Helen Hari merupakan seorang wanita yang masih berusia 19 tahun pada saat itu. Ia membantu keluarganya dengan bekerja hingga akhirnya dirinya dijual oleh pamannya sendiri. Helen sudah tidak memiliki orang tua karena keduanya telah meninggal dunia. Ia tinggal bersama paman dan bibinya, namun bibinya pun kemudian meninggal.
Ketika hendak dijual kepada seorang pria tua, Helen berhasil melawan dan melarikan diri. Namun tanpa sengaja, ia masuk ke sebuah ruangan yang salah — ruangan milik pria bernama Xavier Erlan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ScarletWrittes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7
Helen merasa kalau dirinya salah berbicara, sehingga ia tidak memiliki jawaban apa pun untuk disampaikan kepada bosnya sendiri.
“Saya cuma bercanda kok, Pak. Nggak bener serius. Saya cuma mau naik jabatan aja, dari jabatan saya yang sekarang.”
“Kalau jabatannya menjadi pacar saya, bagaimana? Apakah kamu setuju?”
Sopir yang mendengar itu hanya diam saja dan tidak berbicara apa-apa, sambil senyum-senyum melihat ke arah kaca mobil bagian atas.
Helen terdiam, tidak bisa menjawab perkataan Xavier karena dirinya merasa tidak pantas untuk menjadi pacar bosnya itu.
“Kenapa sih Bapak mau jadi pacar saya? Padahal Bapak tahu kalau saya itu bukan wanita yang dari kalangan baik seperti Bapak. Jadi buat apa juga Bapak capek-capek menyukai orang seperti saya?”
“Karena saya suka sama kamu, dan tidak memiliki alasan apa pun. Lagian, kalau orang jatuh cinta itu memang nggak punya alasan.”
“Benar sih kata Bapak, memang tidak punya alasan. Tapi kan kalau menurut saya sendiri, saya itu kurang pantas buat Bapak, dan saya juga bukan dari keluarga terpandang. Emangnya Bapak nggak malu kalau seandainya menjadi pacar saya?”
Xavier hanya menggeleng kepala dan merasa bangga kalau bisa mendapatkan Helen sebagai pacarnya.
“Justru saya bangga kalau bisa jadi pacar kamu. Kadang-kadang saya suka mikir, kalau seandainya kamu jadi pacar saya pasti lucu dan menarik ya, karena kamu orangnya lucu.”
Sopir yang mendengar itu tidak bisa berkata apa-apa, karena ia juga menikmati momen tersebut.
“Ya udah, Pak, jangan ke mana-mana ngomongnya. Gimana nih tata jabatan saya? Saya nggak mau kalau jabatan saya itu-itu aja.”
“Kenapa kamu harus naik jabatan sih? Alasannya apa?”
“Karena saya pengen dapat gaji yang lebih tinggi, makanya saya mau naik jabatan. Kalau saya nggak naik jabatan, kan gaji saya nggak tinggi-tinggi, dan jabatan saya gitu-gitu aja.”
“Emang kamu mau gaji berapa?”
Ketika bosnya berkata seperti itu, Helen tidak bisa berbicara apa-apa karena merasa tidak pantas berbicara seperti itu kepada atasannya.
“Yang pantas aja, Pak, untuk jabatan saya ke depannya.”
“Ya udah, naik sepuluh kali lipat dari yang sebelumnya, gimana?”
“Setuju. Kalau begitu, ya udah, Pak, saya turun di sini aja ya. Saya mau pulang naik halte kereta itu.”
“Nggak usah. Saya antarin pulang aja. Kan kamu wanita, lagian udah malam juga. Kalau wanita pulang malam-malam itu nggak baik, nanti malah jadinya ada apa-apa. Dan saya juga harus bertanggung jawab sama kamu. Sebagai bos, saya akan bertanggung jawab dengan pegawai saya.”
Helen yang mendengar itu merasa tidak senang, karena yang ia tahu bosnya menyukai dirinya. Tapi kenapa tiba-tiba status mereka kembali menjadi bos dan pegawai?
“Ya udah kalau gitu... sebenarnya saya nggak punya rumah sih. Saya tinggalnya sama Bobby.”
Xavier yang mendengar itu merasa kaget dan tidak menyangka kalau wanita yang disukainya ternyata tinggal dengan pria lain.
“Kok kamu berani banget sih bicara kayak gitu di depan saya? Kamu nggak tahu ya kalau kamu tinggal di tempat pria lain itu menyakiti hati saya?”
Helen hanya tersenyum dan tidak tahu harus berkata apa-apa lagi, karena sebenarnya ia memang berharap kalau bosnya masih menyukainya.
“Emangnya Bapak masih suka sama saya? Kan saya udah punya pacar. Emangnya Bapak nggak takut dibilang pelakor?”
“Untuk apa saya takut dibilang pelakor? Orang saya nggak merasa kamu itu milik orang lain. Selama kamu belum menikah, berarti kamu bukan milik siapa-siapa dong.”
Helen yang mendengar itu merasa kaget dan tidak menyangka kalau bosnya akan berkata seperti itu.
“Ih, kok Bapak bicaranya gitu sih? Saya jadi takut deh sama Bapak. Jangan begitu dong, Pak. Nanti saya nggak enak kalau kedengeran pacar saya.”
“Pacar kamu itu bekerja sama saya. Kalau seandainya saya mau pecat juga bisa. Emangnya kamu nggak takut kalau saya pecat dia?”
