NovelToon NovelToon
Misteri Obat Kuat di Dompet Suamiku

Misteri Obat Kuat di Dompet Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Pelakor jahat / Pelakor / Selingkuh
Popularitas:224
Nilai: 5
Nama Author: Caracaramel

Anton selalu pulang dengan senyum hangat, perhatian yang tak berubah, dan alasan pekerjaan yang terdengar sangat wajar. Terlalu wajar, hingga Nayla tak pernah merasa perlu meragukannya.

Namun ketika satu demi satu kejanggalan kecil muncul, Nayla mulai dihadapkan pada kenyataan pahit. Pengkhianatan tak selalu datang dari sikap yang dingin, melainkan dari kehangatan yang dijaga dengan terlalu rapi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caracaramel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 22

Nayla meninggalkan kafe itu dengan langkah mantap, meski hatinya bergetar hebat. Begitu pintu kaca tertutup di belakangnya, barulah dia membiarkan napasnya terhempas berat. Tangan yang tadi tenang kini sedikit bergetar. Dia tidak pernah membayangkan hari ini akan tiba, hari di mana ia harus mengatakan langsung kepada perempuan simpanan suaminya bahwa dia tahu segalanya.

Walau di dalam dadanya, ada rasa sakit yang tajam, mengiris. Nayla berjalan menuju mobilnya dengan langkah perlahan. Begitu masuk, dia menutup pintu dan menyandarkan kepala ke sandaran kursi. Air mata jatuh dengan pelan dan tanpa suara.

“Ya Allah, kuatkan aku.” bisiknya.

Bukan karena dia ingin mempertahankan Anton. Melainkan karena dia takut, apa pun yang akan terjadi setelah ini, pasti akan mengguncang hidup Dea. Dan itu lebih daripada apa pun hal yang paling dia takuti.

***

Dalam perjalanan pulang, ponselnya berkali-kali bergetar di dalam tas. Nayla tidak menghiraukan. Dia sudah mematikannya sejak tadi. Dia tidak ingin Anton, atau siapa pun mengganggunya sebelum dia sampai rumah dan bisa bernapas lebih stabil.

Begitu tiba di rumah, Bu Sari sedang menjemur pakaian di halaman samping. Wanita itu menoleh dan tersenyum.

“Mbak Nayla sudah pulang? Mas Anton sudah di rumah tadi, tapi pergi lagi."

Nayla membalas senyum itu dengan samar. “Iya, Bu.”

“Mbak Nayla dari sekolah Dea?” tanya Bu Sari.

“Iya, Bu. Ada perlu sebentar.”

“Mau saya siapkan minum, Mbak?”

Nayla menggeleng. “Tidak usah, Bu. Saya ke kamar dulu, ya.”

Begitu masuk kamar, Nayla langsung duduk di lantai, bersandar pada pinggir ranjang. Ruangan ini, yang selama ini menjadi tempat dia tertawa bersama Anton, kini terasa asing.

Nayla membuka ponselnya. Puluhan pesan masuk. Sebagian dari Anton.

Anton:

Sayang, kamu di mana?

Kok HP mati?

Aku udah balik dari kantor.

Kamu baik-baik saja?

Sayang, angkat dong.

Nayla menatap semua pesan itu tanpa perasaan. Ketika seseorang sudah menusukmu dalam-dalam, nada manis di layar ponsel hanya terasa seperti ejekan yang memuakkan. Dia meletakkan ponsel tanpa membalas.

****

Menjelang siang, suara mobil Anton terdengar memasuki halaman. Nayla berdiri dari tempat tidur, menegakkan tubuh, dan keluar dari kamar tanpa menunjukkan bahwa hatinya sedang berkecamuk.

Anton masuk ke rumah dengan tergesa-gesa. Begitu melihat Nayla di ruang tengah, wajahnya langsung berubah cemas.

“Nay, kamu ke mana saja? Aku telepon kamu nggak angkat-angkat.”

Nayla tersenyum tipis. “Maaf. HP-ku mati habis baterai.”

Anton menghampirinya, memegang bahunya. “Kamu baik-baik saja? Kamu kok kelihatan beda, Sayang.”

Nayla menahan diri untuk tidak tersenyum sinis.

Beda?

Tentu saja. Hari ini, dia sudah melihat dengan matanya sendiri bahwa suaminya memilih tidur di ranjang lain dengan ibu dari teman anak mereka.

“Aku baik.” jawab Nayla lembut.

“Sangat baik.”

Anton tampak lega. “Syukurlah. Aku takut kamu sakit. Kamu tahu aku panik kalau kamu nggak beri kabar, kan?”

Nayla menatap mata Anton. Dalam tatapan itu, ada kebohongan yang begitu rapi, begitu terbiasa keluar dari mulutnya.

“Mas…” Nayla memanggil pelan.

“Hm?” Anton tersenyum.

“Kita bisa bicara nanti malam?” tanya Nayla.

Anton mengangguk. “Tentu. Kamu mau bahas apa?”

