Aira Nayara seorang putri tunggal dharma Aryasatya iya ditugaskan oleh ayahnya kembali ke tahun 2011 untuk mencari Siluman Bayangan—tanpa pernah tahu bahwa ibunya mati karena siluman yang sama. OPSIL, organisasi rahasia yang dipimpin ayahnya, punya satu aturan mutlak:
Manusia tidak boleh jatuh cinta pada siluman.
Aira berpikir itu mudah…
sampai ia bertemu Aksa Dirgantara, pria pendiam yang misterius, selalu muncul tepat ketika ia butuh pertolongan.
Aksa baik, tapi dingin.
Dekat, tapi selalu menjaga jarak, hanya hal hal tertentu yang membuat mereka dekat.
Aira jatuh cinta pelan-pelan.
Dan Aksa… merasakan hal yang sama, tapi memilih diam.
Karena ia tahu batasnya. Ia tahu siapa dirinya.
Siluman tidak boleh mencintai manusia.
Dan manusia tidak seharusnya mencintai siluman.
Namun hati tidak pernah tunduk pada aturan.
Ini kisah seseorang yang mencintai… sendirian,
dan seseorang yang mencintai… dalam diam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tara Yulina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Harap menjauh
Wajah Aksa tetap tenang, tak sedikit pun menunjukkan kepanikan. Ia tahu betul bagaimana cara menyelamatkan Aira dari ancaman Gina.
Tak lama kemudian Rayhan datang tergesa. Ia mendengar bisik-bisik bahwa sesuatu terjadi pada Aira di kamar mandi. Saat melihat langsung situasinya, Rayhan langsung panik. Aira berdiri tepat di belakang Gina, sementara di tangan Gina tergenggam serpihan kaca tajam. Jantung Rayhan serasa berhenti berdetak.
“Gina, lepasin Aira,” ujar Rayhan dengan suara bergetar.
“Kalian semua keluar! Gue bakal lepasin Aira,” balas Gina tajam.
Rayhan melangkah mendekat, namun Gina justru semakin menekan serpihan kaca itu ke arah wajah Aira. Napas Aira tersengal, jantungnya berdetak tak beraturan. Ia benar-benar tak tahu harus berbuat apa. Gina kini jelas-jelas membahayakan nyawanya.
“Jangan ada yang maju selangkah pun. Kalian lihat sendiri apa yang bakal gue lakuin,” ancam Gina.
Tangan kanan Aksa terentang di depan Rayhan, memberi isyarat agar ia mundur. Aksa tahu, jika Rayhan membantah, Gina bisa benar-benar melakukan hal nekat.
“Lo apa-apaan sih, Aks? Kita nggak bisa mundur! Aira dalam bahaya, dia harus diselamatkan sekarang!” ujar Rayhan gusar.
“Kalau lo maju, Aira yang celaka. Jangan ambil tindakan tanpa mikir,” jawab Aksa tegas.
Sesaat kemudian, Aksa berubah menjadi bayangan yang tak kasatmata. Raganya tetap berdiri, namun batinnya panik melihat Aira yang ketakutan, dengan tangan Gina masih menggenggam serpihan kaca itu erat.
“Gina, lepasin Aira,” suara Aksa terdengar lagi.
“Gue suka sama lo, Aksa. Kalau lo mau gue lepasin Aira, gue mau lo akhiri hubungan kalian,” ujar Gina penuh tekanan.
Tanpa disadari siapa pun, bayangan Aksa melangkah maju. Dengan cepat ia menjauhkan tangan Gina dari Aira dan mendorong tubuh Gina ke arah luar. Gina terhuyung, bingung karena tubuhnya tiba-tiba bergerak sendiri.
Namun naas, serpihan kaca yang masih digenggam Gina mengenai tangan Aksa yang kini berdiri tepat di depan Aira.
Aira melihat dengan jelas darah yang mengalir dari tangan Aksa.
“Aksa…” Aira berlari menghampirinya dengan panik.
“Tangan lo luka. Aku obatin, ya.”
“Aira, jangan khawatirkan aku. Aku nggak apa-apa. Justru kamu yang aku khawatirkan,” ujar raga Aksa dengan suara lembut.
Aira sebenarnya tidak baik-baik saja. Bayangan wajah Gina yang begitu kejam masih menghantui pikirannya. Namun melihat tangan Aksa terluka demi menyelamatkannya membuat hatinya semakin perih.
