Maya, seorang mualaf yang sedang mencari pegangan hidup dan mendambakan bimbingan, menemukan secercah harapan ketika sebuah tawaran mengejutkan datang: menikah sebagai istri kedua dari seorang pria yang terlihat paham akan ajarannya. Yang lebih mencengangkan, tawaran itu datang langsung dari istri pertama pria tersebut, yang membuatnya terkesima oleh "kebesaran hati" kakak madunya. Maya membayangkan sebuah kehidupan keluarga yang harmonis, penuh dukungan, dan kebersamaan.
Namun, begitu ia melangkah masuk ke dalam rumah tangga itu, realitas pahit mulai terkuak. Di balik fasad yang ditunjukkan, tersimpan dinamika rumit, rasa sakit, dan kekecewaan yang mendalam. Mimpi Maya akan kehidupan yang damai hancur berkeping-keping. Novel ini adalah kisah tentang harapan yang salah tempat, pengkhianatan emosional,Maya harus menghadapi kenyataan pahit bahwa hidup ini tidak semanis doanya, dan bimbingan yang ia harapkan justru berubah menjadi jerat penderitaan.
kisah ini diangkat dari kisah nyata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadhira ohyver, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Maya meletakkan ponselnya di meja samping kasur. Dia mematikan lampu, membiarkan kegelapan merangkulnya. Pikirannya masih dipenuhi bayangan Heddy, Wawa, Hana, dan calon suami asingnya. Namun, lelah fisik dan emosional mengalahkan segalanya.
Dia memejamkan mata, memutuskan untuk tidur, berharap esok hari akan membawa kejelasan di tengah kerumitan takdir yang kini ia pilih.
Dua minggu kemudian berlalu dengan cepat. Pagi itu, suasana haru melingkupi bandara kecil di kota itu. Maya, dengan tas kopernya, berdiri di hadapan Kak Laila sekeluarga.
Meskipun Maya hanya seorang juru masak, ikatan yang terjalin selama ini terasa sangat kuat. Terutama dengan anak bungsu Kak Laila, yang kini berdiri di samping ibunya dengan wajah sembab. Mata kecilnya dipenuhi air mata yang siap tumpah.
"Kak Maya jangan pergi," rengek anak itu, menarik ujung baju Maya.
Hati Maya terasa nyeri melihat kesedihan tulus tersebut. Di sela tugas-tugasnya di dapur, Maya memang sering menyempatkan diri menemani anak bungsu itu bermain, sebuah kedekatan yang membuat perpisahan ini terasa berat.
Kak Laila berjongkok di sebelah anaknya, menenangkan. "Kak Maya harus pergi sekarang, sayang."
Maya berjongkok juga, merangkul anak itu erat. "Kakak harus pergi, tapi nanti kita pasti ketemu lagi ya," bisik Maya, menahan air matanya sendiri.
Setelah melepaskan pelukan, Kak Laila berdiri dan memeluk Maya sejenak. Pelukan yang hangat, layaknya seorang kakak kepada adiknya. "Hati-hati di jalan, May. Semoga semua lancar dan kamu mendapatkan kebaikan di tempat baru," doa Kak Laila tulus.
Maya tersenyum, mengangguk. "Terima kasih banyak untuk semuanya, Kak Laila."
Dengan langkah berat namun mantap, Maya mulai melangkah masuk ke dalam area bandara. Di belakangnya, suara tangisan anak bungsu Kak Laila masih terdengar samar, mengiringi kepergiannya menuju babak baru kehidupannya sebagai "Perempuan Kedua".
Di Dalam Pesawat
Setelah melewati pemeriksaan keamanan, Maya melangkah masuk ke dalam pesawat yang akan membawanya terbang melintasi pulau. Dia menemukan kursinya di dekat jendela. Perlahan, pesawat mulai bergerak menuju landasan pacu.
Saat pesawat melaju kencang dan akhirnya mengudara, Maya menatap keluar jendela. Kota yang selama ini menjadi saksi bisu perjuangannya sebagai mualaf, tempat ia menemukan harapan dan kepedihan pertamanya, kini terlihat semakin kecil dan jauh di bawah sana. Awan putih tebal membentang seperti samudra kapas di bawahnya.
Di ketinggian ribuan kaki di atas permukaan laut, Maya merasa terasing dari segala kerumitan di darat. Di sinilah babak baru benar-benar dimulai. Pikirannya dipenuhi pertanyaan. Seperti apa calon suaminya? Apakah Umma Fatimah benar-benar sebaik kelihatannya? Apakah dia akan menemukan kedamaian yang ia dambakan?
Penerbangan itu menjadi momen kontemplasi sunyi bagi Maya. Setiap detik berlalu membawanya semakin dekat dengan takdir yang ia pilih, meninggalkan masa lalunya yang penuh ketidakpastian.
Kedatangan di Kota Tujuan
Beberapa jam kemudian, roda pesawat menyentuh landasan di kota tempat Maya tinggal. Getaran halus terasa, menandakan bahwa dia telah tiba. Udara di kota ini terasa berbeda, lebih kering dan mungkin lebih panas dari biasanya.
Setelah turun dari pesawat, Maya mengambil bagasinya dan melangkah menuju area kedatangan. Kerumunan orang menyambut kedatangan penumpang, spanduk ucapan selamat datang terlihat di mana-mana. Mata Maya mencari-cari sosok asing yang baru saja dikenalnya.
Tak lama, ia melihat Kak Wawa melambaikan tangan dengan senyum lebar.
