NovelToon NovelToon
Ayah Anakku, Ceo Amnesia

Ayah Anakku, Ceo Amnesia

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO Amnesia / Bertani / Romansa pedesaan
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: indah yuni rahayu

Lia, gadis desa Tanjung Sari, menemukan seorang pria pingsan di pematang sawah tanpa ingatan dan tanpa identitas. Ia menamainya Wijaya, dan memberi lelaki itu tempat pulang ketika dunia seolah menolaknya.

Tekanan desa memaksa mereka menikah. Dari pernikahan sederhana itu, tumbuh rasa yang tak pernah direncanakan—hingga Lia mengandung anak mereka.

Namun Wijaya bukan lelaki biasa.

Di kota, keluarga Kusuma masih mencari Krisna, pewaris perusahaan besar yang menghilang dalam kecelakaan misterius. Tanpa mereka sadari, pria yang dianggap telah mati kini hidup sebagai suami Lia—dan ayah dari anak yang belum lahir.

Saat ingatan perlahan mengancam kembali, Lia harus memilih: mempertahankan kebahagiaan yang ia bangun, atau merelakan suaminya kembali pada masa lalu yang bisa merenggut segalanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indah yuni rahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bisik yang Tidak Pernah Diam

Pagi itu, kabut turun lebih tebal dari biasanya.

Lia berdiri di depan rumah, menyapu halaman yang masih basah oleh embun. Gerakannya pelan, teratur, seolah ia sedang menenangkan pikirannya sendiri. Dari balik pintu, Mas Wijaya duduk di bangku kayu, memperhatikan istrinya dengan tatapan yang tak bisa ia jelaskan maknanya.

“Aku ke sawah sebentar,” katanya.

Lia menoleh. “Mas Wijaya jangan terlalu lama. Kepalamu belum benar-benar sembuh.”

Wijaya tersenyum tipis. “Aku hati-hati.”

Panggilan itu—Mas Wijaya—selalu membuat dadanya menghangat. Entah kenapa, dua kata itu terasa seperti jangkar. Seperti penegasan bahwa ia memang milik tempat ini.

Di jalan menuju sawah, Wijaya berpapasan dengan beberapa warga.

“Pagi, Mas,” sapa mereka.

“Pagi,” jawab Wijaya singkat.

Namun ia merasakan sesuatu yang berbeda. Tatapan mereka tidak lagi sekadar ramah—ada jeda, ada bisik kecil setelah ia lewat.

“Katanya kemarin ada orang asing kelihatan mondar-mandir,” suara itu terdengar samar.

“Iya, aku dengar juga.”

Wijaya melangkah lebih cepat. Dadanya terasa tidak nyaman.

Di warung kopi, Jono duduk bersama dua warga lain.

Gelas kopinya sudah dingin, tapi ia belum menyentuhnya. Pikirannya masih terpaku pada tayangan televisi kemarin, pada wajah yang tidak bisa ia lupakan.

“Mas Jono,” kata salah satu warga, “kamu kan sering bareng Lia.”

Jono menoleh. “Kenapa?”

“Itu pria yang tinggal serumah dengan Lia… asalnya dari mana sih?”

Pertanyaan itu terdengar biasa. Terlalu biasa.

Jono tersenyum kecil. “Entahlah. Katanya lupa.”

“Lupa bisa sejauh itu?” timpal yang lain.

Jono mengangkat bahu. “Namanya juga orang hilang ingatan.”

Namun setelah itu, ia terdiam. Kata orang tiba-tiba terasa kurang tepat.

Siang hari, Lia mengantar makan ke sawah.

Wijaya duduk di bawah pohon, membuka bekal yang dibawanya. Lia memperhatikannya diam-diam—cara ia duduk tegak, cara ia menyusun alat sebelum makan, semuanya rapi.

“Kamu capek?” tanya Lia.

Wijaya menggeleng. “Tidak. Aku justru merasa… tenang di sini.”

Lia tersenyum. “Desa memang begitu.”

Wijaya menatap sawah yang membentang. “Kadang aku takut, Lia.”

“Tentang apa?”

“Kalau suatu hari aku ingat… dan ternyata aku bukan orang baik.”

