Ardina Larasati, sosok gadis cantik yang menjadi kembang desa di kampung Pesisir. Kecantikannya membuat seorang Regi Sunandar yang merupakan anak pengepul ikan di kampung itu jatuh hati dengannya.
Pada suatu hari mereka berdua menjalin cinta hingga kebablasan, Ardina hamil, namun bukannya tanggung jawab Regi malah kabur ke kota.
Hingga pada akhirnya sahabat kecil Ardina yang bernama Hakim menawarkan diri untuk menikahi dan menerima Ardina apa adanya.
Pernikahan mereka berlangsung hingga 9 tahun, namun di usia yang terbilang cukup lama Hakim berkhianat, dan memutuskan untuk pergi dari kehidupan Ardina, dan hal itu benar-benar membuat Ardina mengalami gangguan mental, hingga membuat sang anak yang waktu itu berusia 12 tahun harus merawat dirinya yang setiap hari nyaris bertindak di luar kendali.
Mampukah anak sekecil Dona menjaga dan merawat ibunya?
Nantikan kelanjutan kisahnya hanya di Manga Toon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumarhumah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Regi masih berdiri di tempatnya cukup lama, hingga matahari mulai meninggi dan kerikil pantai terasa hangat menembus sol sepatu mahalnya. Lima tusuk ikan bakar yang masih terbungkus daun pisang tak tersentuh di tangannya.
“Tidak mungkin hanya kebetulan…” gumamnya. Nama itu terlalu spesifik, wajah itu terlalu mirip.
Ardina.
Kenangan yang telah lama ia kubur kembali bangkit tanpa permisi. Seorang gadis kampung bermata teduh yang dulu ia tinggalkan dengan alasan masa depan. Kondisi ekonomi, tuntutan keluarga, ambisi… semuanya menjadi dalih untuk melarikan diri dari tanggung jawab yang kini berdiri hidup-hidup di hadapannya.
Dona.
Seorang anak kecil yang memanggul dagangannya sendirian di bawah sengatan matahari dan angin laut.
Regi menggenggam ponsel, jemarinya bergetar. Ia membuka daftar kontak lama yang sudah jarang ia sentuh. Nomor seorang kenalan bidan di kecamatan itu masih tersimpan.
Setelah ragu beberapa detik, ia menekan panggilan.
“Assalamu’alaikum, Bu Mira. Saya Regi.”
“Ya Allah, Mas Regi?” suara di seberang terdengar terkejut. “Mas ingat kami?”
“Saya… mau tanya sesuatu.”
Ada jeda sesaat, hanya suara angin yang bertiup di mikrofon.
“Masih ingat Ardina?” ujar Regi pelan.
Nada di seberang membeku.
“Iya… tentu. Kenapa, Mas?”
“Dia sekarang… di mana?”
Bu Mira menghela napas panjang.
“Di rumah sakit jiwa kabupaten. Sudah hampir tiga harian. Katanya tekanan batin lama kambuh lagi.”
Ucapan itu bagai palu menghantam kepala Regi. “Anaknya…” suara Regi menipis. “Dia punya anak, kan?”
Kali ini jedanya lebih lama. Lalu,
“Punya… satu. Perempuan. Namanya Dona.”
Jantung Regi menghantam dadanya sendiri. Nama yang barusan ia dengar sendiri nama itu bukan kebetulan, melainkan jalan untuk membuka mata hatinya.
“Dia baik-baik saja?”
“Fisik sih cukup sehat, cuma… kasihan, Mas. Anak sekecil itu hidup sendirian jualan ikan bakar.”
Panggilan terputus setelah percakapan singkat, namun Regi masih terpaku menatap layar ponselnya, seolah berharap dunia barusan itu cuma mimpi.
Namun tidak.
Kebenaran kini menamparnya telak dirinya, sejenak Regi mulai menyeret langkahnya ke belakang, ada getaran besar di dalam hati seolah menolak keberadaan anak itu, namun satu hal yang tidak bisa ia pungkiri, wajah dan sikap yang begitu mirip dengan Ardina membuat tubuhnya bergetar tak berdaya.
"Tidak ... tidak mungkin ... kalau begitu akan ku pastikan sendiri untuk datang ke rumah sakit jiwa kabupaten," ucapnya sendiri penuh dengan tekad.
Regi mulai menyambar mobilnya, tanpa pikir panjang ia langsung pergi ke tempat Ardina menjalani pengobatan. Regi menekan pedal gas lebih dalam. Mobil melaju menyusuri jalan pesisir yang berdebu menuju kota kabupaten. Angin laut yang biasanya menenangkan kini terasa begitu sesak menekan dadanya. Di kepala Regi, satu wajah terus berkelebat bergantian wajah Dona yang polos, lalu Ardina yang tersenyum lembut bertahun-tahun silam.
Kenangan datang berdesakan tanpa ampun.
“Mas sekarang kita mau jadi orang tua," ucap Ardina yang masih terngiang di benaknya.
Namun yang di dapat oleh Ardina, hanya kehancuran pasalnya lelaki, yang tengah menghamilinya, tidak mau bertanggung jawab. Ia pergi. Ia menghilang.
Dan kini… ia yang harus menerima akibatnya.
