Hai hai ... hadir nih spin offl dari "mendadak papa" kali ini aku jadiin Kevin sebagai tokoh utama. Selamat membaca
Gara-gara nggak mau dijodohin sama cowok sok ganteng bernama Sion, Aruntala nekat narik tangan seorang pelayan café dan ngumumin ke seluruh dunia—
“Ini pacar gue! Kami udah mau tunangan!”
Masalahnya... cowok itu cuma menatap datar.
Diam.
Nggak nyaut sepatah kata pun.
Dan Aruntala baru sadar, pria itu tuna wicara. 😭
Malu? Jelas.
Tapi sialnya, malah keterusan.
Aruntala balik lagi ke café itu, memohon ke si barista pendiam buat pura-pura jadi pacarnya biar Mama tirinya nggak bisa menjodohkannya lagi.
Cowok itu akhirnya setuju — karena nggak tahan sama ocehan Aruntala yang nggak ada titik koma.
Yang Aruntala nggak tahu, pria random itu bukan sekadar barista biasa...
Dia adalah Kevin Prasetyo, pemilik café sekaligus pemegang saham besar di perusahaan ayahnya sendiri!
Berawal dari kebohongan kecil, hubungan mereka pelan-pelan tumbuh jadi sesuatu yang lebih nyata
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kartu nama
Sion memungut kartu itu seolah ujung jarinya menyentuh bara api. Kertas tebal berwarna gading itu terasa berat di tangannya, kontras dengan isi yang sangat ringkas. Hanya ada tiga baris teks yang dicetak timbul dengan tinta hitam pekat.
Kevin Rahadja Abizar
Founder & Principal Investor
KRA Capital
Tidak ada nomor telepon. Tidak ada alamat surel. Hanya nama dan sebuah pernyataan status yang dingin dan absolut.
KRA Capital.
Nama itu tidak familiar, tapi kata ‘Investor’ dan aura kartu nama itu sendiri sudah cukup untuk menampar wajah Sion dengan keras. Ini bukan kartu nama kurir atau staf gudang. Ini adalah kartu nama milik seseorang yang membeli dan menjual perusahaan untuk sarapan.
Wajah Sion yang tadi memerah karena marah kini pucat pasi. Ia menatap Kevin, mencari jejak kebohongan atau gertakan, tapi yang ia temukan hanyalah sepasang mata gelap yang tenang, menatapnya seolah ia adalah serangga yang tidak penting.
“KRA Capital?” desis Nadira, memecah keheningan yang mencekik.
Senyum manisnya kini terlihat seperti topeng retak. Ia berusaha keras mengingat-ingat nama itu, menggali daftar koneksi bisnisnya dalam benak. Nihil. Itu justru yang membuatnya lebih cemas. Pemain besar yang tidak terdeteksi adalah pemain yang paling berbahaya.
“Ah, seorang investor!” Bram Santosa justru tertawa pelan, suaranya terdengar lega.
Pria paruh baya itu menatap Kevin dengan apresiasi yang tulus.
“Pantas saja kamu terlihat begitu tenang. Kamu terbiasa menghadapi hiu-hiu di luar sana, ya?”
Kevin hanya memberikan anggukan kecil sebagai jawaban, lalu dengan sopan melipat serbetnya dan meletakkannya di samping piring. Sebuah sinyal bahwa pertunjukan malam ini telah usai.
Aruntala, yang sejak tadi hanya bisa menatap bolak-balik antara kartu nama dan wajah pucat Sion, merasa sebuah gelombang kemenangan yang dahsyat menyapu dirinya. Ia tidak tahu apa itu KRA Capital, tapi ia tahu ekspresi orang kalah saat melihatnya. Dan saat ini, Sion dan Nadira terlihat seperti baru saja menelan obat pel.
“Yah, Ma, kayaknya udah malem banget,” kata Ala, suaranya terdengar ceria dibuat-buat. Ia berdiri dan menepuk bahu Kevin.
“Kevin harus istirahat, besok kan dia harus... eh... menginvestasikan sesuatu, kan?”
