NovelToon NovelToon
Cinta Untuk Nayla & Nando

Cinta Untuk Nayla & Nando

Status: tamat
Genre:CEO / Cinta Seiring Waktu / Tamat
Popularitas:204
Nilai: 5
Nama Author: tanty rahayu bahari

Nayla, seorang ibu tunggal (single mother) yang berjuang menghidupi anak semata wayangnya, Nando, dan neneknya, tanpa sengaja menolong seorang wanita kaya yang kecopetan. Wanita itu ternyata adalah ibu dari Adit, seorang pengusaha sukses yang dingin namun penyayang keluarga. Pertemuan itu membuka jalan takdir yang mempertemukan dua dunia berbeda, namun masa lalu Nayla dan status sosial menjadi penghalang cinta mereka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 7: Sepatu Tua di Lantai Marmer

​Nayla berdiri di depan cermin lemari pakaiannya yang sudah retak di bagian sudut. Ia mematut diri, memutar tubuh ke kanan dan ke kiri.

​Ia mengenakan kemeja putih lengan panjang terbaiknya—kemeja yang ia beli tiga tahun lalu saat diskon besar-besaran di department store. Warnanya sudah tidak seputih dulu, sedikit kekuningan di bagian kerah meski sudah ia rendam pemutih semalaman. Celana bahan hitamnya licin hasil setrikaan Nenek Ijah subuh tadi. Sepatu pantofel hitamnya mengkilap, menutupi lecet di bagian ujung jempol kaki berkat semir sepatu yang tebal.

​"Cantik, Nduk. Pas," puji Nenek Ijah yang duduk di tepi kasur sambil menyisir rambut Nando.

​"Beneran, Nek? Nggak kelihatan kampungan?" tanya Nayla cemas. "Ini perusahaan besar, Nek. Pasti saingannya orang-orang hebat yang bajunya bermerek semua."

​"Baju bermerek nggak ngejamin otak encer, Bu!" celetuk Nando polos sambil mengayunkan kakinya.

​Nayla tertawa, ketegangannya sedikit mencair. Ia menghampiri Nando, berlutut, dan memeluk putranya. "Doain Ibu ya, Sayang. Biar Ibu bisa beliin Nando robot yang bisa jalan sendiri."

​"Sama susu cokelat yang banyak ya, Bu?"

​"Siap, Bos Kecil."

​Setelah mencium tangan Nenek dan meminta restu, Nayla berangkat. Kali ini ia tidak naik motor. Ia tidak mau ambil risiko bajunya bau asap knalpot atau rambutnya lepek karena helm. Ia rela merogoh kocek lebih dalam untuk naik ojek online mobil (taksi online versi hemat) agar sampai di lokasi dengan rapi.

​Pukul 09.30 WIB.

Rahardian Tower menjulang gagah di jantung kawasan bisnis Sudirman. Gedung kaca setinggi 40 lantai itu memantulkan sinar matahari pagi, tampak seperti raksasa angkuh yang menatap remeh semut-semut di bawahnya.

​Nayla turun di depan lobi. Kakinya gemetar saat menapak lantai granit yang berkilauan. Aroma lobi itu berbeda—wangi kopi mahal, pengharum ruangan lavender, dan aroma uang. AC sentral yang dingin langsung menyergap kulitnya, kontras dengan panasnya Jakarta di luar sana.

​Orang-orang berlalu-lalang. Pria-pria dengan setelan jas rapi slim-fit, wanita-wanita dengan rok span, blazer modis, dan sepatu hak tinggi yang bunyinya tak-tik-tok berirama di lantai marmer. Mereka semua tampak percaya diri, memegang cup kopi dari brand ternama di satu tangan dan ponsel pintar keluaran terbaru di tangan lain.

​Nayla mengeratkan pegangannya pada tas selempang kulit sintetiknya yang talinya mulai mengelupas. Ia menyembunyikan sisi tas yang rusak itu ke arah dalam tubuhnya. Minder. Satu kata itu menghantamnya telak.

​"kamu cuma mau wawancara, Nay. Fokus. Kamu butuh kerjaan ini," bisiknya menyemangati diri sendiri.

​Ia berjalan menuju meja resepsionis untuk menukar kartu identitas dengan kartu akses tamu.

​"Tujuan ke lantai berapa, Bu?" tanya resepsionis cantik dengan ramah, namun matanya sempat melirik sekilas sepatu Nayla.

​"Lantai 15, Mbak. HRD. Wawancara dengan Bu Siska," jawab Nayla sopan.

​"Baik. Ini kartu aksesnya. Silakan tap di gate sebelah kiri, lalu naik lift B ya."

​Nayla mengangguk dan berjalan menuju deretan gate otomatis. Ia melihat antrean di depan lift. Sambil menunggu, ia mengeluarkan cermin kecil dari tas, mengecek apakah lipstik tipisnya masih ada.

​"Nayla?"

