“Satu malam, satu kesalahan … tapi justru mengikat takdir yang tak bisa dihindari.”
Elena yang sakit hati akibat pengkhianat suaminya. Mencoba membalas dendam dengan mencari pelampiasan ke klub malam.
Dia menghabiskan waktu bersama pria yang dia anggap gigolo. Hanya untuk kesenangan dan dilupakan dalam satu malam.
Tapi bagaimana jadinya jika pria itu muncul lagi dalam hidup Elena bukan sebagai teman tidur tapi sebagai bos barunya di kantor. Dan yang lebih mengejutkan bagi Elena, ternyata Axel adalah sepupu dari suaminya Aldy.
Axel tahu betul siapa Elena dan malam yang telah mereka habiskan bersama. Elena yang ingin melupakan semua tak bisa menghindari pertemuan yang tak terduga ini.
Axel lalu berusaha menarik Elena dalam permainan yang lebih berbahaya, bukan hanya sekedar teman tidur berstatus gigolo.
Apakah Elena akan menerima permainan Axel sebagai media balas dendam pada suaminya ataukah akan ada harapan yang lain dalam hubungan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Dua Puluh Dua
Axel berdiri di ambang pintu, jasnya masih di lengannya. Pandangannya langsung tertuju pada Elena yang berdiri kaku, lalu beralih pada Aldi dan Lisa.
“Apa yang terjadi di sini?” suara Axel dalam dan tegas. “Dan kenapa kalian berdua ada di ruanganku tanpa izin?!”
Lisa terlihat gugup, tapi Aldi tetap menatap tajam. “Aku cuma mau bicara sama Elena.”
Axel melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya. “Elena sedang bekerja. Kalau kamu punya urusan pribadi, itu bukan di tempat ini. Bisa bicara di luar jam kerja!”
Aldi mengepalkan tangan. “Ada sesuatu juga yang ingin aku katakan padamu.”
Axel menaikkan alis. “Sesuatu seperti apa?”
Aldi menatap Elena sejenak, lalu kembali menatap Axel. “Tentang statusku dengan dia.” Aldi menunjuk ke arah Elena.
Elena terkejut, jantungnya langsung berdetak cepat. Sedangkan Axel masih tetap tenang dan seperti tak mengetahui apa pun.
Axel mendekat, berdiri di sisi Elena. “Elena adalah asistenku. Status dia di sini jelas, karyawanku, orang yang aku percayai. Dan aku enggak akan biarkan siapa pun mengganggu dia di jam kerja. Sekarang katakan apa statusmu dengan Elena?"
Perkataan itu membuat wajah Aldi mengeras. Axel lalu dengan sengaja menaruh tangannya di bahu Elena, menatap Aldi dengan senyum tipis. Dia tak bisa menjawab. Kedudukan Axel bukan hanya atasan, tapi sepupunya. Dia tak boleh gegabah mengatakan semuanya. Bisa-bisa orang tuanya akan marah dan tak memberikan apa-apa untuknya.
“Selama dia ada di bawah atap ini, aku yang bertanggung jawab atasnya,” ucap Axel, nada suaranya terdengar seperti tantangan. Dia sengaja mengatakan semua dengan tegas untuk menekan Aldi, agar dia semakin terpojok. Dan Axel juga ingin membuka mata Elena lagi, kalau suaminya tak akan pernah mengakui status mereka.
Elena menahan napas, tapi ia tidak menepis tangan Axel. Mereka memang sepakat membuat Aldi marah, dan jelas cara ini berhasil karena terlihat rahang Aldi mengencang, matanya penuh api cemburu.
Elena juga ingin tahu, apakah suaminya bisa gentleman mengakui pernikahan mereka.
“Lepas tanganmu dari Elena!" desis Aldi.
Axel malah menepuk lembut bahu Elena, seolah menenangkan. “Kenapa? Dia asistenku. Wajar kan kalau aku pastikan dia baik-baik saja? Kalian berdua ada urusan apa dengan Elena?" tanya Axel sekali lagi.
Lisa akhirnya ikut bicara, mencoba memecah ketegangan. “Pak Axel, kami hanya ingin ngobrol sebentar. Enggak ada niat mengganggu kerjaan. Kebetulan pekerjaanku dan Pak Aldi sudah selesai. Aku hanya ingin mengajak Elena makan siang bareng."
Axel menoleh padanya, ekspresinya dingin. “Lisa, ini ruang kerja. Bukan tempat untuk drama pribadi. Kamu bisa menghubungi ponselnya, tak harus mendatangi langsung. Saya tidak mau ada yang masuk tanpa izin lagi. Sekali lagi kamu lakukan ini, saya pertimbangkan posisi kamu di perusahaan ini.”
Lisa terdiam, wajahnya pucat. “Ba-baik, Pak.”
Aldi melangkah mendekat, tatapannya tajam pada Axel. “Kamu terlalu ikut campur."