Kevin melirik Ala sekilas, tatapan yang jelas berkata, Jangan bicara lagi.
Kevin berdiri, mengangguk sekali lagi pada Bram, lalu berjalan menuju pintu tanpa menunggu Ala. Gerakannya tetap tenang dan elegan, seolah ia tidak baru saja meledakkan bom di tengah ruang makan.
Ala tergopoh-gopoh menyusul.
“Tunggu Kev, Aku pulang dulu Pa!” pamitnya sambil melambai, tidak berani menatap wajah Nadira yang kini terlihat seperti akan membunuh seseorang dengan tatapannya.
.
.
.
.
Di dalam mobil, keheningan terasa berbeda. Tidak lagi canggung atau menyiksa, melainkan penuh dengan sisa-sisa adrenalin pertempuran. Ala tidak bisa berhenti tersenyum.
“Gila. Gila, gila, gila! Itu tadi keren banget, sumpah!” semburnya, melupakan total aturan jeda lima detik dan denda satu juta rupiah.
“Muka Sion tadi! Lo harusnya liat! Kayak abis liat hantu utangnya dateng nagih! Dan Nadira! Anjir, pertama kalinya gue liat senyum iblisnya itu luntur! KRA Capital itu apaan, sih? Kedengerannya mahal banget!”
Kevin terus fokus menyetir, tangannya mencengkeram kemudi dengan mantap. Ia tidak menoleh, tidak menulis, tidak memberikan reaksi apa pun.
“Lo kok diem aja, sih?” rengek Ala, mencondongkan tubuhnya lebih dekat.
“Nggak seneng kita menang? Itu tadi kemenangan telak, lho! Skor Ala -Kevin satu, Iblis-Anak Iblis nol! Kita harus ngerayain! Besok kita ke—"
Ala berhenti bicara. Bukan karena ingat aturan, tapi karena ia baru saja memperhatikan sesuatu. Di bawah cahaya lampu jalan yang redup, ia bisa melihat urat di pelipis Kevin sedikit menonjol. Rahangnya mengeras. Pria itu tidak terlihat menang. Ia terlihat lelah. Lelah yang sangat dalam.
Aruntala menyandarkan punggungnya kembali ke kursi. Untuk pertama kalinya, ia mencoba menganalisis pria di sampingnya lebih dari sekadar ‘pacar pura-pura, tuna wicara yang misterius’. Tatapan matanya yang selalu ia anggap dingin dan datar, kini di bawah pengamatannya yang lebih saksama, ternyata menyimpan sesuatu yang lain.
Ada semacam kewaspadaan konstan di sana, seperti seorang prajurit yang tidak pernah benar-benar meninggalkan medan perang. Tapi di balik lapisan baja itu, barusan saat Bram tertawa, Aru bersumpah ia melihat kilatan yang berbeda. Sesuatu yang nyaris... hangat. Seperti bara api yang tersembunyi di bawah tumpukan abu.
“Lo... capek, ya?” tanya Ala pelan, suaranya terdengar asing di telinganya sendiri. Ia menunggu lima detik. Satu... dua... tiga... empat... lima.
“Pasti nguras tenaga ya ngadepin mereka?”
Kevin meliriknya sekilas. Hanya sekilas, tapi cukup bagi Aru untuk menangkapnya. Sebuah pengakuan tanpa kata. Ia kemudian mengalihkan pandangannya kembali ke jalan.
Mobil berhenti di depan gerbang rumah Ala. Keheningan kembali menyelimuti mereka.
“Makasih buat malam ini,” kata Aru tulus. Ia menahan keinginan untuk mengoceh lebih jauh. Satu... dua... tiga... empat... lima. “Lo beneran... nyelametin gue. Lagi.”
Kevin mengangguk. Ia meraih ponselnya, mengetik sesuatu, lalu menunjukkannya pada Ala. Layarnya yang terang menampilkan satu kalimat singkat.
Tidur. Jangan pikirkan mereka.