Lia terdiam sejenak, lalu duduk lebih dekat. “Mas Wijaya, ingatan boleh hilang, tapi pilihanmu hari ini nyata.”

Sore itu, hujan turun lagi.

Di ujung desa, Natan berjalan kaki menyusuri pematang. Ia sengaja tidak membawa mobil. Kali ini, ia ingin melihat lebih dekat—bukan hanya orangnya, tapi lingkungannya.

Ia melihat Lia dan Wijaya dari kejauhan.

Cara mereka berjalan berdampingan.

Cara perempuan itu sesekali menoleh memastikan langkah pria itu aman.

Natan berhenti.

Dia bahagia, pikirnya. Dan pikiran itu justru membuat dadanya terasa berat.

Malam datang membawa sunyi yang lain.

Di rumah, Surti sedang menyalakan televisi. Lia sebenarnya ingin mematikannya, tapi Surti lebih cepat.

Berita berganti cepat. Tidak ada wajah, tidak ada nama.

Namun Wijaya tiba-tiba memegang kepala.

“Mas Wijaya?” Lia panik.

“Aku mimpi aneh,” katanya pelan. “Ada seseorang memanggil namaku… tapi bukan Wijaya.”

Lia membeku.

“Apa yang kamu dengar?” tanyanya hati-hati.

Wijaya menggeleng. “Aku tidak ingat. Hanya… rasanya asing.”

Lia menenangkan. “Tidak apa-apa. Kamu di rumah.”

Namun di luar, angin malam berdesir lebih kencang.

Bisik-bisik mulai tumbuh.

Tatapan mulai berubah.

Dan beberapa orang mulai merasa, ada sesuatu yang tidak sepenuhnya milik desa ini.

Sementara itu, jauh dari rumah kecil Lia,

sebuah rencana perlahan disusun kembali, bukan dengan kekerasan, melainkan dengan kebenaran yang menunggu waktu untuk muncul.

.

Sore itu, setelah mengantar bekal, Lia tidak langsung pulang.

Ia duduk di pematang sawah, menunggu Wijaya menyelesaikan pekerjaannya. Angin berembus pelan, menggoyangkan padi yang mulai menguning. Pemandangan itu seharusnya menenangkan, tapi pikiran Lia justru terasa penuh.

Beberapa ibu desa lewat sambil membawa ikatan rumput.

“Calon suaminya Lia rajin ya sekarang,” ucap salah satu dari mereka sambil tersenyum tipis.

“Iya,” sahut yang lain. “Cepat betul menyesuaikan diri.”

Lia membalas dengan senyum sopan. Namun setelah mereka berlalu, ia menghela napas panjang. Kata-kata itu terdengar baik, tapi nadanya menyisakan sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan.

Bukan pujian. Lebih seperti penilaian. Ia melirik Wijaya dari kejauhan. Lelaki itu sedang membersihkan tangannya di sungai kecil, menunduk dengan sikap yang begitu bersahaja. Tidak ada yang berlebihan, tidak ada yang mencolok.

Namun entah kenapa, semakin hari Lia merasa semakin banyak mata yang memperhatikan.

Menjelang magrib, Lia dan Wijaya berjalan pulang bersama.

Langit berubah jingga, lalu perlahan gelap. Di jalan sempit desa, mereka berpapasan dengan Jono lagi. Kali ini, Jono tidak menyapa.

Ia hanya berdiri di depan rumahnya, berpura-pura mengikat karung, tapi matanya jelas mengikuti langkah mereka.

Lia merasakan itu. “Kita langsung pulang saja,” bisiknya. Wijaya mengangguk.

Saat mereka melewati Jono, lelaki itu berkata tanpa menoleh, “Desa ini kecil, Lia. Semua orang saling tahu.”

Langkah Lia terhenti.

“Kalau mau bilang sesuatu, bilang saja,” ucapnya, berusaha tenang.

Jono akhirnya menoleh. Tatapannya sulit ditebak. “Aku cuma tidak ingin kamu kenal orang yang salah.”

Wijaya menatap Jono lurus. “Aku tidak pernah berniat menyusahkan siapa pun.”