Gedung Rumah Sakit Jiwa Kabupaten akhirnya tampak di kejauhan sebuah bangunan besar dengan pagar besi tinggi dan halaman luas yang sunyi. Regi menghentikan mobil di area parkir, namun tangannya masih mencengkeram setir erat, seolah takut jika turun dari mobil akan membuat kenyataan menjadi sepenuhnya nyata.
Setelah beberapa tarikan napas berat, ia membuka pintu mobil.
Langkahnya terasa ganjil, ragu dan berat, tapi terus bergerak menuju pintu masuk utama. Bau khas rumah sakit menyergap indra penciumannya campuran obat, antiseptik, dan udara lembap yang sepi.
Di ruang informasi, Regi menyebutkan nama Ardina. Petugas mengecek data, lalu menunjuk ke arah salah satu bangsal rawat jalan.
“Pasiennya sedang di taman terapi, Pak. Biasanya sore mereka dibolehkan keluar sebentar.”
Regi mengangguk tanpa suara.
Langkahnya mengikuti petunjuk arah, melewati lorong panjang dengan jendela-jendela tinggi. Di beberapa bangku tampak pasien lain duduk penuh dunia sendiri sebagian tertawa tanpa arah, sebagian mematung menatap kosong.
Dan di taman itu…
Langkah Regi terhenti.
Di bawah sebuah pohon ketapang, ia melihat sosok yang begitu ia kenal. Tubuh kurus dengan rambut tergerai tak terurus, duduk bersila di atas bangku semen. Bibir itu bergerak tanpa henti, tangan sesekali mengibas udara, seakan berbicara pada seseorang yang tak terlihat.
“Itu… Ardina…”
Dadanya serasa diremas dadanya sendiri.
Wanita yang dulu dikenal anggun dengan mata teduh kini terlihat kurus dengan rambut tergerai yang nampak kusut.
Regi tetap berdiri jauh, tersembunyi di balik bayangan tembok, hanya memandang tanpa berani mendekat. Pandangannya mengabur, entah karena silau matahari atau karena genangan air yang memenuhi matanya.
Ardina… berbicara sendiri.
Menyebut nama yang lirih namun terbaca jelas oleh Regi dari jauh—
"Mas Hakim jangan tinggalin aku, aku janji gak akan nakal," celotehnya yang masih di dengar oleh Regi. "Lihat anak kita sendirian gak punya ayah, Dona butuh kamu Mas Hakim," suara itu terdengar kembali, meskipun ada perkataan yang ngelantur, tapi tidak semuanya dan yang ditangkap oleh Regi, itu sebuah kata yang membuat hatinya tertampar keras.
Tubuh Regi membeku. Kakinya ingin melangkah, tapi hatinya belum siap. Dari tempatnya berdiri, ia hanya menatap wanita yang pernah ia cintai dan sekarang menjadi bukti hidup dari dosa yang ia tinggalkan.
"Tidak ... Ardina menjadi seperti itu, karena beban besar yang ia tanggung, dan anak yang tadi di pantai," ucap Regi seolah tidak percaya jika dosa yang ia tinggalkan akan berdampak besar seperti ini
Regi masih menatap sosok Ardina dari balik tembok, wanita itu masih terus berceloteh dengan dunianya sendiri. Tapi Regi, pria itu tidak berkutik ia takut menampakkan diri, nyalinya terlalu pengecut untuk mempertanggung jawabkan, semua. Apalagi dihadapan wanita itu.
"Aku tidak bisa seperti ini, tidak bisa," ucapnya dengan tatapan yang bingung dan hati yang kacau.
Dengan langkah yang bergetar, Regi pun mulai mengundurkan langkah, ia masih belum berani untuk menampakkan diri, tidak dengan hari ini, masih ada hari esok, pikirnya sendiri, sangking belum siap untuk menghadapi kenyataan.
"Maafkan aku Din, aku tidak siap untuk bertemu kamu, aku takut keadaanku malah membuat situasi tambah kacau, dan aku takut pertemuan kita menambah guncangan di dalam jiwamu," ujarnya sedikit menoleh, lalu memutuskan untuk pergi.
Sementara itu, netra Ardina tanpa sengaja seperti melihat kepingan dari masa lalunya, ketika pria berjas hitam itu berbalik arah, namun jiwanya yang sekarang tidak bisa menangkap senjanya, ingatannya sarat dengan bayangan Hakim seorang suami yang sudah meninggalkannya.
"Mas Hikam ... apa itu kamu!" kata Ardina dengan tatapan kosong.
Regi menghentikan langkah tanpa berani berbalik arah. "Ah, ternyata bukan Mas Hakim, hari ini kamu tidak datang lagi, kau bohongi aku terus!" ucap Ardina sedikit menekankan di kata-kata terakhirnya.
Sementara itu Regi merasa tersayat, bahkan setiap orang yang hadir, Ardina mengira itu Hakim. "Aku bukan Hakim Din, aku Regi, lelaki yang sudah membuat hidupmu seperti ini," ucapnya tapi hanya di hati saja.
Bersambung .....
Selamat siang maaf sedikit telat.
semangat Regi pasti bisa menjalaninya