Vira, terkejut ketika kartu undangan pernikahan kekasihnya Alby (rekan kerja) tersebar di kantor. Setelah 4 tahun hubungan, Alby akan menikahi wanita lain—membuatnya tertekan, apalagi dengan tuntutan kerja ketat dari William, Art Director yang dijuluki "Duda Killer".
Vira membawa surat pengunduran diri ke ruangan William, tapi bosnya malah merobeknya dan tiba-tiba melamar, "Kita menikah."
Bos-nya yang mendesaknya untuk menerima lamarannya dan Alby yang meminta hubungan mereka kembali setelah di khianati istrinya. Membuat Vira terjebak dalam dua obsesi pria yang menginginkannya.
Lalu apakah Vira mau menerima lamaran William pada akhirnya? Ataukah ia akan kembali dengan Alby?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Drezzlle, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pria yang Bermasalah
Alby bangun dan menyeka darah di sudut bibirnya setelah William meninggalkan jejak pukulan disana.
“Ini kantor, Pak. Jangan bawa perasaan pribadi untuk mengintimidasi karyawan,” protes Alby.
William menggebrak meja. Pukulan kedua hampir saja akan melayang—di tahannya kuat.
“Katakan itu pada istrimu, Alby. Kamu tahu peraturannya. Di dalam timku, pasangan suami istri tidak boleh bekerja dalam satu divisi,” kata William, suaranya lebih tenang tapi tegas. Ia kembali duduk di kursi kulitnya.
“Tapi kami sudah meminta ijin ke kepada Pak Hendra ( Eksekutif Senior di Kantor—posisi lebih tinggi dari William ),” protes Alby lagi.
“Kalian berada di bawah naunganku, aku yang memutuskan bisa atau tidak, mengerti!” William menyeringai, melempar map berwarna biru ke arah Alby. Berisi peraturan serta persyaratan yang telah ia buat.
“Kau atau Abella yang keluar dari pekerjaan ini, pilih salah satu,” tambah William.
Alby meremas map itu kuat, matanya berkilat merah menatap kepala tim-nya yang kini terlihat jelas ingin mengusirnya dari perusahaan.
“Akan saya pikirkan, permisi, Pak.” Alby keluar dari ruangan, dengan wajah merah padam. Langkahnya terhenti di ujung lorong sebelum memasuki lift, mengepalkan kedua tangannya kuat, memukul dinding yang kokoh. “Sialan!” umpatnya.
.
.
Malam itu di dalam kamar Apartemen Abella, yang kini ditinggali bersama Alby. Pertengkaran memenuhi ruangan.
“Kamu harus resign,” ucap Alby pada istrinya, Abella.
“Apa maksudmu?” Abella terkejut dengan permintaan itu, suaminya baru saja pulang dari kantor lalu menyuruhnya resign dari pekerjaan yang telah ia geluti selama hampir 7 tahun.
“Ini semua karena ulahmu! William ingin kau atau aku yang keluar dari kantor,” lanjut Alby.
Perlahan sudut bibir Abella tertarik, sebuah seringai dan kemarahan memuncak. “Kau saja yang keluar,” protes Abella.
“Aku?” Alby bangun dari duduknya, matanya melebar mendengar jawaban istrinya. “Kau sedang hamil, aku akan dipromosikan tahun ini. Aku tidak mungkin keluar … gara-gara pernikahan ini semua kacau!” pekik Alby.
“Pekerjaan menjadi sasaran empuk William, orang tua ku tidak ingin bertemu denganku … Akh … sialan!” Alby menggerutui dirinya, mengusap wajahnya dengan kasar.
“Jadi kamu menyalahkan ku untuk semua ini, hah?” Abella melempar tasnya ke wajah suaminya.
“Iya, semua ini salahmu!” pekik Alby. “Kalau saja … akh, sial!” Alby memilih bangun dari tempat duduknya.
“Aku tidak ingin keluar, posisi ku lebih tinggi darimu di kantor. Aku tidak bisa!” tolak Abella.
Alby menarik tubuh istrinya dengan kasar, hingga Abella tersungkur di lantai. Mengapit dagu Abella dengan telunjuk dan ibu jarinya, “Jika kamu tidak mau mengalah, kita bercerai!” Alby memberikan kecaman.
“Kamu gila, Alby. Kita baru saja menikah dan sekarang ingin bercerai?”
“Aku frustrasi dengan pernikahan ini, kalau saja aku memilih Vira daripada kamu … semua kekacauan ini tidak akan terjadi. Aku sudah menaruh semua ide, pikiran dan tenagaku di proyek kali ini. Aku harus dapat promosi dan duduk sejajar dengan William. Kau mengerti!” Alby menekan kening istrinya, sebelum pergi.