​Suara bariton yang familiar itu membuat cermin di tangan Nayla nyaris terlepas.

​Nayla menoleh cepat.

​Di sampingnya, berdiri Adit.

​Pria itu tampak berbeda dari pertemuan terakhir mereka di lobi gedung sebelah yang santai. Hari ini, Adit mengenakan setelan jas abu-abu gelap charcoal yang pas badan, dasi sutra biru tua, dan rambut yang ditata rapi ke belakang. Aura wibawanya begitu kuat, membuat Nayla reflek memundurkan langkah sedikit.

​"Mas Adit?" Nayla mengerjap tak percaya. "Loh? Mas ngapain di sini?"

​Adit tersenyum tipis. Dalam hati, ia menahan tawa melihat ekspresi kaget Nayla. Ia sengaja turun ke lobi lewat lift umum, bukan lift VIP eksekutif, hanya untuk 'kebetulan' berpapasan.

​"Saya? Ya kerja, Nay. Ini kan gedung perkantoran," jawab Adit santai, memasukkan satu tangan ke saku celana.

​"Oh... Mas kerja di sini juga?" mata Nayla membulat. "Di Rahardian Group?"

​"Ya... begitulah. Saya bantu-bantu di sini," jawab Adit merendah. Jawaban yang teknisnya tidak bohong—sebagai CEO, dia memang 'membantu' memastikan perusahaan tidak bangkrut.

​"Wah, dunia sempit banget ya," Nayla tersenyum lega. Setidaknya ada satu wajah yang ia kenal di tempat asing ini. "Mas Adit bagian apa? Pasti manajer ya? Jasnya bagus banget."

​Adit terkekeh pelan. "Saya di bagian... Pengawasan Umum. Keliling-keliling, mastiin semua berjalan lancar."

​"Oh, kayak General Affair atau Supervisor gitu ya? Keren banget Mas," puji Nayla tulus.

​Adit hanya mengangguk, menikmati kesalahpahaman ini. "Kamu sendiri? Ngapain di sini? Mau ketemu saya lagi buat balikin kue?" candanya.

​"Ih, ngga lah! Kuenya udah habis dimakan Nando," Nayla tertawa renyah. "Saya ada panggilan wawancara kerja, Mas. Di lantai 15."

​"Oh ya? Lamar jadi apa?"

​"Staf Admin Senior. Doain ya, Mas. Jujur saya deg-degan banget. Saingannya pasti lulusan luar negeri semua," Nayla meremas tali tasnya, kegugupannya kembali muncul.

​Adit menatap wanita di depannya. Ia melihat ketulusan dan ketakutan di mata itu. Tanpa sadar, tangannya terulur, menepuk pelan bahu Nayla. Sentuhan itu terasa hangat dan menenangkan.

​"Nggak perlu takut. Perusahaan ini butuh orang jujur dan pekerja keras kayak kamu, bukan cuma orang pinter yang lulusan luar negeri," ujar Adit lembut namun tegas. "Jadilah dirimu sendiri, Nayla. Itu senjata utamamu."

​Nayla terpaku menatap mata Adit. Ada keyakinan di sana yang entah kenapa menular padanya.

​Ting!

​Pintu lift terbuka.

​"Ayo masuk," ajak Adit, menahan pintu lift dengan tangannya agar tidak menjepit Nayla—sikap gentleman yang membuat beberapa karyawati di dalam lift saling berbisik genit melihat Adit.

​Mereka masuk. Lift penuh sesak. Nayla terdorong ke belakang, tubuhnya hampir menabrak dinding lift kalau saja Adit tidak berdiri di depannya, menjadi tameng dari desakan orang-orang.

​Aroma parfum Adit—woody dan maskulin—tercium jelas oleh Nayla karena jarak mereka begitu dekat. Jantung Nayla berdegup kencang, entah karena gugup wawancara atau karena kedekatan fisik ini.

​"Lantai 15," suara lift berbunyi.

​"Saya duluan ya, Mas," pamit Nayla sambil menyelip keluar.

​"Semoga sukses, Nayla," ucap Adit sambil tersenyum.

​Pintu lift tertutup, membawa Adit naik ke lantai 40, puncak kekuasaan gedung itu. Sementara Nayla menarik napas panjang di lorong lantai 15, bersiap menghadapi medan perangnya.

​Di ruang tunggu HRD, ada tiga kandidat lain. Dua perempuan muda yang dandanannya sangat stylish, dan satu pria berkacamata yang sedang membaca buku tebal bahasa Inggris.

​Nayla duduk di pojok, merasa kecil lagi.

​"Mbak, lamar posisi Admin Logistik juga?" tanya salah satu perempuan di sebelahnya, matanya menyapu penampilan Nayla dari atas ke bawah dengan tatapan menilai.

​"Iya, Mbak," jawab Nayla ramah.

