NovelToon NovelToon
Jodoh Ku Sepupuku

Jodoh Ku Sepupuku

Status: sedang berlangsung
Genre:Cerai / Keluarga / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:5.1k
Nilai: 5
Nama Author: Ann,,,,,,

Menikah dengan seseorang yang tumbuh bersama kita sejak kecil—yang rasanya sudah seperti saudara kandung sendiri—namun harus terpaksa menikah dengannya. Itulah yang kualami.

Namaku Alif Afnan Alfaris, seorang arsitek.
Sedangkan dia, Anna Maida, adalah adik sepupuku sendiri. Sepupu, kata ayahku, sudah sah untuk dinikahi—alasannya demi mendekatkan kembali hubungan darah keluarga. Namun sungguh, tak pernah sedikit pun terlintas di benakku untuk menikah dengannya.

Hubungan kami lebih mirip Tom and Jerry versi nyata. Setiap bertemu, pasti ribut—hal-hal kecil saja sebenarnya. Dia selalu menolak memanggilku Abang, tidak seperti sepupu-sepupu yang lain. Alasannya sederhana: usia kami hanya terpaut satu hari.

Anna adalah gadis cerdas yang menyukai hidup sederhana, meski ayahnya meninggalkan warisan yang cukup banyak untuknya. Ia keras kepala, setia, penyayang… dan menurutku, terlalu bodoh. Bayangkan saja, ia mau dijodohkan dengan pria yang sama sekali tidak ia kenal, di usia yang masih sanga

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ann,,,,,,, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Aku tidak punya.....! pacar

Setelah puas bermain dan berkeliling, kami akhirnya pulang ke rumah.

Mobil paman sudah terparkir lebih dulu. Dari kejauhan, aku melihat beliau duduk di kursi teras—peci hitam terpasang rapi, kaus hitam sederhana, sarung tergulung santai. Secangkir kopi mengepul di tangannya. Diam, tapi auranya penuh.

Anna turun lebih dulu, menenteng beberapa paperbag berisi hadiah dari mesin capit. Wajahnya lelah, tapi ada sisa senyum kecil yang jujur. Aku turun menyusul sambil menggendong Ayyan yang sudah terlelap, kepalanya bersandar di bahuku.

“Om…” gumamnya setengah sadar.

“Iya, Nak. Kita sudah pulang,” bisikku pelan, sambil mengusap lembut punggung nya.

Aku membawanya masuk ke kamar, membaringkannya dengan hati-hati, melepas sepatunya, lalu menarik selimut sampai ke dada kecilnya. Bian sudah lebih dulu masuk ke kamarnya—anak itu selalu tahu kapan harus memberi ruang.

Setelah memastikan semuanya aman, barulah aku keluar menuju teras.

Paman masih di sana.

Aku berdiri sebentar, lalu duduk di kursi seberangnya.

Kami diam. Hanya suara malam dan denting sendok kecil menyentuh cangkir.

“Anak-anak tidur?” tanya paman tanpa menoleh.

“Sudah, Man.”

Beliau mengangguk pelan, lalu menyesap kopi. Tatapannya lurus ke depan, bukan ke arahku.

“Kamu bawa mereka jalan-jalan?”

“Iya.”

“Bagus.”

Satu kata itu… entah kenapa rasanya seperti pujian besar.

Paman meletakkan cangkirnya. “Anna kelihatan lebih tenang.”

Aku mengangguk. “Dia kuat, Man. Cuma… capek.”

Paman menarik napas panjang. “Capek itu manusiawi. Yang tidak boleh… merasa sendirian.”

Aku menelan ludah. Kalimat itu seperti ditujukan langsung ke dadaku.

“Terima kasih sudah di sini, Lif,” lanjutnya pelan. “Tidak semua orang bisa tetap tinggal tanpa diminta.”

Aku tersenyum miring. “Dia sepupu saya, Man. Dari kecil sudah ribut bareng. Masa sekarang saya pergi?”

Paman menoleh akhirnya. Tatapannya tajam, tapi hangat. “Kamu laki-laki yang tahu batas.”

Aku terkekeh kecil. “Itu karena saya tahu… salah pegang dikit bisa digebukin.”

Paman mendengus pelan—nyaris seperti tertawa.

