Jian Feng, seorang anak haram dari keluarga bejat, dipaksa menikahi Lin Xue, gadis cantik namun cacat dan sekarat.
Dipertemukan oleh takdir pahit dan dibuang oleh keluarga mereka sendiri, Jian Feng menemukan satu-satunya alasan untuk hidup: menyelamatkan Lin Xue. Ketika penyakit istrinya memburuk, Jian Feng, yang menyimpan bakat terpendam, harus bangkit dalam kultivasi. Ia berjanji: akan menemukan obat, atau ia akan menuntut darah dari setiap orang yang telah membuang mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agen one, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22- Pengakuan di ambang kematian
BOOM!
Ledakan super kuat terjadi di tempat yang sangat jauh dari Kota Sungai Besi. Jian Feng tidak tahu ia sampai di mana, hutan belantara mana yang menjadi saksi pelariannya. Tubuhnya menghantam tanah dengan kecepatan meteor, menciptakan kawah besar selebar sepuluh meter.
Pepohonan di sekitar hancur menjadi serbuk kayu. Debu mengepul tinggi.
Di tengah kawah itu, Jian Feng masih memeluk tubuh Lin Xue erat-erat. Punggungnya menerima seluruh dampak benturan, melindungi istrinya dari guncangan fatal.
Dengan langkah pincang dan menyeret kaki kirinya yang patah, ia berjalan keluar dari kawah. Napasnya terdengar seperti bellow tua yang rusak.
Ia menatap ke arah Lin Xue yang ada di gendongannya. Wajah istrinya pucat, tetapi dadanya masih naik turun. "Jangan... mati... Lin Xue." Suaranya parau, penuh ketakutan. Bukan takut mati, tapi takut ditinggalkan sendiri di dunia yang kejam ini.
Dia akhirnya berhenti di sebuah batu besar yang dingin dan lembap, lalu bersandar di sana. Ia mendudukkan Lin Xue di pangkuannya, posisi yang memastikan Qi bisa mengalir dengan lancar.
Tubuh Jian Feng hancur. Kulitnya retak-retak seperti tanah kemarau, darah merembes dari setiap pori-pori. Kekuatan yang dikeluarkan karena rusaknya seratus rantai di alam bawah sadar hampir membuat tubuh fisiknya hancur total.
Baru saja duduk dan bersandar, dada Jian Feng bergejolak.
"HOEK!"
Jian Feng tiba-tiba muntah darah. Ia refleks menutupinya dengan tangan agar tidak mengotori wajah Lin Xue, tetapi darah itu terlalu banyak.
Darah hitam pekat—tanda kerusakan organ dalam yang parah—keluar melalui celah jarinya dan mengenai pakaian putih Lin Xue. Bukan satu kali atau dua kali, tapi lima kali tanpa henti. Bau amis darah memenuhi udara hutan yang sunyi.
Wajahnya kini lebih pucat daripada mayat. Tapi dia tidak peduli dengan keselamatannya sendiri. Ia memejamkan mata, mengabaikan rasa sakit yang membakar seluruh sarafnya, dan menggunakan sisa Qi terakhirnya—Qi kehidupan—untuk menyembuhkan luka tusukan di perut Lin Xue.
Dia terus melakukan itu. Tangannya gemetar hebat di atas perut Lin Xue. Cahaya hijau samar berpendar, kontras dengan darah hitam di sekitarnya.
KREK... KREK...
Suara mengerikan terdengar dari dalam tubuh Jian Feng. Dantian-nya perlahan retak. Rasa sakitnya melebihi tusukan seribu pedang. Ini adalah penyiksaan gila yang hanya bisa ditanggung oleh tekad baja.
Setelah melakukan proses itu selama delapan jam penuh tanpa bergerak, di bawah sinar bulan yang mulai muncul, Lin Xue akhirnya sadar.
Ia membuka mata perlahan. Pandangannya kabur, namun indra penciumannya langsung disergap bau darah. Ia terkejut setengah mati ketika melihat wajah Jian Feng yang sangat dekat, pucat pasi, dengan aliran darah kering di sudut bibir, hidung, dan telinga.
"J-Jian Feng! K-kenapa? Kenapa kau berkorban sampai segininya hanya untukku? Berhenti! Jangan sembuhkan lukaku lagi!" Lin Xue menjerit histeris. Ia mencoba menghentikan Jian Feng dengan menyingkirkan tangan suaminya dari perutnya.
Tapi tangan Jian Feng kaku, tidak mau bergeser. Jian Feng tidak menurut.
"D-diam... Lin Xue..." Dia sangat kesulitan untuk berbicara, tenggorokannya terasa hancur. "I-ini... ini bukan salahmu... Aku melakukan ini... karena kau adalah... tanggung... jawabku... Kau adalah I-istriku... OHOK!"