Jono tersenyum miring. “Itu yang sering orang bilang.”

Lia menarik napas dalam-dalam. “Kami pamit.”

Mereka melanjutkan langkah. Namun jantung Lia berdegup lebih kencang dari biasanya.

Malam itu, hujan kembali turun.

Lia duduk di samping Wijaya, menjahit pakaian yang sobek. Cahaya lampu redup membuat bayangan mereka menempel di dinding.

“Lia,” panggil Wijaya pelan.

“Hmm?”

“Kamu menyesal tidak… bertemu denganku?”

Jarum di tangan Lia berhenti.

“Kenapa tiba-tiba bertanya begitu?”

Wijaya menunduk. “Karena aku merasa membawa masalah.”

Lia meletakkan jahitannya. Ia menggeser duduknya lebih dekat. “Mas Wijaya, masalah datang bukan karena kamu. Tapi karena orang-orang tidak suka pada hal yang tidak mereka pahami.”

Mas Wijaya menatapnya. “Kalau suatu hari aku harus pergi?”

Pertanyaan itu membuat dada Lia sesak.

“Kamu mau pergi?” tanyanya balik.

Mas Wijaya menggeleng cepat. “Tidak. Aku hanya… takut.”

Lia menggenggam tangannya erat. “Selama kamu memilih tinggal, aku di sini.”

.

Di ujung desa, Natan berteduh di bawah atap rumah kosong. Ia memperhatikan rumah Lia dari kejauhan. Lampu di dalam menyala temaram, memperlihatkan dua bayangan yang duduk berdekatan.

Natan menelan ludah. Dia tidak sendirian, pikirnya. Dan itu mengubah segalanya.

Ia membuka ponsel, menatap foto lama yang tersimpan rapi—seorang pria berdiri di depan gedung tinggi, senyum tipis, tatapan tajam.

Lalu ia menatap kembali ke arah rumah kecil itu. Pria yang sama. Namun hidup yang berbeda.

Natan memasukkan ponsel ke saku. Malam ini, ia memutuskan satu hal: ia tidak akan gegabah. Karena semakin jelas baginya, kebenaran bukan hanya akan mengguncang satu orang, melainkan seluruh kehidupan yang sedang dibangun dengan susah payah.

.

Beberapa hari kemudian, bisik-bisik di desa tak lagi sekadar suara lirih.

Kehadiran seorang pria asing yang tinggal serumah dengan Lia mulai menjadi bahan pembicaraan. Tidak ada yang berani berkata langsung, tapi tatapan berubah, sapaan menjadi lebih singkat.

Suatu sore, Pak RT datang bersama dua orang sesepuh.

“Lia,” ucapnya pelan, “kami tidak berniat menghakimi. Tapi kamu paham bagaimana desa ini berjalan.”

Lia menunduk.

“Seorang laki-laki dan perempuan yang tinggal serumah tanpa ikatan resmi,” lanjut Pak RT, “bisa menjadi aib. Bukan hanya untukmu, tapi juga untuk orang tuamu.”

Wijaya berdiri di samping Lia. “Kalau itu masalahnya,” katanya tenang, “aku bertanggung jawab.”

Pak RT menatapnya lama. “Tanggung jawab di desa ini punya cara sendiri.”

Malam itu, Lia duduk di beranda rumah, menatap halaman yang gelap. Di sampingnya, Wijaya diam cukup lama sebelum akhirnya berkata, “Kalau kamu tidak siap, aku bisa pergi.”

Lia menggeleng.

“Aku tidak ingin kamu pergi,” jawabnya lirih. “Aku hanya tidak tahu apakah aku berani.”

Wijaya menoleh padanya. “Aku tidak ingat masa laluku. Tapi aku tahu satu hal, aku memilih kamu.”

Kata-kata itu sederhana, tapi cukup untuk membuat keputusan yang selama ini tertahan akhirnya diucapkan.

Dan malam itu, tanpa sorak sorai, tanpa janji muluk,

Lia dan Wijaya sepakat menjalin hubungan resmi—

bukan karena paksaan semata,

melainkan karena keinginan untuk bertahan bersama.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!