Helen tidak mau kalau karier orang lain hancur gara-gara dirinya, karena ini tidak ada hubungannya dengan Bobby.
“Baik, Pak. Saya minta maaf. Mungkin saya sudah lancang kepada Bapak. Tidak seharusnya saya berbicara seperti itu.”
“Ya udah, bagus kalau kamu tahu kalau kamu lancang. Makanya jangan berbicara tentang pria lain lagi di depan saya.”
Helen penasaran, kenapa bosnya marah kalau ia bicara tentang pria lain.
“Emangnya kenapa, Pak, kalau saya berbicara tentang pria lain? Emangnya Bapak nggak suka?”
“Menurut kamu, dari pandangan mata saya, apakah saya suka ketika kamu berbicara dengan pria lain atau tentang pria lain?”
“Tapi kan Bapak bukan pacar saya. Kenapa Bapak harus marah? Kan Bapak cuma bos saya.”
“Kamu lupa kalau saya bisa melakukan hal apa pun kalau saya suka sama seseorang. Lagian, kamu itu kenapa sih nggak pernah membuka hati untuk saya?”
Helen terdiam. Ia memang tidak bisa menjawab apa pun atas perkataan bosnya itu.
“Pak, saya udah pernah bilang ke Bapak kalau saya itu nggak pantas buat Bapak. Emangnya Bapak nggak inget ya? Barusan saya ngomong loh, Pak, belum ada satu jam.”
“Kamu tahu dari mana cocok atau nggaknya kamu sama saya? Kan kamu nggak pernah tahu kecocokan kita itu seperti apa.”
“Kalau Bapak paksain juga bisa sih, tapi kan nggak lucu, Pak, kalau dipaksain. Masa iya, seorang bos suka sama anak buahnya yang tidak kompeten seperti saya?”
Xavier merasa lucu dengan wanita itu. Walaupun Helen orangnya polos, entah kenapa Xavier suka saja menggodanya.
“Kamu tahu dari mana kalau kamu tidak kompeten? Emangnya kamu pernah berbuat hal apa sama saya sampai bisa bilang diri kamu tidak kompeten?”
“Kayaknya dari segala aspek saya memang tidak ada kompetennya deh, Pak. Karena saya nggak pernah ngapa-ngapain sama Bapak, dari jabatan, jodoh, apalagi dalam mencari keuangan.”
Xavier terdiam, karena apa yang dikatakan Helen memang tidak salah, tapi entah kenapa ia tidak suka mendengarnya.
“Bapak itu cocoknya sama model itu, Pak. Yang namanya Alea.”
Alea adalah teman kecil Xavier yang tidak diketahui banyak orang, karena Xavier tidak mau menghancurkan karier Alea.
Alea adalah wanita yang baik dan menyukai Xavier sejak kecil, tapi Xavier hanya menganggap Alea sebagai adiknya saja.
“Kamu itu bicara apa sih? Kalau nggak tahu apa-apa jangan bicara sembarangan. Nanti nggak enak kedengeran orang.”
“Loh, saya itu kasih Bapak kesempatan yang baik loh. Kalau Bapak bisa sama model, ngapain sama saya yang cuma pekerja bar?”
“Kan saya udah bilang, kamu itu beda. Kamu nggak bisa menyamakan dirimu atau membandingkan dirimu dengan orang lain, karena kamu itu istimewa dan beda.”
Helen merasa heran, “Emangnya saya nasi goreng sampai dibilang istimewa? Kan saya juga manusia biasa.”
“Iya, pokoknya Bapak jangan sama saya. Karena Bapak itu orang yang terpandang. Kalau Bapak sama saya, nanti Bapak malah jadi anjlok. Emangnya Bapak mau?”
“Emangnya apa sih pentingnya ketenaran, kalau misalkan saya nggak bersama kamu?”
Sesampainya di depan rumah Helen, ia berkata,
“Baik, Pak. Sudah sampai depan rumah saya. Saya keluar dulu ya.”
Saat Helen mau keluar dari mobil, Xavier menahan tangan kanannya dan berbicara,
“Jangan tinggal di sini. Saya kasih kamu rumah aja. Ayo, Pak sopir, jalan. Jangan ke sini lagi.”
“Baik, Pak,” jawab sopirnya, mengikuti arah bosnya berbicara, menuju rumah yang akan diberikan untuk Helen.
Helen merasa tidak enak hati ketika bosnya memberikan rumah kepadanya, padahal pegawai lain tidak pernah diberi rumah.
“Tapi, Pak... Bapak begini ke semua orang kan? Bukan cuma ke saya doang? Saya jadi nggak nyaman kalau Bapak melakukan hal ini hanya untuk saya.”
“Kalau saya cuma melakukan hal ini ke kamu doang, emangnya kenapa? Emangnya nggak boleh?”
“Iya, boleh aja sih. Cuma saya ngerasa nggak pantas aja gitu. Kenapa Bapak harus baik sama saya, kan saya—”
“Cukup! Jangan pernah lagi kamu bicara kalau kamu punya pacar. Karena itu menyakiti hati saya. Saya tidak mau kamu pacaran dengan pria itu. Dia tidak baik buat kamu. Lebih baik kamu sama saya. Saya akan fasilitasi apa pun untuk kamu.”
Helen merasa kalau Xavier adalah orang yang melakukan segala hal sesuka hatinya tanpa memikirkan perasaan orang lain.
“Kenapa sih, Pak, Bapak selalu suka buang-buang waktu untuk orang yang nggak penting kayak saya? Padahal saya nggak pernah mengharapkan apa pun dari Bapak.”