Jian Feng batuk darah kembali, cairan hitam itu membasahi tangan Lin Xue yang mencoba menahannya.
Lin Xue menangis tersedu-sedu, air matanya bercampur dengan darah di wajah Jian Feng. "Sudah cukup! Aku mohon! Aku tidak ingin sembuh jika harganya adalah nyawamu! Aku tidak ingin kau mati!"
Jian Feng menatap mata Lin Xue. Pandangannya mulai meredup, dunia di sekelilingnya menjadi gelap. Ia tidak lagi sanggup bicara.
"S-sudah kubilang... jangan menangis... gadis Cerewet..."
Suara itu bergema langsung di kepala Lin Xue. Jian Feng menggunakan sisa kekuatan Jiwa Sejati-nya untuk melakukan telepati, karena mulutnya sudah tak sanggup lagi berucap.
"Sekarang aku akan menceritakan kembali masa laluku... jadi... diam dulu ya..." Jian Feng memaksakan senyum tipis, senyum yang sangat rapuh.
Sambil terus menyembuhkan luka di perut Lin Xue, suara telepati Jian Feng mengalun lembut, kontras dengan kondisi fisiknya yang mengerikan.
*"Dulu, aku pernah berpikir. Bagaimana jika aku menikah dan mempunyai anak? Apa aku juga akan bersikap seperti ayahku dan ibuku yang brengsek? Apa darah mereka yang mengalir di tubuhku akan membuatku menjadi monster seperti mereka? Aku sangat takut menjadi seperti mereka."*
Mata merah Jian Feng perlahan memudar kembali menjadi hitam, tanda kekuatan iblisnya surut.
*"Makanya, ketika aku melihatmu, ketika aku menikahimu... aku berusaha menjaga dan bersikap sebaik mungkin sebagai seorang suami. Aku ingin membuktikan pada diriku sendiri bahwa aku berbeda. Aku ingin menjadi orang yang bertanggung jawab, pelindung yang tidak pernah kumiliki saat kecil."*
Napas Jian Feng semakin pendek.
*"Aku merasa bahagia ketika kau bahagia, Lin Xue. Senyummu adalah satu-satunya hal yang nyata bagiku. Jadi janganlah menangis karena ini semua bukanlah salahmu. Aku rela berkorban untukmu... Hanya untukmu seorang."*
Telepati itu perlahan memudar, seperti sinyal yang kehilangan daya.
Lin Xue sangat terharu. Hatinya hancur berkeping-keping melihat ketulusan pria di hadapannya. Ia memegang pipi Jian Feng yang dingin dengan kedua tangannya.
"A-aku... aku men—" Sebelum dapat mengungkapkan isi hatinya sepenuhnya.
Kepala Jian Feng terkulai berat ke depan. Kesadarannya putus.
"Aku mencintaimu, Jian Feng! Jangan tinggalkan aku!" jerit Lin Xue memecah keheningan hutan.
Wajah Jian Feng menunduk di bahu Lin Xue, darah dari kepalanya menetes di pipi istrinya, menyatukan mereka dalam duka.
Di Alam Bawah Sadar:
Gelap. Kosong.
Jian Feng berdiri di ruang hampa itu. Di depannya, Feng—sisi gelapnya—sedang mencengkeram bahunya dengan kasar.
"KENAPA KAU TIDAK MEMBUNUH DAN TERUS MEMBUNUH, JIAN FENG?! KITA BISA MENGHANCURKAN MEREKA SEMUA JIKA KAU TIDAK MENAHANKU!" teriak Feng.
Jian Feng diam sejenak, tatapannya lelah. "Apa kau buta, hah? Apa kau tidak lihat bahwa tubuh kita tidak mampu menahan kekuatan itu? Lagi pula... ini demi keselamatan Lin Xue. Jika aku meledak, dia juga akan mati."
Tiba-tiba, suara gemerincing logam terdengar. Seratus rantai hitam yang sebelumnya hancur, kini muncul kembali dari kegelapan. Mereka melilit tubuh Feng dengan kencang, menyegel kembali kekuatan monster itu.
"ARGGHH! SIALAN!" Feng meronta, tapi kemudian ia menyeringai lebar, gigi tajamnya berkilau. "HAHAHA! TIDAK APA-APA KALAU BEGITU. ISTIRAHATLAH SEKARANG, LEMAH. TAPI AKU MENANTIKAN PEMBANTAIAN KITA DI MASA DEPAN! HAHAHAHA!"
Tawa gila Feng memudar saat rantai menariknya kembali ke kedalaman.
Alam bawah sadar pun pudar.
Kesadaran Jian Feng tenggelam dalam lautan kegelapan yang tenang. Tidak ada rasa sakit. Tidak ada darah. Tidak ada teriakan.
"Aku ingin mati..." batin Jian Feng lirih, membiarkan dirinya hanyut. "Rasanya lelah sekali..."