NovelToon NovelToon
CINCIN TANPA NAMA

CINCIN TANPA NAMA

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / CEO / Selingkuh / Romansa / Nikah Kontrak / Cintapertama
Popularitas:3.7k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Alara Davina terpaksa menikah kontrak dengan Nathan Erlangga, CEO dingin yang menyimpan luka masa lalu. Saat cinta mulai tumbuh di antara mereka, Kiara Anjani—sahabat yang ia percaya—ternyata adalah cinta pertama Nathan yang kembali dengan niat jahat. Pengkhianatan demi pengkhianatan menghancurkan Alara, bahkan membuatnya kehilangan calon buah hati. Dalam pusaran air mata dan kepedihan, bisakah cinta sejati bertahan? Sebuah perjalanan emosional tentang cinta, pengkhianatan, dan penebusan yang akan mengguncang hati setiap pembaca hingga ending bahagia yang ditunggu-tunggu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 3: JANJI DI ATAS TANAH BASAH**

# **

Hujan turun sejak subuh. Seperti langit ikut berduka.

Alara berdiri sendirian di tepi liang kubur, payung hitam di tangannya hampir jatuh beberapa kali karena tangannya terus gemetar. Jas hujan tipis yang dipakainya sudah basah di beberapa bagian, tapi ia tak peduli. Dinginnya air hujan tak ada apa-apanya dibanding dingin yang merayap di dadanya.

Peti mati kayu mahoni perlahan diturunkan ke dalam tanah.

Alara menatap kosong. Matanya kering—bukan karena tak ingin menangis, tapi karena sepertinya air matanya sudah habis sejak tiga hari terakhir.

"Selamat jalan, Tuan Davina. Semoga tenang di sisi-Nya."

Suara pendeta terdengar jauh, seperti gema dari dunia lain. Orang-orang mulai berdatangan—rekan bisnis ayahnya, beberapa tetangga lama, dan karyawan Davina Design yang masih tersisa. Mereka berdiri di kejauhan dengan payung masing-masing, berbisik pelan sambil menatap kasihan ke arah Alara.

Tapi tak ada yang mendekat.

Tak ada yang memeluknya.

Tak ada yang bertanya, "Kau baik-baik saja?"

Karena semua orang tahu jawabannya. Tidak.

Satu per satu tanah basah dilemparkan ke atas peti. Setiap gumpalan tanah yang jatuh terdengar seperti pukulan ke dadanya.

*Dug.*

Ayahnya sudah tidak ada.

*Dug.*

Ia sendirian sekarang.

*Dug.*

Dan dalam 27 hari lagi, ia akan kehilangan segalanya.

"Nona Alara..." Pak Hartono, sang notaris, mendekat dengan payung di tangan. Wajahnya penuh simpati. "Anda sebaiknya pulang. Hujan semakin deras."

Alara tidak menjawab. Ia hanya terus menatap lubang di hadapannya yang kini hampir terisi penuh.

"Nona—"

"Biarkan saya sendirian, Pak." Suaranya serak, hampir tak terdengar di tengah suara hujan.

Pak Hartono terdiam sejenak, lalu mengangguk perlahan. Ia meletakkan payung cadangan di samping Alara sebelum pergi, meninggalkannya sendirian di pemakaman yang kini mulai sepi.

Satu per satu orang-orang pergi. Hingga akhirnya hanya Alara yang tersisa.

Dan makam ayahnya yang sudah tertutup sempurna.

Alara berjongkok perlahan, lututnya menyentuh tanah basah. Tangannya menyentuh gundukan tanah yang masih baru, jemarinya menelusuri setiap inci seolah mencari kehangatan terakhir dari sosok yang ia cintai.

"Pah..." Suaranya retak. "Kenapa Bapak tinggalkan Alara sendirian?"

Air matanya—yang ia kira sudah kering—tiba-tiba mengalir deras. Tubuhnya bergetar, tidak kuat lagi menahan isak yang sudah ia tahan sejak tadi pagi.

"Alara nggak tahu harus gimana, Pah..." Tangisnya pecah. "Alara... Alara takut. Alara nggak sekuat yang Bapak kira."

Hujan semakin deras. Payungnya sudah terlempar entah ke mana. Tubuh Alara basah kuyup, rambutnya menempel di wajah, tapi ia tak peduli. Ia memeluk gundukan tanah itu, seolah memeluk ayahnya untuk terakhir kali.

"Maafin Alara... maafin Alara ya, Pah..." Isaknya tak terkontrol. "Alara nggak bisa jaga perusahaan Bapak. Alara nggak bisa... dia nolak, Pah. Nathan Erlangga itu... dia nolak Alara."

Suaranya tenggelam dalam tangis. Dadanya sesak, napasnya tersengal-sengal. Rasanya seperti ada yang mencengkeram jantungnya, meremas hingga nyaris pecah.

"Alara udah coba... Alara udah coba minta tolong ke dia. Tapi dia bilang Alara cuma orang asing. Dia bilang Alara cuma butuh uangnya..." Alara tertawa pahit di tengah tangisnya. "Padahal Alara cuma... cuma pengen nyelamatin mimpi Bapak. Cuma itu..."