Ala tersenyum kecil.
“Gampang ngomongnya.” Ia membuka pintu mobil.
“Hati-hati di jalan, ya.”
Saat Ala keluar dan menutup pintu, ia melihat mobil Kevin tidak langsung pergi. Mobil itu diam di sana sampai Ala masuk ke dalam gerbang dan menutupnya rapat-rapat. Baru setelah itu, lampu belakang mobil itu menyala dan perlahan menjauh, menghilang di tikungan jalan yang gelap.
.
.
.
.
.
Satu blok dari rumah Ala, sedan hitam Kevin melambat. Bukan karena keinginannya. Sebuah SUV mewah berwarna perak tiba-tiba memotong jalannya, memaksanya berhenti di bawah lampu jalan yang berkedip-kedip rusak.
Pintu SUV itu terbuka dengan kasar. Sion melangkah keluar, wajahnya dipenuhi amarah yang tak terkendali. Ia berjalan cepat ke arah mobil Kevin dan menggedor kaca jendela pengemudi dengan keras.
“KELUAR LO, BAJINGAN BISU!” teriaknya, suaranya menggema di jalanan yang sepi.
Kevin tidak bergerak. Ia hanya menatap lurus ke depan, seolah Sion tidak ada.
“BUKA PINTUNYA ATAU GUE PECAHIN KACANYA!” ancam Sion lagi, kini menarik-narik gagang pintu yang terkunci.
Dengan helaan napas yang nyaris tak terdengar, Kevin menurunkan kaca jendelanya, tapi hanya setengah. Udara malam yang dingin langsung menyusup masuk, membawa serta aura permusuhan dari pria di luar.
“Lo pikir lo siapa, hah?!” bentak Sion, wajahnya hanya beberapa senti dari jendela.
“Dateng tiba-tiba, ngaku-ngaku investor, pamer kartu nama murahan! Lo mau nipu Aru dan keluarganya, kan?! Ngaku lo!”
Kevin menatap Sion. Tatapannya dingin, tanpa emosi, seperti menatap spesimen serangga yang menjijikkan. Keheningannya justru semakin memancing amarah Sion.
“JAWAB, ANJING! OH, IYA, GUE LUPA! LO NGGAK BISA NGOMONG!” Sion tertawa mengejek.
“Pecundang! Lo cuma bisa sembunyi di balik tulisan sama tampang kasian lo itu! Denger ya, jauhin Aru! Dia milik gue! Lo itu cuma barista rendahan yang nggak pantes bahkan buat bersihin sepatunya!”
Sion meludah ke tanah di samping mobil, sebuah gestur penghinaan yang paling puncak.
Kevin tetap diam. Ia tidak menunjukkan kemarahan, tidak juga ketakutan. Ia hanya mengangkat ponselnya perlahan, membuka aplikasi pesan, lalu mengetik dengan satu tangan. Gerakannya tenang dan presisi.
Sion menyipitkan mata, mencoba mengintip apa yang sedang diketik pria itu.
Setelah beberapa detik, Kevin memutar layar ponselnya ke arah Sion. Cahaya dari layar itu menerangi wajah Sion yang penuh kebencian. Di sana, tertulis sebuah pesan singkat dengan huruf putih di atas latar belakang hitam.
Aku tahu proposal investasi hotel terapung yang kau ajukan ke dewan direksi PT Buana Jaya Grup. Aku juga tahu angka-angka di dalamnya dipalsukan. Sentuh aku atau Aruntala lagi, dan besok pagi ayah tirimu akan membaca laporan audit lengkapnya di mejanya. Dan kariermu... akan selesai bahkan sebelum dimulai.
Napas Sion tercekat di tenggorokannya. Warna menghilang dari wajahnya. Proposal itu... bagaimana pria ini tahu? Itu adalah rahasia yang hanya ia dan ibunya yang tahu. Itu adalah kunci mereka untuk menguasai perusahaan.