“A-aku nggak apa-apa. Tapi tangan kamu… ayo kita ke ruang kesehatan,” ucap Aira menahan gemetar.
Aira menggenggam lengan Aksa dan membawanya keluar dari kamar mandi. Dari kejauhan, Gina menatap mereka dengan mata menyala penuh amarah. Ia ingin mengejar, namun langkahnya tertahan, seolah ada sesuatu yang menahannya.
“Sial… lagi-lagi lo lolos, Aira,” gumam Gina geram.
Di sisi lain, Rayhan hanya bisa menahan rasa cemburu yang menggerogoti dadanya.
Bayangan Aksa berusaha kembali mencari keberadaan raganya.
Gina yang menangkap tatapan Rayhan menghampirinya. Ia menyadari jelas sorot mata yang dipenuhi kecemburuan itu.
“Lo suka sama Aira?” tanya Gina tiba-tiba.
“Iya,” jawab Rayhan singkat.
Gina tertawa kecil, terdengar mengejek.
“Kenapa lo ketawa?” Rayhan menatapnya tajam.
“Lucu aja. Lo suka, tapi nggak ada usaha yang bener-bener nyata,” sindir Gina.
“Gue udah berusaha. Tapi Aksa selalu menang,” jawab Rayhan lirih.
Gina menatap Rayhan dalam-dalam, senyum licik tersungging di bibirnya.
“Gimana kalau kita kerja sama?” tawarnya penuh arti.
“Kerja sama apaan?” tanya Rayhan bingung.
“Kerja sama buat misahin Aira sama Aksa. Dari situ, Aksa jadi milik gue, dan Aira jadi milik lo. Ide bagus, kan?” ujar Gina penuh keyakinan.
Tak semua harapan menghilang—sebagian hanya memilih menjauh. Ada rasa yang tak terbalas, ada hati yang perlahan merenggang, dan ada diam yang lebih menyakitkan daripada kata perpisahan.
Rayhan terdiam sejenak, lalu menggeleng pelan.
“Sori, gue nggak tertarik. Itu hal yang buruk.”
Tanpa menunggu jawaban, Rayhan berbalik pergi.
“Apaan sih, nggak jelas banget,” gumam Gina kesal.
“Udah mau dibantuin malah sok bijak bilang hal buruk.”
Gina mendengus frustrasi. Rencana yang sudah tersusun rapi di kepalanya runtuh begitu saja.
Rosa menghampiri Gina dengan wajah cemas.
“Gin, lo nggak apa-apa kan?” tanya Rosa khawatir pada temannya yang sempat terjebak di bilik toilet.
“Lo ke mana aja kemarin? Gue teleponin nggak diangkat. Sengaja ya lo ninggalin gue?” ujar Gina kesal.
“Sori, Gin. Kemarin gue diajak jalan sama Galih. Lo tau kan, gue pernah cerita kalau gue suka sama dia,” jawab Rosa jujur.
“Galih? Tumben dia ngajak lo jalan,” sahut Gina, sedikit terkejut.
“Gue juga nggak nyangka, Gin. Tapi gue sama dia bener-bener cocok,” kata Rosa sambil tersenyum kecil.
Gina memukul pundak Rosa pelan.
“Enak ya lo happy-happy, sementara gue kejebak di sini.”
Rosa terkekeh kecil, lalu ekspresinya berubah serius.
“Tapi ngomong-ngomong, siapa yang ngejebak lo?”
“Kalau feeling gue, Aira,” jawab Gina mantap.
“Lo yakin?” tanya Rosa ragu.
“Yakin lah. Siapa lagi kalau bukan Aira,” balas Gina.
Rosa menggeleng pelan.
“Tapi kemarin gue lihat Aira di kantin sama Aksa pas gue balik dari toilet. Jadi menurut gue, bukan Aira pelakunya.”
Ucapan itu membuat Gina terdiam. Keningnya berkerut.
Kalau bukan Aira…
lalu siapa?
“Kenapa gue jadi curiga sama Galih, ya?” gumam Gina pelan.
Pikiran itu tiba-tiba muncul, seolah semuanya saling terhubung. Ajakan Galih yang mendadak kepada Rosa terasa janggal.
“Lo kenapa jadi curiga sama Galih?” tanya Rosa heran.
“Ya… siapa tahu ajakan Galih buat lo itu disengaja,” jawab Gina menatap Rosa serius.