“Mulai besok,” katanya kemudian, suaranya kembali tenang tapi tegas, “Anna dan anak-anak tidak lagi berjalan sendiri. kita hadir sebagai Keluarga .”

Aku mengangguk mantap. “Selama saya di sini, Man… rumah ini aman.”

Paman berdiri, menepuk bahuku satu kali—keras, singkat, tapi penuh makna. “Itu sudah cukup.”

Beliau melangkah masuk ke dalam rumah. Aku tetap duduk di teras sebentar, memandang langit malam.

Dalam hati aku tahu, malam ini bukan tentang kemenangan, bukan tentang balas dendam.

***

Setelah sholat Isya, aku dan paman keluar rumah.

Entahlah, sejak tadi aku merasa ada sesuatu yang ingin beliau bicarakan. Tatapannya terlalu sering singgah ke arahku—bukan menilai, tapi seperti menimbang. Anehnya, hanya aku yang menyadarinya. Yang lain sibuk dengan dunia masing-masing.

Aku mengenakan kaus hitam dan celana pendek. Paman juga—entah angin apa, beliau tiba-tiba mengajakku olahraga malam-malam begini. Katanya badan mulai kurang kekar. Aku hampir ketawa. Badan paman jelas masih tercetak tegas di balik kausnya. Kalau soal minder… ya sedikitlah. Dikit doang.

Kami berjalan berdampingan menyusuri jalan kompleks yang sepi. Lampu jalan temaram, angin malam Palu terasa hangat.

“Lif,” paman membuka suara tiba-tiba, “kamu punya pacar?”

Aku berhenti melangkah sesaat, lalu menjawab jujur. “Nggak, Man.”

Singkat. Padat. Tanpa basa-basi.

Paman mengangguk, seolah sudah menduga jawabanku. “Paman tahu.”

Aku melirik ke arahnya. Beliau tetap menatap lurus ke depan.

“Kamu itu…” paman berhenti sejenak, menarik napas pelan, “…tidak pernah benar-benar jauh darinya.”

Dadaku bergetar tipis.

“Paman sudah sadar sejak kalian baru lulus,” lanjutnya. “Waktu itu paman pikir kalian itu bersaudara yang terlalu dekat. Tapi sekarang…”

Langkah kami melambat.

“Sekarang paman melihatnya berbeda,” ucap paman, akhirnya menoleh padaku. Tatapannya serius, tapi tidak menghakimi. “Kalau kamu mau jaga adikmu… paman setuju.”

Aku terdiam.

Bukan karena tidak siap, tapi karena beratnya kepercayaan yang baru saja diletakkan di pundakku.

“Rasanya,” paman melanjutkan, suaranya lebih rendah, lebih dalam, “paman tidak bisa percaya orang lain selain kamu.”

Aku menelan ludah. Tenggorokanku terasa kering.

“Man…” aku menggaruk tengkuk, refleks lama tiap gugup. “Aku nggak janji jadi laki-laki sempurna. Aku juga masih belajar. Tapi satu hal yang bisa paman pegang—aku nggak akan ninggalin dia. Dan anak-anak.”

Paman berhenti melangkah. Kami berdiri berhadapan di bawah lampu jalan.

“Cukup,” katanya singkat. “Itu sudah lebih dari cukup.”

Beliau menepuk pundakku, kali ini lebih lama. “Jaga batas, jaga niat. Jangan rusak karena emosi. Anna itu kuat, tapi tetap perempuan.”

Aku mengangguk. “Iya, Man. Saya ngerti.”

Kami melanjutkan langkah. Malam terasa lebih sunyi, tapi hatiku justru lebih mantap.

Aku sadar, ini bukan soal cinta yang diumumkan, bukan soal menggantikan siapa pun.

Ini soal bertahan,

soal hadir,

soal menjaga—tanpa perlu banyak kata.

Dan untuk pertama kalinya, aku tidak lari dari tanggung jawab itu.

1
Dew666
🍭🔥
Ann: terimakasih banyak 🙏🙏🙏
total 1 replies
DEWI MULYANI
cerita sebagus ini kok gak ada yg baca sih
semangat thor
Ann: terimakasih 🙏🙏🙏
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!