Kevin menarik kembali ponselnya, matanya masih menatap lurus ke arah Sion. Tatapan itu kini bukan lagi sekadar dingin. Ada ancaman nyata di dalamnya, sebuah janji kehancuran yang sunyi dan mematikan.
Sion mundur selangkah, lalu dua langkah. Kesombongannya menguap seketika, digantikan oleh rasa takut yang dingin dan menusuk. Pria di hadapannya ini bukan sekadar barista. Ia bukan sekadar investor. Ia adalah sesuatu yang jauh lebih berbahaya.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Kevin menaikkan kaca jendelanya, menyalakan mesinnya, dan melaju melewati Sion yang masih berdiri mematung di tengah jalan, gemetar di bawah cahaya lampu yang berkedip-kedip.
.
.
.
.
“Gila, Dan! Sumpah, lo harusnya ada di sana! Itu lebih seru dari episode terakhir drama Korea yang lo tonton!”
Suara Aruntala menggelegar melalui pengeras suara ponsel Danu, membuatnya harus menjauhkan ponsel itu sedikit dari telinganya.
“La, ini jam sebelas malem. Gue baru aja mau masuk alam mimpi ketemu Park Seo-joon, terus lo telepon sambil teriak-teriak,” keluh Danu dengan suara serak.
“Ada apaan, sih? Sion akhirnya ngaku kalo kepalanya itu landasan helikopter?”
“Lebih bagus lagi! Dia dipermalukan! Di depan bokap gue! Sama pacar pura-pura gue!” seru Ala, berbaring telentang di kasurnya sambil menendang-nendangkan kakinya ke udara karena terlalu bersemangat.
Aruntala menceritakan semua kejadian makan malam itu dengan detail yang dilebih-lebihkan, mulai dari tatapan sinis Nadira, pertanyaan jebakan Sion, hingga momen puncak saat Kevin mengeluarkan kartu nama investornya yang misterius.
“...terus, jeng jeng jeng! Muka Sion langsung kayak adonan gagal, pucet, kempes! Sumpah, Dan, gue pengen banget foto terus gue cetak jadi poster di kamar gue, eh nggak. Kalau bisa gue cetak banner besar gue tarus di depan rumah.. hahahaa....!”
Terdengar helaan napas dari seberang telepon.
“Oke, oke, gue ngaku itu kedengeran keren. Terus, KRA Capital itu perusahaan apaan? Udah lo Google?”
“Belom, sih. Gue... lupa,” aku Ala.
“Saking senengnya, gue lupa nanya detailnya. Tapi yang penting kan hasilnya, kan? Rencana Nadira gagal total!”
“Hmm,” gumam Danu, nadanya terdengar lebih serius sekarang.
“La, gue bukannya mau ngerusak euforia lo, ya. Tapi ini semua... aneh.”
“Aneh gimana? Ini namanya takdir! Dewa akhirnya ngirimin gue ksatria kegelapan buat ngelawan nenek sihir!”
“Bukan, La. Pikirin deh,” kata Danu sabar.
“Lo nemu cowok di kafe. Lo asal tuduh dia pacar lo. Dia kebetulan tuna wicara, jadi dia nggak bisa nolak saat itu juga. Terus, ternyata dia bukan cuma barista, tapi investor besar yang bisa bikin Sion gemeteran cuma pake kartu nama? Ini terlalu... sempurna. Terlalu kebetulan.”
Kegembiraan Aruntala sedikit meredup.
“Maksud lo apa?”
“Maksud gue, lo nggak tau apa-apa soal cowok ini, Ala. Sama sekali. Latar belakangnya, keluarganya, motifnya. Semuanya nol besar. Dia muncul entah dari mana, pas banget di saat lo butuh bantuan.”
“Ya itu namanya takdir, Danu!”
“Atau sebuah skenario,” potong Danu, suaranya pelan tapi tajam, menusuk langsung ke gelembung kebahagiaan Aruntala.
“Lo yakin dia beneran nggak punya agenda sendiri, Ru? Lo yakin lo bukan cuma bidak catur di permainan dia yang lebih besar?”