Mampukah janda muda menahan diri saat godaan datang dari pria yang paling tabu? Setelah kepergian suaminya, Ayana (26) berjuang membesarkan anaknya sendirian. Takdir membawanya bekerja di perusahaan milik keluarga suaminya. Di sana, pesona Arfan (38), paman direktur yang berkarisma, mulai menggoyahkan hatinya. Arfan, duda mapan dengan masa lalu kelam, melihat Ayana bukan hanya sebagai menantu mendiang kakaknya, melainkan wanita memikat yang membangkitkan gairah terpendam. Di antara tatapan curiga dan bisikan sumbang keluarga, mereka terjerat dalam tarik-ulur cinta terlarang. Bagaimana Ayana akan memilih antara kesetiaan pada masa lalu dan gairah yang tak terbendung, di tengah tuntutan etika yang menguji batas?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 : Jebakan Kota Kembang
Ucapan Vina berbisik mengerikan di telinga Ayana, meninggalkan jejak dingin yang merambat ke seluruh tubuhnya. Bandung? Berdua saja dengan Arfan? Ini bukan hanya jebakan, ini adalah kawat berduri yang sengaja dipasang untuk menjeratnya.
“Semoga perjalanan Anda menyenangkan… dan aman, Mbak Ayana.” Suara Vina terdengar seperti tawa iblis, penuh kemenangan. Senyum itu menggariskan sebuah ancaman yang tak terucap, sebuah janji bahwa Vina akan mengawasi setiap gerak-geriknya.
Ayana memejamkan mata sejenak, menelan ludah yang terasa getir. Ini gila. Ia harus menolak. Tapi bagaimana? Ini perintah dari Arfan, direktur utama perusahaan. Jika ia menolak tanpa alasan kuat, akan terlihat tidak profesional. Namun, menerima berarti melangkah lebih dalam ke jurang yang sudah ia rasakan keberadaannya.
Ia bergegas meninggalkan Vina yang masih berdiri di sana, seperti patung pengawas yang mengerikan. Langkah kakinya membawa Ayana kembali ke ruangannya, mencari nomor telepon Arfan di daftar kontak internal. Tangannya sedikit gemetar saat menekan tombol panggil.
“Ya, Ayana?” Suara Arfan terdengar tenang, tanpa jejak ketegangan seperti yang Ayana rasakan. Entah mengapa, suara itu justru membuat Ayana semakin gugup.
“Pak Arfan,” Ayana mencoba mengatur napasnya. “Saya baru saja diberitahu Vina mengenai perjalanan dinas ke Bandung besok pagi. Apakah itu benar?”
Ada jeda sejenak. “Oh, ya, benar sekali. Maaf saya belum sempat memberitahu langsung. Saya baru saja mendiskusikannya dengan Pak Budi, dan menurut kami, Anda adalah orang yang paling tepat untuk mendampingi. Anda kan yang selama ini menangani administrasi proyek itu.”
Ayana menelan ludah. Alasan itu masuk akal, sangat masuk akal. Terlalu masuk akal. “Tapi, Pak… apakah tidak ada staf lain yang bisa ikut? Maksud saya, saya khawatir akan kurang efisien jika hanya berdua, Pak.” Ia mencoba mencari celah, apa saja, yang bisa membuatnya terhindar dari situasi ini.
Arfan terkekeh pelan. “Justru itu, Ayana. Kita perlu fokus dan cepat. Kalau terlalu banyak orang, malah bisa mengacaukan koordinasi. Saya ingin kita bisa membahas detailnya secara mendalam di sana, tanpa gangguan. Bagaimana?”
Kata ‘kita’ itu, entah mengapa, terasa begitu intim. Ayana tidak bisa menemukan alasan yang lebih kuat untuk menolak. Ia terjebak. Vina sudah lebih dulu menyampaikan, dan Arfan sendiri yang mengonfirmasi. Menolak sekarang hanya akan menimbulkan kecurigaan, atau lebih buruk, membuatnya terlihat tidak kompeten.
“Baik, Pak. Saya siap,” jawab Ayana, suaranya terasa hampa. Ia bahkan bisa membayangkan seringai Vina yang kini pasti sudah semakin lebar, merasa puas dengan kemenangannya.
“Bagus. Kita berangkat pukul delapan pagi dari kantor. Mobil kantor akan menjemput Anda di rumah pukul tujuh tiga puluh. Jangan terlambat, ya,” Arfan mengakhiri panggilan dengan nada yang santai, seolah tak ada yang aneh dengan permintaan itu.
