Sebuah karya yang menceritakan perjuangan ibu muda.
Namanya Maya, istri cantik yang anti mainstream
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R.Fahlefi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mak Lampir
Tidak ada suara ajakan manis dari Gilang. Tapi Maya tahu betul kalau suaminya yang brengsek itu sedang membutuhkan asupan. Maya tidak menolak, itu adalah kewajibannya sebagai istri yang taat.
Maya membiarkan Gilang. Ia tidak pernah menolak suaminya itu meskipun dalam kondisi letih seperti sekarang. Dari dulu hingga sekarang Maya selalu melayani suaminya itu tanpa pernah menolak.
Meskipun Maya merasa ini bukan waktu yang tepat, tapi ingatan Maya tentang ucapan Gilang kemarin yang mengingatkan bahwa ia masih punya tanggung jawab di rumah.
Tubuh Maya yang letih semakin letih oleh aktifitas yang mereka lakukan malam itu. Maya sama sekali tidak menikmati kemesraan mereka. Dan Gilang juga sepertinya tidak berusaha untuk membuat dirinya merasa nikmat.
Maya seperti batang pohon pisang yang pasrah dijamah oleh suaminya. Tidak seperti awal-awal mereka menikah dulu dimana aktifitas seperti ini adalah kegiatan yang sangat dinikmati oleh mereka berdua.
Setelah selesai dengan hajatnya Gilang langsung terkapar di samping tempat tidur. Bahkan ia tidak peduli dengan Maya apakah sudah merasakan kepuasan atau tidak.
Maya menarik selimutnya. Ia tidak mengeluh, sudah biasa.
Pagi hari datang dengan lembut, cahaya matahari masuk dari celah jendela. Seluruh tubuh Maya terasa remuk, sendi-sendinya sakit. Saat mencoba berdiri ia sempoyongan.
Maya akhirnya memutuskan untuk duduk di tepi ranjang saja.
"Sari?" Gumam Maya yang tidak melihat Sari di tempat tidur.
Tapi rasa pusing kembali dirasakan oleh Maya. Ia membatalkan niat untuk melihat Sari dimana. Maya baru sadar ketika melihat jam bahwa ia bangun kesiangan. Gilang juga sepertinya sudah pergi kerja.
Maya menggapai ujung meja, berdiri. Ia berjalan tertatih untuk ke kamar mandi.
Hari itu, Maya sakit. Ia tidak bisa pergi ke ladang melihat tanaman sawinya yang baru di tanam. Tetangga sebelah berkata bahwa Sari pergi sekolah diantar oleh Gilang.
Tidak ada yang bisa ia lakukan sekarang. Maya seharian tidur di kamar, sesekali mengkompres kepalanya sendiri. Ini adalah akibat ia yang terlalu bekerja keras, tidak cukup untuk beristirahat.
Ketika Sari pulang ke rumah, Sari menggantikan semua tugasnya untuk mengurusi rumah. Anak perempuan umur 7 tahun itu memasak nasi dengan tangan kecilnya, mencuci piring, serta menyapu rumah. Sari juga membawakan lauk dari rumah mertuanya.
"Ibu sakit, istirahat aja. Biar Sari yang membersihkan rumah." Ucap anak itu.
Maya terharu melihat putri kecilnya yang begitu perhatian dan penuh rasa tanggung jawab. Memang benar, Sari adalah permata berkilau di tengah kehidupan suram yang ia jalani. Sekaligus penghibur yang menerangi gelapnya jalan yang ia lalui.
Gilang sebaliknya, ia pulang kerja, keluar lagi, main di warung hingga larut malam. Bahkan ia tahu kalau Maya sakit karena diberitahu oleh Sari.
"Makanya, jadi istri itu harus tahu diri. Bukannya mengurusi rumah malah kau sibuk sendiri dengan ladang itu." Ucap Gilang ketika hendak pergi kerja.
Maya diam. Ingin sekali melempar suaminya itu ke lubang buaya agar dimakan hidup-hidup.
"Ayah, beras kita sudah abis, minta uang untuk belanja." Sari yang tadinya mau menanak nasi meminta uang kepada Gilang.
Gilang menatap putri kecilnya itu.
"Kau yang memasak?" Alis Gilang berkerut.
Sari menganguk, "Ibu lagi sakit, nggak boleh capek-capek." Katanya dengan bahasa yang polos.
Gilang mengusap-usap kepala putrinya, namun matanya tertuju pada pintu kamar yang terbuka.
Setelah memberikan beberapa lembar uang kepada Sari, Gilang pun masuk ke kamar.
"May, sampai kapan kau tidur terus, bahkan urusan rumah kau serahkan pada anakmu!"
"Badanku masih sakit semua." Suara Maya lemah, bibirnya pucat, rambutnya berantakan seperti singa.
"Kalau gitu, kenapa nggak berobat saja?!"
"Aku nggak punya uang untuk berobat."
" Lah, nggak punya? Uang yang aku berikan kemarin kemana semua? Masa udah habis?"
Dada Maya seperti ditekan pisau berkarat, "Bang, itu uang udah aku belanjain buat listrik, air, uang sekolah, beras. 1 juta mana cukup!"
"Dasar kamu nya saja yang tidak becus mengelola uang! Benar kata Mirna, kau itu cuma tahunya menghabiskan saja!"
" Bang, aku udah berusaha keras untuk menghemat, memang uangnya gak cukup."
Brukk!
Suara pintu terbanting, Gilang pergi.
Air mata Maya menetes, lagi dan lagi ia harus menelan pil pahit kehidupan. Tidak mudah menerima sikap Gilang meski itu sudah menjadi makan sehari-hari. Bahkan saat dirinya sakit suaminya itu tidak melunak sedikitpun.