THUMP!
Alby menutup pintu apartemen dengan keras. Ia keluar untuk mencari udara segar, masalah di kantor datang satu persatu setelah memutuskan untuk menikahi Abella. Yang lebih menyesakkan, orang tuanya menutup pintu rumah rapat-rapat untuknya—sampai Alby datang kerumah orang tua Vira untuk meminta maaf.
.
.
Sementara di belahan bumi lainnya.
William diam-diam mengikuti Vira selepas pulang dari kantor. Ia tahu wanitanya tidak menyukai perhatian yang berlebihan. Karena itu saat tahu Vira mencari tempat tinggal baru, William meminta Lisa mengantar Vira ke sebuah apartemen miliknya yang telah lama kosong.
Seorang pria paruh baya suruhannya, ia suruh pura-pura menjadi pemilik unit dan memberikan harga sewa yang murah.
Di dalam apartemen ..
“Lis, jadi ngerepotin kamu nih?” kata Vira. Keduanya membawa masing-masing kotak besar berisi barang-barang Vira dari apartemen sebelumnya. Mereka memasuki lift, menuju kamar 304.
“Santai aja, Vir…” jawab Lisa.
“Kamu tahu darimana kalau ada unit kosong … murah dan dekat pula sama kantor,” ujar Vira penasaran.
“Eum … te-temanku yang kasih tahu.” Lisa mengusap tengkuknya karena bingung harus menjawabnya. Sebelumnya, William memintanya untuk menjaga rahasia. Bahkan seribu dollar sudah masuk ke rekeningnya sebagai uang tutup mulut.
“Makasih banget ya, pas banget … aku lagi butuh.”
Keduanya masuk ke dalam kamar apartemen. Mulai membersihkan ruangan dan menyusun barang-barang.
drrt..drrrt…
Sebuah panggilan masuk di ponsel Vira, ia menggapai ponselnya di meja.
“Halo, sayang. Kamu di mana? Aku datang bawa makanan untukmu,” ucap William dari balik telepon.
Vira diam sejenak, ia ragu memberikan jawaban ‘kasih tahu nggak ya lokasi apartemen ku sekarang?’ monolognya.
“Cepat turun aku tunggu di depan,” tambah William.
“Maaf, Pak. Saya sedang tidak ada di apartemen. Ada janji dengan Lisa. Nanti aku hubungi lagi, ya. Kami sedang sibuk sekarang…” jawab Vira.
“Ya sudah, kita bertemu besok di kantor,” kata William sebelum mengakhiri percakapan.
Vira menarik napas dalam-dalam, mencari ketenangan dengan menyandarkan punggungnya ke dinding yang dingin. Pikirannya berkecamuk, dipenuhi tanya tentang hubungannya dengan William.
Apa sebenarnya ini? Sebuah pelarian? Sebuah persinggahan sementara—hatinya masih terasa terkunci rapat, dikuasai oleh bayang-bayang Alby. Cinta itu belum sepenuhnya sirna, meskipun pahitnya pengkhianatan Alby masih terasa begitu nyata. Kenangan indah yang pernah mereka ukir bersama masih sering menyelinap masuk.
Sementara Pria yang sebenarnya tadi sudah berada di depan gedung apartemen baru yang ditinggali Vira—William, kini memutar setirnya mengarahkan mobilnya pulang ke rumah setelah mendapatkan pesan dari Ibunya, jika mantan istrinya—Miranda membuat kekacauan.
Rumah dengan dua lantai itu kacau balau.
“Apa yang terjadi?” tanya William pada ibunya yang duduk di sofa menangis tersedu-sedu.
“Miranda … dia membawa Anggi.” Bahu wanita tua itu gemetar, suaranya parau dan terisak. Cucunya di bawa paksa oleh wanita yang pernah menjadi menantunya.
William tersentak, napasnya memburu. Mengepalkan kedua tangannya. Mengetahui mantan istrinya telah membawa anak keduanya pergi.
“Dimana Chika?” William beralih mencari putri sulungnya. Ia berjalan menuju kamar Chika.
“Papa…” Melihat papanya datang, Chika segera berlari memeluknya. Tangisnya pecah, di dada William.
“Ma-ma… membawa Anggi…” suaranya parau, merasa bersalah tidak bisa menjaga adiknya.
“Tenang, papa akan mencarinya. Kamu diam di rumah jaga Oma, mengerti.” William mengusap puncak kepala putrinya, sebelum pergi. Lalu ia kembali masuk ke dalam mobil, menuju apartemen Miranda.
William meremas setirnya kuat-kuat, amarahnya membuncah. “Akan aku lenyapkan kau, Miranda!”
Bersambung…
tapi di cintai sama bos gaskeun lah 😍