Ayana meletakkan gagang telepon. Ia menatap ke luar jendela, melihat langit senja yang mulai dihiasi semburat oranye. Bandung. Kota kembang. Kota yang akan menjadi saksi bisu bagi perjalanan yang terasa begitu terlarang ini.
Sepanjang malam, Ayana gelisah. Ia memandangi wajah damai putranya yang terlelap. Bagaimana jika semua ini mengancam masa depan Raka? Bagaimana jika ia benar-benar terjerat dalam dosa yang manis ini? Hati nuraninya berteriak, namun di sisi lain, ada sensasi aneh yang menggelitik, sebuah rasa penasaran terhadap apa yang akan terjadi.
Keesokan paginya, tepat pukul tujuh tiga puluh, sebuah mobil hitam elegan berhenti di depan rumahnya. Ayana sudah rapi dengan setelan kerja formalnya. Tas kerja berisi dokumen dan sebuah koper kecil berisi pakaian untuk satu malam sudah siap. Ia mencium kening Raka yang masih tidur, berat hati meninggalkan putranya.
Di lobi kantor, Arfan sudah menunggu. Ia mengenakan kemeja biru muda yang pas di tubuh atletisnya, lengan kemeja digulung rapi hingga siku, menonjolkan otot-otot lengannya. Rambutnya disisir ke belakang, memberinya aura profesional sekaligus memikat. Senyum tipis mengembang saat Ayana mendekat.
“Pagi, Ayana. Sudah siap?” sapanya ramah, tanpa sedikit pun menunjukkan bahwa ia menyadari kegelisahan Ayana.
“Pagi, Pak. Siap,” jawab Ayana, berusaha membalas senyumnya, meskipun terasa kaku. Ia berusaha menjaga jarak fisik maupun emosional.
Mereka masuk ke mobil yang sama. Sopir mengemudikan kendaraan keluar dari parkiran kantor, menuju jalan tol yang akan membawa mereka ke Bandung. Di dalam mobil, suasana terasa canggung. Ayana memilih duduk di belakang, di seberang Arfan. Tapi Arfan justru memilih duduk di sebelahnya, menyisakan kursi di belakang kosong.
“Ayana, biar lebih mudah diskusi nanti, kita duduk di barisan yang sama saja,” ujar Arfan lembut. Ia menunjuk kursi di sebelahnya dengan dagu. Ayana tidak bisa menolak. Ia terpaksa bergeser, jantungnya berdegup lebih kencang saat Arfan sedikit menggeser tubuhnya, seolah mempersilakannya duduk lebih nyaman.
Sepanjang perjalanan, mereka membahas detail proyek, strategi negosiasi, dan jadwal peninjauan. Arfan adalah profesional sejati. Pembawaannya tenang, analisanya tajam, dan ia selalu memberikan kesempatan Ayana untuk menyampaikan pendapat. Namun, di antara obrolan bisnis, sesekali tatapan Arfan mampir ke Ayana, sebuah tatapan yang terasa lebih dari sekadar rekan kerja.
Ketika Ayana mengulurkan dokumen, jemari mereka tak sengaja bersentuhan. Sekejap, namun cukup untuk mengirimkan sengatan listrik halus yang menjalar ke lengan Ayana. Arfan menarik tangannya dengan cepat, namun Ayana bisa melihat gurat ketegangan samar di rahang pria itu. Apakah ia juga merasakan hal yang sama?
Mereka tiba di sebuah hotel mewah di pusat kota Bandung. Ayana mencoba mengalihkan perhatian, sibuk dengan pikirannya sendiri saat Arfan mengurus proses check-in. Ia berharap mereka akan mendapatkan kamar terpisah, jauh dari satu sama lain.
“Atas nama Arfan Wijaya,” Arfan menyebut namanya. Resepsionis mengangguk, tersenyum ramah.
“Satu suite dengan dua kamar tidur, ya, Pak?” tanya resepsionis. “Kami sudah siapkan sesuai permintaan.”
Jantung Ayana seolah berhenti berdetak. Suite? Dua kamar tidur? Itu berarti mereka akan berbagi satu ruangan, satu ruang tamu, satu pintu utama, hanya dipisahkan oleh dua pintu kamar. Ini tidak mungkin! Darah Ayana berdesir dingin, membayangkan betapa dekatnya mereka nanti.
Arfan menoleh ke arah Ayana, senyum tipis di bibirnya. “Ya, benar. Agar lebih efisien, kan, Ayana? Kita bisa melanjutkan pembahasan di ruang tamu suite nanti malam.”
