Seharusnya kehidupan Serena sempurna memiliki kekasih tampan dan kaya serta mencintainya, dia semakin yakin bahwa cinta sejati itu nyata.
Namun takdir mempermainkannya ketika sebuah malam kelam menyeretnya ke dalam pelukan Nicolás Navarro—paman dari kekasihnya, pria dewasa yang dingin, berkuasa, dan telah menikah lewat perjodohan tanpa cinta.
Yang terjadi malam itu seharusnya terkubur dan terlupakan, tapi pria yang sudah memiliki istri itu justru terus menjeratnya dalam pusaran perselingkuhan yang harus dirahasiakan meski bukan kemauannya.
“Kau milikku, Serena. Aku tak peduli kau kekasih siapa. Malam itu sudah cukup untuk mengikatmu padaku... selamanya.”
Bagaimana hubungan Serena dengan kekasihnya? Lantas apakah Serena benar-benar akan terjerat dalam pusaran terlarang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Neon Light, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7
Satu jam kemudian, tangisan Serena menggema lembut di dalam apartemen Gaby yang hangat. Tubuhnya gemetar dalam pelukan sahabatnya itu. Raut wajahnya tampak begitu lelah, matanya sembap, dan pundaknya bergetar setiap kali ia menarik napas di sela-sela isakan yang belum reda.
Gaby menepuk punggungnya perlahan, mencoba menenangkan dengan belaian yang tulus. Ia baru saja menjemput Serena di depan gedung apartemen—tanpa sedikit pun menanyakan ada apa yang sebenarnya. Ia tahu, waktunya belum tepat untuk bertanya. Yang penting saat ini hanyalah memastikan Serena merasa aman.
Serena menggenggam erat tangan sahabatnya, lalu mulai berbicara dengan suara bergetar, nyaris tak terdengar. “Gab… aku sudah kehilangan semuanya. Aku tidak tahu harus bagaimana.”
Gaby menatapnya penuh iba. “Kehilangan apa, Se?” tanyanya lembut.
Serena menunduk, air matanya kembali jatuh. Ia mengusap wajahnya, berusaha berbicara dengan suara yang masih tersendat. “Aku… aku sudah melepas mahkotaku, Gab. Pada seorang pria yang bahkan aku tidak sangka bisa melakukan itu padaku.”
Gaby terdiam. Hening sesaat, sebelum ia merengkuh Serena kembali ke dalam pelukannya. “Ya Tuhan!” gumamnya lirih, matanya ikut berkaca-kaca.
Serena melanjutkan kisahnya, menceritakan dengan penuh air mata bagaimana semuanya bermula. Ia menceritakan malam itu dengan rinci—dari acara yang mereka hadiri, sampai dirinya yang kehilangan kesadaran dan mendapati dirinya di tempat asing keesokan paginya. Namun, satu hal yang ia rahasiakan dengan mati-matian, nama pria itu. Ia tidak ingin siapa pun tahu bahwa sosok yang telah menodainya adalah Nicholas.
Bagi banyak orang di negeri ini, hal semacam itu mungkin bukan lagi sesuatu yang mengejutkan. Tapi bagi Serena, dia hanya ingin memberikan malam pertamanya pada Gabriel seorang dan itu telah menghancurkan seluruh harga dirinya.
“Se …,” suara Gaby bergetar, air matanya mulai jatuh. “Maafkan aku. Semua ini terjadi karena aku. Seandainya saja aku tidak membiarkanmu pergi sendirian malam itu… seandainya aku menunggumu di depan toilet…” ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Mungkin semua ini tidak akan terjadi.”
Serena langsung memeluk Gaby lebih erat. “Jangan katakan begitu, Gab. Aku yang salah,” ucapnya di antara tangis. “Kau sudah memperingatkanku agar tidak minum terlalu banyak malam itu. Tapi aku keras kepala, aku pikir aku bisa mengendalikan diri. Kalau saja aku mendengarkanmu.”
Mereka berdua larut dalam tangisan panjang, saling memeluk erat seolah mencoba memeluk kembali potongan diri yang telah hancur.
Setelah beberapa lama, Gaby mengusap bahu Serena lembut. “Sudah, Se. Sekarang tenangkan dulu dirimu. Aku janji akan membantumu. Kita akan cari tahu siapa yang sudah menculik dan memperlakukanmu seperti ini, apa pun caranya.”