“Pas gue kejebak, dia tiba-tiba ngajak lo jalan. Seolah-olah mau ngalihin perhatian lo dari gue.”
Rosa terdiam, mencerna ucapan Gina.
“Masa iya Galih yang ngejebak lo? Apa hubungannya? Lo nggak punya masalah, kan, sama Galih?” tanya Rosa ragu.
“Gue emang nggak punya masalah sama Galih. Tapi siapa tahu dia ada di pihak Aira!” ujar Gina penuh curiga.
Rosa terdiam, mencerna ucapan Gina. Ada bagian yang terasa masuk akal. Jika Galih memang berada di pihak Aira, bukan tidak mungkin dia adalah pelakunya.
“Ya mungkin aja. Tapi kita belum tahu kebenarannya,” ujar Rosa hati-hati.
“Kalau gitu, gue mau lo cari tahu yang sebenarnya,” pinta Gina.
“Gue pasti cari tahu,” jawab Rosa mantap.
Mereka pun meninggalkan tempat itu bersama.
Namun langkah Rosa terasa berat. Pikirannya semakin dipenuhi tanda tanya.
Sejahat itu kah Galih? Ngajak gue jalan cuma supaya gue nggak bisa nolongin Gina? batinnya gelisah.
Pikiran itu terus mengganggu Rosa. Ia tak pernah menyangka jika semua ini hanya bagian dari rencana. Rosa sempat mengira Galih benar-benar memiliki perasaan padanya—bukan sekadar memanfaatkannya.
****************
Di ruang kesehatan, Aira membalut luka di tangan Aksa dengan sangat hati-hati.
Aira begitu tulus dan penuh perhatian. Tapi maaf, Aira… aku harus menjauh darimu. Bukan karena aku tidak menyukaimu, tapi karena sampai kapan pun kita tak akan pernah bisa bersatu, batin Aksa.
“Sudah,” ujar Aira pelan.
“Makasih, ya,” kata Aksa sambil mengacak pelan rambut Aira.
“Sama-sama. Aku juga makasih, karena kamu selalu ada buat ngelindungin aku,” jawab Aira tulus.
“Aku harus pergi,” ujar Aksa singkat, lalu melangkah pergi begitu saja.
“Kamu mau ke—” Aira hendak bertanya, namun suaranya terputus. Aksa sudah lebih dulu menghilang dari pandangannya.
Aira hanya bisa menunduk. Senyum di wajahnya perlahan memudar, berganti dengan rasa murung yang menekan dada. Ia merasakan dengan jelas—Aksa sedang perlahan menjauh.
Rayhan menghampiri Aira dengan wajah penuh kekhawatiran.
“Lo baik-baik aja, kan, Ra? Nggak ada yang luka?” tanya Rayhan cemas.
“Gue aman, kok. Makasih ya, lo udah khawatir sama gue,” jawab Aira tulus.
“Gue bakal selalu khawatin lo, Ra.”
“Kenapa?” tanya Aira pelan.
Rayhan lalu duduk di samping Aira, menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara.
“Karena gue suka sama lo, Ra. Jujur, dari perasaan gue yang paling dalam. Tapi gue sadar, gue kira lo sama Aksa udah jadian.”
“Gue sama Aksa nggak pernah jadian,” jawab Aira jujur.
“Maksudnya? Bukannya waktu itu Aksa bilang lo pacarnya?”
“Itu cuma pura-pura. Aksa ngelakuin itu supaya nggak ada yang berani ganggu gue lagi.”
Rayhan tersenyum lega.
“Syukurlah. Berarti lo bukan milik siapa-siapa. Gue masih punya harapan buat dapetin hati lo.”
Aira terdiam. Ia bingung harus menjawab seperti apa. Ia tak ingin menyakiti Rayhan, tapi juga tak ingin terjebak dalam perasaan yang tak bisa ia balas.
“Ray… makasih banget lo udah jujur soal perasaan lo ke gue. Tapi maaf, gue nggak bisa bales perasaan itu,” ucap Aira pelan.
Rayhan tersenyum, meski sorot matanya menyimpan luka.
“Gue ngerti, Ra. Gue nggak apa-apa. Gue cuma berharap… di hati lo masih ada sedikit ruang buat gue masuk.”
Aira menatap Rayhan dengan lembut.
“Lo boleh berharap sama gue, karena kita nggak pernah tahu ke depan gimana. Tapi jangan terlalu berharap. Kadang, berharap itu justru jadi hal yang paling menyakitkan.”