melainkan pria yang belum siap dilihat dunia dalam kondisi paling rapuh.
“Daddy…” panggil Aksa pelan.
Satu kata itu cukup, Arman keluar dari mobil. Rudi membantu menurunkan kursi roda dengan cekatan. Kinara berdiri di samping Aksa, tangannya menggenggam tangan kecil itu erat. Begitu mereka melangkah masuk ke area sekolah, suasana langsung berubah.
Beberapa orang tua murid berhenti berbicara, tatapan mata beralih dan bisik-bisik pelan terdengar tidak semua berniat jahat, tapi cukup tajam untuk menusuk harga diri.
“Itu … Tuan Arman Pramudya?”
“CEO Mission Bar?”
“Dia lumpuh ya?”
"Katanya, sejak kecelakaan itu ... dia jarang keluar rumah,"
“Kasihan … tapi istrinya cantik sekali…”
"Sepertinya ... itu istri mudanya,"
Kinara bisa merasakan tubuh Arman menegang. Bahunya kaku, wajahnya semakin dingin. Ia mendekat setengah langkah, berdiri sejajar dengannya. Bukan untuk melindungi tapi untuk menunjukkan bahwa ia tidak sendirian.
Aksa justru terlihat bangga, dia berjalan di depan, dadanya dibusungkan.
“Itu Daddy aku!” serunya polos. Beberapa ibu terdiam. Seorang anak kecil melirik penasaran. Beberapa murid yang sering mengejeknya tak berani mendekat.
Arman menunduk sedikit, menatap Aksa. Guru TK menyambut mereka dengan ramah. “Selamat pagi, Aksa! Wah, hari ini lengkap ya … ada Daddy dan Mommy ya yang mengantar.”
Kata mommy dari bibir orang lain, membuat Kinara refleks menoleh. Arman juga membeku sepersekian detik tapi ia tidak membantah.
“Iya, Bu Guru,” jawab Kinara akhirnya. “Hari ini kami mengantar bersama.”
Guru itu tersenyum hangat. “Aksa anak yang pintar, hanya … kadang agak agresif. Tapi belakangan ini, dia jauh lebih tenang.”
Kinara menatap Aksa penuh arti.
“Itu karena sekarang dia merasa aman,” ucap Kinara.
Arman mendengar itu, dan entah kenapa kalimat sederhana itu menghantam dadanya lebih keras daripada hinaan siapa pun.
Aksa menoleh ke ayahnya. “Daddy jemput Aksa nanti?”
Arman ragu, Kinara menatapnya, tidak memaksa, tidak mengancam dan dia hanya memberi ruang.
“Daddy usahakan,” jawab Arman akhirnya.
Aksa tersenyum lebar, lalu memeluk ayahnya cepat sebelum berlari masuk ke kelas. Pelukan itu singkat dan terasa sangat anggung. Tapi cukup untuk membuat tangan Arman gemetar sesaat.
Ketika mereka berbalik pergi, bisik-bisik masih terdengar.
Namun Kinara berkata pelan, hanya untuk Arman, “Mereka bisa melihat apa pun yang mereka mau. Tapi yang penting … Aksa melihat ayahnya datang.”
Arman menatap lurus ke depan. “Kau tidak seharusnya memaksaku.”
Kinara menghela napas. “Dan Anda tidak seharusnya menghindar.”
Sunyi menyelimuti mereka di dalam mobil. Namun di balik keheningan itu sesuatu telah berubah. Arman menatap pantulan dirinya di kaca mobil pria di kursi roda, dengan bekas luka yang tak kasat mata. Dan untuk pertama kalinya sejak kecelakaan itu ia tidak membencinya sepenuhnya.
"Terima kasih," ucap Arman pelan, Kinara menoleh dan hanya mengangguk kecil sembari tersenyum manis.
"Ehem," Arman berdehem dan memalingkan wajahnya, berpura-pura membenarkan dasi saat melihat senyuman indah di wajah Kinara.
jangan dekat dekat mantan itu ibarat sampah.....masa iya kamu mau tercemar dengan aroma nya yang menjijikan....
Kini kalian telah menjadi satu...,, satu hati,, satu rasa dan satu pemikiran. Harus saling percaya dan jujur dgn pasangan,, karna ke depannya si Mak Lampir ibu kandungnya Aksa akan merongrong ketenangan,, kedamaian dan kebahagiaan keluarga kalian.
Waspada lah ....