Hari berikutnya Maya merasa tubuhnya sudah lebih baik. Ia memaksakan diri pergi ke ladang setelah Sari pergi sekolah.
Sampai di ladang, semangatnya kembali menguat. Sawi-sawi yang ia tanam beberapa hari lalu terlihat segar dan hijau. Sari menemaninya, membantunya.
Meski tubuhnya lemah, Maya tetap menyaingi gulma yang tumbuh, menyirami tanaman. Matahari semakin terik, Maya beristirahat di gubuk kecil sambil membuka kotak nasi yang dimasak oleh Sari tadi pagi. Lauk sederhana, mie goreng instan, ditambah dengan telur ceplok. Sari sungguh telaten, ia bisa memasak semua itu bahkan dengan usianya yang baru 7 tahun. Anak itu dewasa lebih cepat dibandingkan anak-anak seusianya.
Seketika air mata Maya menetes untuk kedua kalinya hari ini. Bukan karena kesedihan, tapi karena rasa haru dan bangga telah membesarkan anak seperti Sari. Disaat anak-anak lain masih bisa bermanja-manja dengan orang tua, anak itu justru memperlihatkan kepedulian yang membuat hati mencelos.
"Ibu kenapa? Kok nangis?" Tanya Sari bingung.
"Gak apa-apa nak, ibu cuma bahagia saja."
"Bahagia? Jadi ibu nangis karena bahagia?"
Maya mengelus rambut hitam Sari yang tergerai, "Karena ibu punya anak baik seperti Sari." Ucap Maya tersenyum.
Sari masih bingung, tapi melihat ibunya berkata demikian ia ikut tersenyum.
Seperti sebuah berkah dari tuhan, tanaman Maya tumbuh subur dengan baik. Ia semakin bersemangat bekerja di ladang. Setiap hari, apalagi dengan kesehatannya yang mulai membaik ia selalu pergi dengan langkah yang ceria. Hiburannya kini adalah melihat ladangnya.
Tapi, kesuksesan ladang itu tidak serta menghilangkan masalah lain. Uang habis, persediaan dapur menipis. Masih satu minggu lagi agar ia mendapat jatah bulanan dari Gilang.
Saat melewati warung tempat Gilang biasa ngumpul bersama teman-temannya, Maya sebenarnya enggan untuk mendekat. Tapi kali ini Maya tergoda untuk menguping apa sebenarnya obrolan laki-laki sehingga berlama-lama di warung.
Perlahan, dari samping warung Maya ssngaja berjalan pelan.
"Gimana rencana mancing minggu depan Lang? Kau jadi ikut kan?"
"iya nih Lang, kalau bukan kau siapa lagi yang bisa kami andalin? Kau tahu sendiri kan kalau biaya untuk sewa perahu itu mahal? " Tambah teman yang lain.
"Aku nggak tahu bro, lihat bulan depan saja. Aku lagi banyak pengeluaran." Jawab Gilang.
Maya sedikit lega mendengar jawaban suaminya dari balik dinding warung. Laki-laki itu ternyata sadar juga kalau mereka lagi banyak pengeluaran.
"Alaah, bilang aja kau takut ama istri ya kan? Hahaha, jangan-jangan kau udah jadi STI."
" STI?"
"Iya, STI alias suami takut istri."
Suara gelak tawa terdengar di warung.
Wajah Gilang memerah meski Maya tidak melihatnya. Gilang paling pantang jika teman-temannya menantang seperti itu. Ia tidak mau diremehkan apalagi dianggap berada di bawah bayang-banyang istri seperti banyak orang.
"Gila, ya nggak lah. Seumur-umur mana pernah aku takut ama istri sendiri." Jawab Gilang tak terima.
"Nah buktinya kau nggak ikut ya kan?"
"Siapa bilang aku nggak ikut? Oke, aku yang akan bayar sewa perahunya, kalian cuma perlu modal pancing ama badan aja!" Lanjut Gilang dengan bangga.
Teman-teman Gilang mengangguk-angguk.
"Oke bro, kau emang teman yang bisa diandelin!!"
"Ya iya dong, Gilang itu PNS, Cuma dia di kampung ini bapak-bapak muda yang sukses!"
Senyum Gilang merekah dipuji oleh teman-temannya. Mereka semua tidak tahu kalau ada seorang wanita yang menahan dadanya sesak oleh perkataan-perkataan yang mereka ucapkan.
Maya ingin sekali melempar sendal dan cangkul yang ia pegang itu ke atas meja kopi mereka. Ia seharian membanting tulang di ladang demi mencari uang tambahan. Tapi dengan mudahnya Gilang menyewa perahu hanya untuk pergi memancing.
Maya tahu kalau harga untuk menyewa perahu itu tidak murah. Butuh uang setidaknya 500 ribu untuk seharian pakai. Karena dulu, saat ia dan Gilang pacaran mereka pernah memancing bersama di hulu sungai. Itulah sebabnya Maya tahu betul berapa biaya pergi memancing.
Dengan dada penuh sesak dan kepala yang dipenuhi oleh emosi Maya meninggalkan warung itu.
Malam hari, belum sempat Gilang duduk dan memasukkan motornya ke rumah, pukul 11 malam Maya sudah berdiri berkacak pinggang di ruang tengah. Ia sengaja menunggui Gilang.
"Kenapa lagi kau?" Tanya Gilang heran.
Maya masih diam, Mayanya menyala oleh amarah.
"Kalau kau mau ngajak ribut, aku lagi sibuk!" Ucap Gilang lagi.
"Aku mau tanya satu hal Bang." Maya masih berkacak pinggang dengan selendang melilit di pinggang dan rambut acak-acakan.
Gilang tersenyum sinis, lalu tertawa, "Hahaha, banyak kali gaya kau, udah macam mak lampir aja kau kutengok!"