Ayana hanya bisa mengangguk kaku, suaranya tercekat di tenggorokan. Ia merasa seperti domba yang baru saja diantarkan ke sarang serigala. Kata-kata Vina kembali terngiang, “Semoga perjalanan Anda menyenangkan… dan aman.” Kini, kata ‘aman’ itu terdengar seperti ejekan pahit.
Setelah meletakkan barang-barang di kamar masing-masing, mereka segera menuju lokasi proyek. Peninjauan berjalan lancar. Arfan sangat teliti, Ayana pun sigap mencatat setiap detail dan masukan. Profesionalisme mereka terbangun dengan sempurna di hadapan para kontraktor dan staf lapangan. Namun, di balik itu, Ayana tak bisa menghentikan pikirannya berkelana pada apa yang akan terjadi di hotel nanti malam.
Saat senja mulai merayap, mereka kembali ke hotel. Arfan mengajak Ayana makan malam di salah satu restoran mewah hotel, dengan pemandangan kota Bandung yang berkelip. Suasana makan malam dimulai dengan obrolan bisnis, tetapi perlahan, Arfan menggeser topik.
“Bagaimana kabar Raka? Dia pasti sudah besar sekali sekarang,” Arfan bertanya, tatapannya melembut. Ada ketulusan yang Ayana rasakan dari pertanyaan itu, yang melunturkan sedikit pertahanannya.
Ayana tersenyum tipis. “Alhamdulillah baik, Pak. Sudah mulai banyak bicara.”
“Baguslah. Saya dengar dari Vina, Anda memang sangat berjuang untuk Raka. Saya salut dengan Anda, Ayana.” Kata-kata itu, datang dari Arfan, terasa seperti sebuah pelukan hangat di tengah dinginnya hati Ayana. Ia merasa sedikit nyaman, sedikit melunak.
Mereka terus berbincang, tentang kehidupan, tentang masa lalu Arfan yang juga penuh perjuangan. Arfan bercerita tentang bagaimana ia membangun perusahaan ini bersama mendiang ayah Ayana, tentang impian-impiannya. Ayana menemukan sisi lain dari Arfan, sisi yang lebih manusiawi, lebih dekat. Batas antara atasan dan bawahan, antara paman dan istri mendiang keponakannya, terasa semakin tipis.
Setelah makan malam, Arfan menawarkan untuk menikmati teh di ruang tamu suite mereka. Ayana awalnya ragu, tetapi merasa tidak enak untuk menolak setelah percakapan yang begitu personal dan hangat. Mereka kembali ke suite. Suasana di dalam terasa lebih intim, remang-remang oleh cahaya lampu tidur.
Arfan menuangkan teh hangat ke dalam dua cangkir, menyerahkan salah satunya pada Ayana. Mereka duduk di sofa yang empuk, keheningan menyelimuti sejenak, hanya ada suara denting cangkir dan napas mereka.
“Ayana,” Arfan memecah keheningan, suaranya rendah, nyaris berbisik. Ia meletakkan cangkirnya di meja kopi, lalu menoleh penuh pada Ayana. Tatapan matanya yang tajam kini memancarkan sesuatu yang lain, sesuatu yang membakar. “Boleh saya bertanya sesuatu yang lebih personal?”
Jantung Ayana berdebar tak karuan. Ia tahu, inilah saatnya. Garis batas itu, kini berada tepat di hadapannya, siap untuk dilewati. Ia hanya bisa mengangguk pelan, seolah kerongkongannya tercekat.
Arfan mengulurkan tangannya, menyentuh lembut punggung tangan Ayana yang dingin, mengusapnya perlahan. Sensasi sentuhan itu begitu lembut, namun nyatanya mampu mengguncang seluruh jiwa Ayana. Ia tidak menarik tangannya. Ia tidak bisa. “Ayana… pernahkah kau merasa sendirian, bahkan di tengah keramaian?”
Ayana menatap Arfan, matanya terpaku pada tatapan pria itu yang dalam dan penuh makna. Di tengah sentuhan lembut yang menghanyutkan, di dalam suite yang kini terasa begitu sempit, Ayana tahu ia sedang terjerat, jauh lebih dalam dari yang ia kira. Bisikan dosa terasa manis, dan ia, entah mengapa, tak ingin menolaknya. Nafasnya tertahan, menunggu apa lagi yang akan Arfan katakan, menunggu di mana garis batas ini akan berakhir—atau justru baru saja dimulai.
Benar2 membingungkan & bikin gw jd malas utk membaca novel ini lg
Jgn membingungkan pembaca yg berminat utk membaca novel ini