“Banyak.” jawab Nayla lirih. “Banyak sekali yang harus aku bahas sama kamu."

Anton terlihat bingung. Tapi sebelum diaa bertanya lebih jauh, Nayla memotong, “Aku mau tidur sebentar. Tolong jangan ganggu ya, Mas.”

Anton mengangguk lagi. Nayla berjalan kembali ke kamar. Begitu pintu tertutup, dia menghela napas panjang. Dia sedang menyiapkan mental untuk malam nanti. Walau dia harus tidur dengan tidak tenang hari ini, setidaknya setelah ini dia akan lebih tenang menjalani hidup tanpa harus berada dalam kebohongan Anton lagi.

****

Menjelang sore, Dea pulang bersama Vina dan Lestari, seperti biasa. Tapi kali ini Nayla tidak keluar menjemput. Dia hanya mengintip dari jendela kamar. Jantungnya berdegup ketika melihat Lestari mengantar Dea dengan wajah setenang kemarin. Wanita itu bahkan bisa berdiri di halaman rumah Nayla tanpa rasa bersalah sedikit pun dan anpa rasa malu.

Namun tatapannya sempat bertemu dengan Nayla sekilas, dari kejauhan. Dia tersenyum tipis, seolah mengejek Nayla bahwa dia akan menang. Tapi, sayangnya, bagi Nayla ini bukan perlombaan. Dia akan senantiasa memberikan Anton padanya, tapi dia tidak akan membiarkan hidup Lestari bahagia

Setelah Dea masuk ke dalam rumah, terlihat Lestari mengangguk sedikit pada Nayla seperti pamit akan pulang. Nayla tidak membalas, dia langsung menutup tirai jendela. Dia tidak bisa bayangkan, bagaimana perasaan Dea, jika dia tahu kelakuan busuk yang dilakukan ayahnya.

***

Menjelang malam, suasana rumah seperti biasa. Anton menyetrika kerah bajunya di depan cermin, bersenandung kecil. Dea sedang mengerjakan PR. Rumah tampak normal, seolah tidak ada petir besar yang akan menyambar.

Ketika makan malam, Nayla duduk tanpa bicara. Anton sesekali meliriknya, heran.

“Nayla, kamu yakin nggak apa-apa?”

Nayla menatap Anton. Menatap laki-laki yang sudah menghancurkan hatinya tanpa sedikit pun rasa bersalah. Dia tersenyum kecil sebelum menjawab.

“Aku nggak apa-apa, Mas.” jawab Nayla. “Kok kamu nanya gitu?"

Anton mulai cemas. "Nggak apa-apa, aku cuma khawatir kamu sakit."

Nayla tersenyum lagi, "Kalau cuma sakit, aku masih bisa tahan. Ini belum apa-apa, Mas." kata Nayla dengan tenang, lalu kembali melanjutkan makannya. Sementara itu, Anton masih tidak mengerti maksud istrinya.

Setelah makan malam, Dea naik ke kamar, dan Anton duduk di sofa ruang tengah. Nayla duduk di depannya. Suasana sunyi.

Terlalu sunyi.

“Nay, kamu buat aku khawatir.” kata Anton akhirnya.

Nayla mengangguk pelan. “Bagus kalau khawatir. Artinya masih punya hati.”

Anton mengernyit. “Maksudmu?”

Nayla mengambil amplop yang ia temukan beberapa hari lalu. Dia letakkan pelan di meja kopi.

“Mas ingat ini?” suaranya tenang.

Anton memandang amplop itu. Raut wajahnya berubah. Nayla memperhatikan setiap detik ekspresi itu. Dia melihat kepanikan kecil muncul.

“Ini apa? Siapa yang taruh di sini?” tanya Anton berusaha tenang.

“Ketemu di rumah.” jawab Nayla. “Seharusnya kamu yang bisa jawab.”

Anton menelan ludah.

Nayla melanjutkan. “Mas bilang kamu keluar kota dua hari ini.” dia menatap mata suaminya.

“Mas bilang kamu kerja. Meeting besar. Investor.”

Anton mengangguk cepat. “Iya, itu benar.”

Nayla tersenyum kecil. Senyum yang menusuk perasaan Anton. Tidak seperti Nayla yang biasanya.

“Tapi seseorang bilang ke aku, Mas kemarin masuk seperti biasa. Mas tidak keluar kota."

Nada suara Nayla dingin.

“Dan itu membuat aku bertanya-tanya, Mas tidur di mana dua hari ini?”

Anton terdiam. Dia tidak langsung menjawab. Bukan tidak mau, melainkan bingung akan menjawab apa.

Nayla melanjutkan dengan suara yang sangat pelan, tapi tegas. “Aku sudah lihat Mas di hotel.” Dia menahan gemetar di suaranya.

“Bersama Bu Lestari.”

Anton seperti kehilangan warna di wajahnya.

Nayla menghela napas pelan.

“Sekarang Mas mau jelasin apa?”

Anton membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Tidak ada kata yang keluar. Nayla bersandar ke sofa dengan tenang. Dia seperti sudah mati rasa.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!