Serena mengangguk perlahan. Napasnya tersengal, matanya masih basah. “Aku takut, Gab,” ujarnya pelan. “Aku takut pada semuanya. Bagaimana nanti kalau Paman dan Bibiku tahu? Bagaimana kalau mereka kecewa padaku? Dan Gabriel… aku tidak tahu harus bagaimana menghadapinya. Dia terlalu baik, terlalu tulus untuk tahu semua ini.”
Gaby menatapnya dengan tatapan penuh keyakinan. “Dengar aku, Se,” katanya mantap. “Gabriel mencintaimu apa adanya. Aku yakin, sekalipun dia tahu semua yang terjadi, dia tidak akan meninggalkanmu. Kau tahu betapa dalam perasaannya padamu, bukan?”
Serena menunduk, menggigit bibirnya sambil berusaha menahan air mata yang hampir jatuh lagi. “Tapi bagaimana kalau dia salah paham, Gab? Bagaimana kalau dia berpikir aku… menginginkannya?”
“Tidak, Se.” Gaby menggenggam kedua tangannya erat. “Kau tidak perlu takut. Gabriel akan tahu kebenarannya. Dan paman bibimu juga… mereka pasti akan berpihak padamu. Karena yang terjadi bukan kesalahanmu. Kau korban, Se, bukan pelaku. Jangan pernah menyalahkan dirimu sendiri.”
Mendengar ucapan Gaby, beban di dada Serena sedikit berkurang. Setidaknya ada seseorang yang mau mendengarkannya tanpa menghakimi. Namun, pikirannya tetap saja berputar di tempat yang sama—tentang Gabriel, tentang cinta yang harusnya tumbuh indah, tapi malah berubah menjadi beban yang menusuk di dada.
Serena menatap kosong ke arah jendela kamar Gaby. Bayangan wajah Gabriel terus muncul di kepalanya, membuat hatinya bergetar di antara rindu dan rasa bersalah. Dia tahu, cepat atau lambat, Gabriel akan mengetahui segalanya. Dan ketika saat itu tiba, mungkin semuanya akan berakhir.
Mungkin memang takdirnya harus kehilangan pria yang dia cintai.
Mungkin cinta mereka hanya ditakdirkan untuk bertumbuh di hati, bukan untuk hidup berdampingan.
Paman dan bibinya tak pernah memberi restu. Setiap kali nama Gabriel disebut, raut wajah mereka berubah menjadi dingin. Serena tak mengerti kenapa masa lalunya harus menjadi penghalang untuk mencintai seseorang yang tulus padanya. Tapi semakin keras dia berusaha melawan, semakin besar pula rasa bersalah itu menjeratnya.
“Serena, istirahat saja dulu,” ucap Gaby sambil menarik selimut di ujung ranjang dan menepuk kasur putih itu dengan lembut.
“Thanks, Gab.”
Serena merebahkan tubuhnya di atas kasur. Pandangannya menatap langit-langit, mencoba mencari ruang kosong dalam pikirannya agar bisa tenang. Tapi semua terasa berat. Bahkan untuk sekadar memejamkan mata pun hatinya menolak.
Gaby berdiri di dekat pintu, memperhatikan sahabatnya yang terlihat rapuh. Dia tahu Serena bukan tipe yang mudah menyerah. Saat keheningan mulai menyelimuti kamar, ponsel di dalam tas Serena bergetar. Dia menoleh perlahan, menatap nama di layar ponsel yang berulang kali menyala.
Serena sempat ragu, namun akhirnya menekan tombol hijau setelah tujuh kali panggilan tidak terjawab. Suaranya bergetar.
“Halo. Iya, Paman.”
“Di mana kamu sekarang? Kenapa semalam tidak pulang? Mau jadi perempuan seperti apa kamu malam tidak pulang?”
Nada dingin dan tajam dari suara Antonio menembus telinganya. Serena menelan ludah, mencoba menenangkan diri meskipun matanya kembali memanas.
“Serena tidur di rumah Gaby, Paman.”
“Kalau Paman tidak percaya, bicara saja langsung sama Gaby. Dia di sini, duduk di samping aku.”
Gaby yang semula hendak keluar ruangan terdiam di ambang pintu. Tatapannya jatuh pada Serena yang menggenggam ponselnya erat. Gaby tahu, setiap kali suara Antonio muncul, Serena berubah menjadi gadis kecil yang kehilangan kekuatan untuk melawan.