Axel berdiri tegak, tidak mundur sedikit pun. “Aku hanya melindungi orang yang bekerja untukku. Elena itu asistenku, jadi tak salah jika aku ikut campur urusannya, selagi itu masih di kantor. Kalau kamu ingin bicara urusan pribadi, lakukan di luar. Sekarang keluar dari ruanganku.”
Aldi mendesis, lalu melirik Elena. “Kita akan bicara, Lena. Ini belum selesai. Dan untukmu Axel, aku minta jaga batasan. Walau kau atasanku, aku juga memiliki hal pribadi dan tak harus kau campuri!"
Elena menatapnya balik, suaranya bergetar tapi tegas. “Pak Axel benar, Pak Aldi. Jika masih ada hal pribadi yang ingin Bapak katakan, nanti saja. Saat ini saya masih harus bekerja!"
Wajah Aldi memerah. Lisa menarik lengannya pelan, mencoba menenangkan. Akhirnya Aldi berbalik, keluar dengan langkah berat. Lisa menyusul tanpa berani menatap Axel lagi.
Begitu pintu tertutup, Axel menurunkan tangannya dari bahu Elena. “Kamu tak apa-apa?”
Elena menarik napas panjang. “Aku masih gemetar … tapi terima kasih.”
Axel tersenyum tipis. “Bagus. Kamu berani. Dan sekarang mereka tahu kamu enggak bisa diperlakukan seenaknya.”
Elena menunduk, mencoba mengatur napas. “Aldi pasti makin marah.”
Axel mengangguk pelan. “Biar dia marah. Itu bagian dari rencana kita, kan?”
Elena akhirnya tersenyum tipis, meski matanya masih merah. “Iya.”
Axel mendekat, menatapnya lebih lembut. “Kamu enggak sendiri, Lena. Kita hadapi ini sama-sama.”
Aldi berjalan cepat meninggalkan ruangan Axel, napasnya memburu. Tangannya terkepal kuat, hampir menghantam dinding koridor. Lisa harus berlari kecil untuk mengimbangi langkahnya.
“Aldi, pelan sedikit!” seru Lisa. “Kamu mau semua orang lihat kamu seperti ini?”
Aldi berhenti di parkiran, menatap kosong ke arah mobilnya. Rahangnya mengeras. “Dia sengaja. Axel sengaja bikin aku marah!”
Lisa menggigit bibirnya. “Ya, tentu saja dia sengaja! Kamu lihat cara dia peluk bahu Elena tadi? Aku hampir muntah.”
Aldi memejamkan mata, menarik napas panjang. Gambar Axel berdiri dekat Elena terus menari di kepalanya, membuat dadanya panas.
Lisa mendekat, menyentuh lengannya. “Aldi, kamu harus tenang. Kamu enggak bisa kalah di depan dia. Elena pasti sengaja membuat kamu cemburu dengan membiarkan Axel memeluknya. Dasar murahan!"
Aldi menepis tangan Lisa. “Aku harus pastikan Elena enggak makin dekat sama dia.”
Lisa menatapnya heran. “Kamu bilang kamu ingin mengakhiri semuanya sama Elena. Kamu mau cerai, kenapa kamu jadi cemburu begini?"
Aldi tidak menjawab, hanya menatap lurus ke mobil. Dia masuk tanpa menjawab ucapan Lisa. Wanita ikut masuk. Saat ini telah jam makan siang. Sehingga Aldi tadi langsung memilih keluar dari kantor.
Beberapa saat kemudian, Lisa dan Aldi telah sampai. Mereka duduk berdua di sebuah restoran. Makanan yang telah dipesan terhidang di meja, semua hampir tak tersentuh. Lisa memandang Aldi kesal.
“Dari tadi kamu diam aja. Pikiranmu pasti di Elena lagi, kan?” Nada suaranya ketus.
Aldi mendongak, menatap Lisa. “Aku cuma mikir apa yang harus aku lakukan.”
Lisa mendengus, meletakkan garpu dengan bunyi keras. “Berhenti pura-pura, Aldi. Kamu masih peduli sama dia. Kalau kamu terus begini, aku yang akan bilang ke orang tua kamu kalau kamu sudah menikah diam-diam sama Elena!”
Aldi terbelalak, nadanya meninggi. “Jangan berani melakukan itu, Lis!”
Lisa menatapnya tajam. “Kenapa? Biar semua keluarga tahu apa yang telah kamu lakukan selama ini? Atau kamu takut mereka tahu kamu sembunyiin istrimu?”
"Apa maumu, Lisa?" tanya Aldi dengan suara sedikit ketus.
"Aku mau kamu urus perceraian secepatnya. Aku ingin kita segera resmi, aku capek berpura-pura di depan Elena!"
Aldi mengepalkan tangan. “Aku enggak akan pernah ceraikan Elena.”
Lisa terdiam sesaat, menatap Aldi tak percaya. “Apa?”
**
Sambil menunggu novel ini update bisa mampir ke novel teman mama di bawah ini. Terima kasih.
semoga elena kuat melihat perbuatan mereka ber2