"Assalamualaikum, Maya! Akhirnya sampai juga," sapa Wawa hangat seraya memeluk Maya sejenak.
"Waalaikumsalam, Kak Wawa," balas Maya, lega.
"Ayo, mobil sudah menunggu di luar. Kita langsung ke rumah Hana," ajak Wawa.
Maya mengangguk. Dia mengikuti Wawa keluar dari bandara, menuju mobil yang akan membawanya ke rumah Hana, tempat perlindungan sementaranya sebelum proses besar itu benar-benar dimulai. Kota tempatnya tinggal, kehidupan baru, dan status baru sebagai "Perempuan Kedua" kini hanya tinggal menunggu waktu.
Mobil yang ditumpangi Maya dan Wawa melaju meninggalkan area bandara, membelah jalan raya di kota tersebut. Wawa duduk di kursi penumpang depan, sementara Maya duduk di belakang, menatap pemandangan di luar jendela.
Wawa terus tersenyum, sesekali memandangi Maya melalui kaca spion tengah. Maya yang merasa diperhatikan pun tersipu malu.
"Apa ada yang salah sama penampilan aku, Kak Wawa?" tanya Maya akhirnya, sedikit canggung.
Wawa tersenyum tulus sebelum menjawab. "Gak ada yang salah, May. Setelah melihat langsung kamu, saya makin yakin."
Maya mengerutkan dahi, bingung dengan keyakinan apa yang dimaksud Wawa.
"Saya yakin kamu wanita yang penyabar. Allah Maha Tahu, memilih kamu menjalani takdir yang seperti ini. Allah tahu lebih dulu kalau kamu mampu nantinya," ucap Wawa, matanya berkaca-kaca, penuh empati.
"Apapun ujiannya nanti, jangan pernah berpaling ya, May. Terus berdoa sama Allah dan meminta kekuatan-Nya. Ke depannya gak akan mudah, tapi jika kita selalu mengandalkan Allah, Allah pasti memberikan kekuatan, apalagi kalau niat kita baik, Allah pasti bantu, May."
Nasihat tulus dari Wawa menohok hati Maya. Di balik senyum dan keramahan Wawa, Maya bisa merasakan beban dan kekhawatiran yang tersembunyi tentang masa depan pernikahan ini. Wawa tidak menjanjikan jalan yang mudah, tapi menjanjikan kekuatan ilahi.
Maya hanya bisa mengangguk, hatinya dipenuhi rasa syukur atas dukungan Wawa. Mobil terus melaju, membawa Maya semakin dekat dengan rumah Hana, dan semakin dekat dengan takdir barunya sebagai "Perempuan Kedua" yang penuh tantangan.
Wawa kembali menarik napas dalam, kali ini lebih berat. Wajahnya berubah serius saat memandang Maya melalui kaca spion tengah.
Wawa: "May, kalau nanti mereka berbuat semena-mena sama kamu, jangan khawatir, saya ada di sini. Kamu pulang dan tinggalkan mereka, kamu nggak sendirian."
"Tapi kalo kamu mampu bersabar, itu jauh lebih baik dari apapun, May. Orang-orang yang bersabar atas ujian yang telah di berikan Allah, insyaAllah surga tempatnya."
Hati Maya semakin terharu mendengar jaminan tulus dari Wawa. Janji dukungan itu terasa seperti pelampung di tengah samudra ketidakpastian. Wawa kemudian mengubah nada bicaranya, beralih ke hal yang lebih praktis.
Wawa: "Gimana dengan keluarga kamu? Apa mereka tahu kamu akan menikah? Sebaiknya kamu harus segera memberitahukan kepada mereka, May. Kamu butuh wali untuk menikah nanti."
Maya terdiam sejenak, memikirkan kerumitan hubungannya dengan keluarga kandungnya.
Maya: "Aku pasti akan memberitahukan soal ini sama Mamah, Kak. Tapi untuk wali, aku yakin kakak kandungku, Dion, nggak akan mau. Apalagi keyakinan kami sudah berbeda," jelas Maya dengan suara pelan. "Mamah masih bisa menerima pilihan aku untuk menjadi mualaf, tapi Kak Dion sama sekali nggak mau menerima."
"Sebenarnya Papah bisa," lanjut Maya, "apalagi Papah muslim, tapi Papah di kota lain yang jauh dan beliau nggak mungkin datang ke sini. Selain usianya sudah tidak mampu lagi bepergian terlalu jauh, Papah juga sudah punya kehidupannya sendiri di sana, Kak."
Wawa diam, tampak berpikir keras mencerna kerumitan situasi keluarga Maya. Masalah wali nikah menjadi hambatan nyata berikutnya dalam proses ini, sama peliknya dengan proses sidang poligami yang akan dijalani.
Akhirnya, Wawa bersuara kembali, nadanya lebih tenang.
Wawa: "Soal itu biar saya pikirkan lagi ke depannya gimana, May. Saya tanya dulu ke Abi saya baiknya gimana, apakah bisa memakai wali hakim. Tapi masalahnya Papah kamu masih hidup, May. Nanti lah kita bahas lagi soal ini."
Maya mengangguk, merasa lega karena beban itu kini ditanggung bersama. Dia kembali menatap pemandangan di luar jendela, membiarkan pikirannya beristirahat. Mobil terus melaju, membawa Maya semakin dekat dengan rumah Hana, dan semakin dekat dengan takdir barunya sebagai "Perempuan Kedua" yang penuh tantangan.
Bersambung...