“Terus kamu mau bolos kuliah?”
Tuduhan itu menghantam perasaan Serena dengan keras. Dia tahu, pamannya tak lagi punya kepercayaan padanya sejak beberapa kebohongan kecil yang dulu sempat terbongkar. Semua yang dia katakan sekarang hanya terdengar seperti alasan bagi Antonio.
“Ini Serena mau berangkat, Paman. Udah dulu ya, keburu telat.”
Kebohongan kecil itu meluncur begitu saja dari bibirnya. Bukan karena ingin menipu, tapi karena takut. Dia tahu, jika pamannya mengetahui dirinya tidak masuk kuliah, amarah itu akan kembali menghancurkan ketenangan yang tersisa.
Telepon terputus. Serena meletakkan ponselnya di meja, menatap langit-langit lagi. Dadanya terasa sesak, seakan ada beban yang terus menekan. Gaby mendekat, duduk di tepi ranjang, dan menggenggam tangan sahabatnya tanpa berkata apa pun.
Serena hanya bisa menatap ke depan, dengan air mata yang belum sempat mengalir. Dalam diamnya, dia mulai menyadari satu hal—kadang, keluarga yang seharusnya menjadi tempat pulang, justru menjadi alasan seseorang untuk terus berlari.
Gaby yang baru selesai menyiapkan tas kuliahnya menghampiri sahabatnya itu dengan langkah pelan. Pandangannya lembut, penuh rasa kasihan pada sosok yang duduk tanpa suara di hadapannya.
“O, iya. Kamu mau sarapan sekarang? Biar aku ambilkan dan bawa ke sini,” tanya Gaby dengan nada tenang.
Serena menoleh sekilas, matanya seperti kehilangan arah. “Tidak usah, nanti biar aku ambil sendiri. Aku hanya ingin tidur, Gab.”
Nada suaranya terdengar datar, tanpa emosi. Seolah setiap kata hanya keluar karena terpaksa. Gaby menatapnya cukup lama, memastikan bahwa Serena masih bisa menenangkan diri, meski hanya dengan cara memejamkan mata.
“Baiklah, kalau begitu aku ke kampus sekarang, tidak apa-apa, kan?”
Serena mengangguk pelan. “Tidak apa-apa, Gab. Tapi, tolong, kalau nanti kamu bertemu Gabriel, jangan ceritakan apa pun kepadanya. Tolong jangan.”
Gaby terdiam sejenak. Ada kegelisahan di wajahnya, tapi dia tahu ini bukan saat yang tepat untuk memaksa Serena berbagi hal yang belum siap ia ceritakan. “Baik, tenang saja. Aku mengerti. Aku tidak akan memberitahunya apa pun.”
Serena menunduk, tangannya menggenggam ujung selimut. “Terima kasih, Gab.”
Gaby menatap sahabatnya sekali lagi sebelum melangkah menuju pintu. Dia tahu, Serena sedang memikul sesuatu yang jauh lebih berat daripada sekadar patah hati. Namun, Gaby juga tahu, tidak semua luka bisa disembuhkan dengan nasihat atau pelukan. Beberapa hanya bisa reda lewat waktu.
Saat pintu tertutup perlahan, kamar itu kembali sunyi. Serena menatap kosong ke arah langit-langit, hatinya dipenuhi pikiran yang tak berhenti berputar. Setiap kenangan bersama Gabriel muncul bergantian—tertawa bersama, janji-janji manis, dan tatapan yang dulu begitu hangat.
Kini semua itu terasa jauh. Bukan karena cinta mereka pudar, tetapi karena keadaan yang memisahkan mereka dengan cara yang paling menyakitkan.
Serena menatap ponsel di samping bantalnya. Nama Gabriel masih tersimpan di layar, namun jarinya tak berani menyentuhnya. Ada keinginan untuk mendengar suaranya, tapi juga ketakutan akan kebenaran yang belum sanggup dia hadapi.
Dalam hening yang berat, Serena menutup matanya. Di antara rasa bersalah dan kehilangan, dia mulai menyadari bahwa mencintai seseorang tidak selalu berarti harus bersamanya. Kadang, cinta justru menuntut seseorang untuk mundur, agar yang dicintai tetap utuh—meski dirinya sendiri harus hancur perlahan.
To be continued