Tangannya mencengkeram tanah basah itu erat.

"Kenapa Bapak ninggalin Alara sendirian, Pah? Kenapa Bapak nggak ajak Alara aja sekalian?"

Pertanyaan itu keluar begitu saja. Alara bahkan tak percaya ia mengucapkannya. Tapi rasa sakit di dadanya terlalu besar. Terlalu berat untuk ditanggung sendirian.

Ia menangis dalam-dalam, tubuhnya meringkuk di atas tanah basah. Hujan terus mengguyur, tapi Alara tak bergerak. Seolah ingin menyatu dengan tanah—dengan ayahnya.

Entah berapa lama ia di sana. Sepuluh menit? Tiga puluh menit? Sejam? Ia tak tahu. Yang ia tahu, tubuhnya sudah mati rasa. Dingin merasuki sampai ke tulang.

Perlahan, Alara bangkit. Lututnya gemetar, hampir tak sanggup menopang tubuh. Ia menatap nisan yang baru saja dipasang:

**DAVINA PRASETYO**

**1965 - 2024**

**Ayah Terbaik, Pengusaha Hebat**

Alara menyentuh nisan itu dengan jemari gemetar. "Alara janji, Pah..." Suaranya parau, tapi kali ini ada ketegasan di sana. "Alara janji... Alara nggak akan biarkan Davina Design hilang begitu aja. Alara nggak akan biarkan semua kerja keras Bapak sia-sia."

Ia menarik napas dalam, meski dadanya masih sesak.

"Walau Alara harus nikah sama orang yang nggak cinta sama Alara..." Air matanya mengalir lagi, tapi kali ini lebih tenang. "Walau Alara harus jual harga diri... walau Alara harus hidup dalam pernikahan tanpa cinta..."

Alara menatap langit yang kelabu, hujan membasahi wajahnya.

"Alara akan lakuin. Demi Bapak."

Ia mencium ujung jarinya, lalu meletakkannya di atas nisan. "Tunggu Alara, Pah. Alara pasti bikin Bapak bangga."

Dengan langkah berat dan tubuh basah kuyup, Alara berbalik meninggalkan pemakaman. Setiap langkahnya meninggalkan jejak di tanah berlumpur.

Ia tidak tahu, di balik pohon rindang tak jauh dari sana, seseorang berdiri menatapnya sejak tadi. Pria berjas hitam dengan payung di tangan. Wajahnya tersembunyi dalam bayangan, tapi matanya tak lepas dari sosok Alara yang meringkuk di atas makam ayahnya.

Nathan Erlangga mengepalkan tangannya erat. Rahangnya mengeras.

Ia datang ke pemakaman itu untuk menghormati almarhum Tuan Davina—sahabat ayahnya. Tapi ia tidak menyangka akan melihat... ini.

Melihat Alara hancur.

Melihat gadis itu memeluk makam ayahnya dalam hujan.

Melihat kesepian yang sama—kesepian yang dulu ia rasakan lima tahun lalu saat mengubur ayahnya sendiri.

Nathan menghela napas panjang. Ia menutup matanya sebentar, mencoba mengusir perasaan aneh yang muncul di dadanya.

Tapi gagal.

"Sial," umpatnya pelan.

Ia berbalik, melangkah pergi sebelum Alara melihatnya.

Karena Nathan tahu—kalau ia tetap di sana, ia akan melakukan sesuatu yang akan ia sesali.

Sesuatu seperti... mengabulkan permintaan gadis itu.

---

**MALAM ITU, APARTEMEN ALARA**

Alara duduk di lantai kamarnya, memeluk lututnya. Tubuhnya masih menggigil meski sudah berganti pakaian kering. Demam mulai menyerang, tapi ia tak peduli.

Di hadapannya, sebuah album foto lama terbuka. Foto-foto dirinya dan ayahnya. Di taman bermain. Di kantor Davina Design saat grand opening. Di pantai saat liburan terakhir mereka.

Jemarinya menyentuh setiap foto dengan lembut.

"Alara nggak akan ngecewain Bapak," bisiknya pada foto ayahnya yang tersenyum lebar.

Ponselnya tiba-tiba bergetar.

Sebuah pesan dari nomor tak dikenal:

**"Besok, jam 2 siang. Tempat yang sama. Jangan terlambat. Ada yang perlu kita bicarakan. - N.E"**

Alara menatap layar itu lama. Jantungnya berdegup kencang.

Nathan Erlangga.

Ia membalas dengan tangan gemetar:

**"Saya akan datang."**

Pesan terkirim.

Alara menatap langit-langit kamarnya. Entah kenapa, dadanya terasa sedikit lebih ringan. Mungkin ini harapan. Harapan terakhir.

Atau mungkin hanya ilusi sebelum jatuh lebih dalam.

Tapi ia tak punya pilihan lagi.

Besok, ia akan menghadapi Nathan Erlangga sekali lagi.

Dan kali ini, ia akan memastikan tidak pulang dengan tangan kosong.

---

**[BERSAMBUNG KE BAB 4: KONTRAK TANPA CINTA]**

1
Nunung Nurasiah
kok lemah banget ya ci alara...
Dri Andri: belum saat nya jadi kuat
makasih dah mampir
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!