​"Lulusan mana? Saya fresh grad UI lho. Teman saya yang itu lulusan Monash University Australia," ujarnya pamer tanpa diminta.

​Nayla tersenyum kecut. "Saya lulusan universitas negeri di sini kok, Mbak. Tapi sudah pengalaman kerja 5 tahun."

​"Oh... pengalaman ya," nadanya terdengar meremehkan. "Tapi denger-denger Rahardian Group nyarinya yang fasih Inggris aktif lho. Emang bisa?"

​Sebelum Nayla sempat menjawab (atau membela diri), pintu ruangan terbuka. Seorang staf HRD keluar memegang daftar nama.

​"Ibu Nayla Anindya?"

​Nayla berdiri tegak, mengabaikan tatapan sinis di sebelahnya. "Saya, Pak."

​"Silakan masuk. Pak Broto, Kepala Divisi Logistik, dan Bu Siska sudah menunggu."

​Nayla melangkah masuk ke ruangan wawancara. Ruangan itu dingin, berdinding kaca. Di balik meja besar, duduk seorang wanita muda ramah (Bu Siska) dan seorang pria paruh baya berwajah kaku (Pak Broto).

​"Selamat pagi, Ibu Nayla. Silakan duduk," sapa Bu Siska.

​Wawancara dimulai. Awalnya standar; perkenalan diri, pengalaman kerja. Nayla menjawab dengan lancar, meski sedikit gugup.

​Namun, suasana berubah tegang saat Pak Broto mulai bertanya teknis.

​"Di CV kamu tertulis kamu biasa menangani input surat jalan. Bagaimana kamu menangani selisih stok jika ada perbedaan antara fisik barang dan data sistem, sementara sopir truk sudah jalan?" tanya Pak Broto tajam, matanya menyelidik.

​Nayla teringat kejadian kemarin di kantor Pak Joko. Pengalaman pahit itu justru menjadi guru terbaiknya.

​"Pertama, saya tidak akan langsung menyalahkan sistem atau sopir, Pak," jawab Nayla tegas, matanya menatap lurus Pak Broto. "Saya akan cross-check dokumen gate pass keamanan dan rekaman CCTV gudang pada jam muat barang. Seringkali selisih terjadi karena human error saat hitung cepat. Jika selisih terbukti, saya akan langsung hubungi sopir untuk putar balik atau buat berita acara selisih di tempat tujuan agar transparan bagi klien. Kecepatan komunikasi adalah kunci agar klien tidak merasa ditipu."

​Pak Broto terdiam. Alisnya terangkat. Jawaban itu bukan jawaban teori buku teks. Itu jawaban praktisi lapangan yang sudah makan asam garam.

​"Hmm. Menarik," gumam Pak Broto. "Satu lagi. Kenapa kami harus menerima kamu? Penampilan kamu... maaf, terlihat sangat sederhana. Di sini kita sering bertemu vendor-vendor besar."

​Pertanyaan itu menusuk. Tapi kata-kata Adit di lift tadi terngiang di telinga Nayla. Jadilah dirimu sendiri. Itu senjatamu.

​Nayla tersenyum percaya diri.

​"Betul, Pak. Saya memang sederhana. Saya tidak punya pakaian mahal karena prioritas saya adalah anak saya. Tapi justru karena kesederhanaan itu, saya tahu nilai setiap rupiah perusahaan. Saya tidak akan membiarkan satu sen pun uang operasional bocor atau dikorupsi, karena saya tahu betapa sulitnya mencari uang. Bapak mencari fashion show atau mencari orang yang bisa menjaga aset logistik Bapak dengan nyawanya? Kalau yang kedua, saya orangnya."

​Hening.

​Bu Siska tersenyum lebar, tampak terkesan. Pak Broto menatap Nayla lama, lalu perlahan sudut bibirnya naik.

​"Jawaban yang berani," kata Pak Broto. Ia menutup map CV Nayla. "Saya suka orang berani."

​Nayla menghela napas lega yang tertahan.

​Sementara itu, di lantai 40, Adit sedang menonton siaran langsung CCTV ruang wawancara itu dari tablet di meja kerjanya.

​Ia mendengar semua jawaban Nayla.

​"Keren," gumam Adit pelan. Senyum bangga terukir di wajahnya. "Kamu memang beda, Nay."

​Ponsel Adit berbunyi. Pesan dari Pak Hadi HRD.

​Pak Broto sangat terkesan. Beliau merekomendasikan 'Hired' langsung. Bagaimana instruksi Bapak?

​Adit mengetik balasan singkat.

​Terima dia. Tawarkan gaji 20% di atas standar kita. Tapi ingat, jangan sampai dia tahu saya ada di balik ini.

​Takdir Nayla baru saja berubah di tangan pria yang ia kira hanya staf "Pengawasan Umum".

...****************...

Bersambung....

Terima kasih telah membaca 💞

Jangan lupa bantu like komen dan share❣️

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!